Individu yang tidak memperoleh
penghasilan cukup tidak akan dapat menciptakan pennintaan akan barang dan jasa.
Fenomena tersebut semakin sering kita lihat sekarang ini, khususnya di daerah
perkotaan. Mereka tidak dapat menggunakan penghasilan yang mereka dapat untuk:
memenuhi kebutuhan pokok sekalipun. Kalau permintaan akan barang dan jasa yang
dinyatakan dalam istilah moneter tidak menunjukkan kebutuhan nyata dari
mayoritas penduduk, maka perekonomian secara otomatis telah diarahkan pada
tujuan yang salah. Oleh karena itu kebijaksanaan pertumbuhan ekonomi cenderung
untuk mengabaikan pennintaan golongan miskin baik di kota rnaupun di pedesaan.
Kecenderungan ini menimbulkan
ketimpanganketimpangan yang semakin meningkat dalam hal pendapatan. Mengingat
hal tersebut, maka perlu dikembangkan suatu strategi yang lebih efektif dalam
menangani kemiskinan dan suatu strategi yang lebih diarahkan pada tujuan
pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Strategi tersebut harns mampu memenuhi 5
(lima) sasaran utama, yaitu (1) pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, papan,
peralatan sederhana dan berbagai kebutuhan yang secara luas dipandang perlu
oleh masyarakat yang bersangkutan, (2) pembukaan kesempatan luas untuk
memperoleh pelayanan umum, seperti pendidikan, kesehatan, air minum, pemukiman
yang sehat, (3) penjaminan hak untuk memperoleh kesempatan ketja yang
produktif, 1termasuk menciptakan sendiri, (4) terbinanya prasarana yang
memoogkinkan produksi barang dan jasa dengan kemampuan untuk menyisihkan
tabungan bagi pembiayaan usaha selanjutnya, dan (5) partisipasi masyarakat
dalam pengambilan keputusan pelaksanaan proyek-proyek pembangunan (Green,1978 :
7 dan Dorojatun Koentjoro - Jakti, 1970 :15).
Krisis ekonomi yang teIjadi sekitar
tahoo 1997-1998 lalu tampaknya masih memberikan dampak yang cukup berarti.
Tidak heran jika tahun 1998 kemudian dikatakan sebagai tahoo bersejarah bagi
kehidupan bangsa kita, karena pada tahun tersebut perekonomian Indonesia
mengalami krisis yang sangat berat sebagai akibat pengaruh eksternal maupoo
internal yang dampaknya juga bisa dirasakan di seluruh daerah. Hal ini
mendorong terjadinya restrukturisasi besar-besaran di segala bidang terutama
perekonomian yang menjadi roda penggerak kehidupan masyarakat.
Paradigma ekonomi pun berubah menuju
paradigma baru yaitu pembangunan ekonomi yang benar-benar berorientasi pada
pemberdayaan ekonomi kerakyatan. Pendekatan dan cara yang dipilih untuk
mengentaskan kemiskinan juga diperbaiki, yaitu ke arah pengokohan kelembagaan
masyarakat. Model tersebut diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi
penyelesaian persoalan kemiskinan yang bersifat multi dimensional dan
structural serta dalam jangka panjang mampu menyediakan aset yang lebih baik
bagi masyarakat miskin dalam meningkatkan pendapatan maupun menyuarakan
aspirasinya dalam proses pengambilan keputusan.
Oleh karena itu sejak Nopember 1999
sampai Nopember 2001 dilaksanakan Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan
( P2KP ) Tahap I dan P2KP tahap II dilaksanakan pada tahun 2002-2004, mencakup
lebih dari 1300 kelurahan dan desa perkotaan yang tersebar di S9 kabupatenlkota
di 6 propinsi pulau Jawa termasuk Jawa Timur. Program ini ditujukan untuk
penanggulangan kemiskinan bagi lebih daTi S juta jiwa ( sesuai dengan Project
Appraisal Document, Urban Poverty Project, The World Bank, 1999) atau sekitar 1
juta kepala keluarga masyarakat miskin di wilayah perkotaan di pulau Jawa, yang
memiliki pendapatan perkapita dibawah UpahMinimum Regional (UMR ).
Pertanyaan
1. Jelaskan
apa yang saudara ketahui tentang Upah Minimum Regional (UMR) !
2. Berapa
UMR untuk Jawa Barat, dan bagaimana pelaksanaannya ?
3. Apakah
UMR tersebut juga berlaku untuk tenaga kerja pertanian (beri alasan mengapa) ?
dan bagaimana kondisi riilupah di
pedesaan dengan perkotaan ? dan masalah apa yang timbul karena hal tersebut ?
Pembahasan-Pembahasan
1.
Pengertian
Upah Minimum Regional
Upah
Minimum Regional adalah suatu standar minimum yang digunakan oleh para
pengusaha atau pelaku industri untuk memberikan upah kepada para pegawai,
karyawan atau buruh di dalam lingkungan usaha atau kerjanya.
Pemerintah mengatur
pengupahan melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 05/Men/1989 tanggal 29
Mei tentang Upah Minimum. Penetapan upah dilaksanakan setiap tahun melalui
proses yang panjang. Mula-mula Dewan Pengupahan Daerah (DPD) yang terdiri dari
birokrat, akademisi, buruh dan pengusaha mengadakan rapat, membentuk tim survei
dan turun ke lapangan mencari tahu harga sejumlah kebutuhan yang dibutuhkan
oleh pegawai, karyawan dan buruh. Setelah survei di sejumlah kota dalam
propinsi tersebut yang dianggap representatif, diperoleh angka Kebutuhan Hidup
Layak (KHL) - dulu disebut Kebutuhan Hidup Minimum (KHM). Berdasarkan KHL, DPD
mengusulkan upah minimum regional (UMR) kepada Gubernur untuk disahkan.
KOmponen kebutuhan hidup layak digunakan sebagai dasar penentuan upah minimum
berdasarkan kebutuhan hidup pekerja lajang (belum menikah).
Saat ini UMR juga dikenal dengan
istilah Upah Minimum Propinsi (UMP) karena ruang cakupnya biasanya hanya
meliputi suatu propinsi. Selain itu setelah otonomi daerah berlaku penuh,
dikenal juga istilah Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK).
2.
UMR
di Jawa Barat
Di bawah ini adalah besaran upah minimum Kabupaten/ Kota di
Jawa Barat tahun 2010, berdasarkan Keputusan Gubenur JAWA BARAT .
a.
Kab.
Cianjur Rp. 743.500,-
b.
Kota
Depok
Rp. 1.157.000,-
c.
Kota
Sukabumi Rp. 850.000,-
d.
Kota
Cirebon
Rp. 840.000,-
e.
Kab
Cirebon
Rp. 825.000.-
f.
Kab
Kuningan Rp. 700.000,-
g.
Kab.
Indramayu Rp.
854.145,-
h.
Kota
Banjar Rp. 689.800,-
i.
Kab
Ciamis Rp. 699.815,-
j.
Kab.
Tasikmalaya Rp.
775.000,-
k.
Kota
Tasikmalaya Rp.
780.000,-
l.
Kab. Garut Rp. 735.000,-
m.
Kab Bandung Rp. 1.060.500,-
n.
Kota Bandung Rp. 1.118.000,-
o.
Kota Cimahi Rp. 1.107.304,-
p.
Kab Bandung Barat Rp. 1.105.225,-
q.
Kota Bogor
·
UMK Rp.
971.200,-
·
UMK Khusus UKM
Rp. 836.650,-
r.
Kab. Bogor
·
UMK Rp.
1.056.914,-
·
UMS(Sektoral) Rp. 1.109.760,-
Pertanyaan
1. Jelaskan apa yang saudara
ketahui tentang Upah Minimum Regional (UMR) !
2. Berapa UMR untuk Jawa Barat,
dan bagaimana pelaksanaannya ?
3. Apakah UMR tersebut juga
berlaku untuk tenaga kerja pertanian (beri alasan mengapa) ? dan bagaimana
kondisi riilupah di
pedesaan dengan perkotaan ? dan masalah apa yang timbul karena hal tersebut ?
Pembahasan-Pembahasan
1. Pengertian Upah Minimum
Regional
Upah Minimum Regional adalah suatu standar minimum yang digunakan oleh para
pengusaha atau pelaku industri untuk memberikan upah kepada para pegawai,
karyawan atau buruh di dalam lingkungan usaha atau kerjanya.
Pemerintah mengatur pengupahan melalui
Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 05/Men/1989 tanggal 29 Mei tentang Upah
Minimum. Penetapan upah dilaksanakan setiap tahun melalui proses yang panjang.
Mula-mula Dewan Pengupahan Daerah (DPD) yang terdiri dari birokrat, akademisi,
buruh dan pengusaha mengadakan rapat, membentuk tim survei dan turun ke
lapangan mencari tahu harga sejumlah kebutuhan yang dibutuhkan oleh pegawai,
karyawan dan buruh. Setelah survei di sejumlah kota dalam propinsi tersebut yang
dianggap representatif, diperoleh angka Kebutuhan Hidup Layak (KHL) - dulu
disebut Kebutuhan Hidup Minimum (KHM). Berdasarkan KHL, DPD mengusulkan upah
minimum regional (UMR) kepada Gubernur untuk disahkan. KOmponen kebutuhan hidup
layak digunakan sebagai dasar penentuan upah minimum berdasarkan kebutuhan
hidup pekerja lajang (belum menikah).
Saat ini UMR juga dikenal dengan
istilah Upah Minimum Propinsi (UMP) karena ruang cakupnya biasanya hanya
meliputi suatu propinsi. Selain itu setelah otonomi daerah berlaku penuh,
dikenal juga istilah Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK).
2. UMR di Jawa Barat
Di bawah ini adalah
besaran upah minimum Kabupaten/ Kota di Jawa Barat tahun 2010,
berdasarkan Keputusan Gubenur JAWA BARAT .
a. Kab. Cianjur Rp. 743.500,-
b. Kota
Depok Rp. 1.157.000,-
c. Kota
Sukabumi Rp. 850.000,-
d. Kota
Cirebon Rp. 840.000,-
e. Kab
Cirebon Rp. 825.000.-
f. Kab
Kuningan Rp.
700.000,-
g. Kab.
Indramayu Rp.
854.145,-
h. Kota
Banjar Rp. 689.800,-
i. Kab
Ciamis Rp.
699.815,-
j. Kab.
Tasikmalaya Rp.
775.000,-
k. Kota
Tasikmalaya Rp. 780.000,-
l. Kab.
Garut Rp. 735.000,-
m. Kab
Bandung Rp. 1.060.500,-
n. Kota
Bandung Rp. 1.118.000,-
o. Kota
Cimahi Rp. 1.107.304,-
p. Kab Bandung
Barat Rp. 1.105.225,-
q. Kota Bogor
· UMK Rp. 971.200,-
· UMK Khusus UKM
Rp. 836.650,-
r. Kab.
Bogor
· UMK Rp. 1.056.914,-
UMS(Sektoral) Rp. 1.109.760
1. UMR tidak berlaku untuk
tenaga kerja pertanian
UMR tidak berlaku untuk tenaga kerja
pertanian karena penghasilan para
pekerja pertanian sangatlah rendah bahkan dibawah penghasilan minimum dari penghasilan UMR (Upah
Minumum Regional).
Sebagai contoh
permasalahan spesifik di lahan kering DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) antara
lain berkaitan dengan bentuk lahan yang sebagian besar (+ 60 persen) berlereng
> 15 persen, kesuburan tanah umumnya rendah, musim kering yang relatif
panjang dan yang berakibat pada kepekaan tanah terhadap erosi, keterbatasan air
untuk usahatani dan produktivitas lahan rendah. Disamping itu kondisi sosial
ekonomi masyarakat khususnya petani umumnya lemah dalam hal permodalan,
penerapan teknologi, dan asksesbilitas terhadap pasar maupun posisi tawar.
Upaya pengembangan usahatani di lahan kering antara lain diperlukan penerapan
inovasi teknologi yang komprehensif, terpadu dan spesifik lokasi memehui
kelayakan teknis, sosial dan ekonomi. Penelitian dilaksanakan pada bulan
Januari sampai Desember 2005 di dusun Karangpoh, desa Semin, kecamatan Semin,
kabupaten Gunungkidul.
Berdasarkan hasil survai, rata-rata
pendapatan responden sebesar Rp 11.222.150 per tahun atau Rp 935.179 per bulan,
apabila dibandingkan UMR yang berlaku untuk provinsi DIY
sebesar Rp 496.000 maka rata-rata pendapatan tersebut diatas tingkat UMR. Dari total pendapatan
tersebut sumbangan yang paling besar adalah hasil hutan 37,57 persen, disusul
dari pendapatan lain 28,73 persen, hasil pertanian 19,12 persen dan hasil
ternak 14,58 persen.
Ada satu faktor penting yang membuat sektor pertanian selalu menjadi
kontributor terbesar setiap tahunnya terhadap angka pengangguran di Indonesia,
yaitu faktor kepemilikan aset produksi. Dalam teori ekonomi, untuk menghasilkan
sebuah produk pertanian, tentunya petani harus memiliki aset yang dibutuhkan
untuk menjalankan usaha produksinya. Bagi petani, alat produksi utama tersebut
adalah tanah. Tanpa itu, petani tidak bisa menghasilkan produk yang diharapkan.
Distribusi tanah di Indonesia memang masih meninggalkan banyak persoalan
yang butuh perhatian serius. Sensus pertanian tahun 1993 menemukan bahwa di
Jawa Barat, ada 6.732.000 keluarga petani yang tidak
memiliki lahan sama sekali. Artinya mereka hanya menjadi buruh tani yang
hanya mengharapkan imbalan dari pemilik lahan. Sedangkan yang memiliki lahan
kurang dari 0,5 Ha adalah 7.608.000 keluarga petani, dan 2.962.000 keluarga
memiliki lebih dari 0.5 Ha (BPS yang dikutip oleh Rural Development Institute:
2002). Jumlah yang terakhir akan jauh lebih sedikit lagi apabila digunakan
kriteria keluarga yang memiliki lahan 2 Ha atau lebih. Karena petani hanya akan
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak apabila memiliki lahan minimal 2
Ha.
Apabila dibandingkan dengan Upah Minimum Regional (UMR) bagi buruh, maka
pendapatan petani yang tidak memiliki lahan sama sekali dan kurang dari 0,5 Ha
sangat jauh dibawahnya. Bahkan petani yang memiliki lahan 1 Ha-pun belum bisa
dipastikan menikmati penghasilan setara dengan UMR. Dari sini bisa dilihat
bahwa puluhan juta rakyat masih hidup dibawah garis kemiskinan, dan sebagian
dari mereka menjadi pengangguran yang tidak memiliki pendapatan sama sekali. Tidak
heran, apabila penduduk desa lebih memilih untuk menjadi buruh di kota daripada
menjadi buruh tani yang tidak jelas pendapatannya.
Salah satu faktor penyebab
lambannya pertumbuhan sektor pertanian adalah rendahnya upah buruh tani
yang diterimakan sebagai imbalan untuk peningkatan produktivitas.
Menurut Adig Suwandi (1995), produktivitas kasar tenaga kerja pertanian sekitar
Rp 638.000,- per orang per tahun. Sementara itu produktivitas rata-rata
nasional mencapai Rp 1,6 juta. Pada tahun 1990, produktivitas tenaga kerja
pertanian hanya mencapai 40 persen dari produktivitas nasional
atau hanya 24 persen dari produktivitas sektor industri. Dikatakan pula
bahwa selama dekade 80-an, produktivitas tenaga kerja pertanian hanya tumbuh
sekitar 1,2 persen.
Lebih parah lagi bahwa upah
buruh tani wanita selalu lebih rendah dibandingkan dengan upah buruh tani pria.
Jika gaji upah mencangkul sebesar Rp 1.500,- per hari, praktis sudah bahwa gaji
upah menanam padi tidak lebih tinggi dari Rp. 1.000,- per hari. Meski
ketentuan waktu (jam) bekerja di sektor pertanian relatif lebih rendah,
namun dapat dipastikan bahwa penghasilan mereka tidak stabil alias sangat
tergantung oleh musim (musiman).
Pendapatan
Petani masih di bawah UMR
Pendapatan para petani Kabupaten Rokan Hilir jauh dibawah Upah
Minimum Regional (UMR). Maka jangan heran, bila petani ramai-ramai memilih
untuk alih fungsi lahan guna memaksimalkan potensi lahan serta sekaligus
mencari peluang untuk hasil yang lebih besar.
Penegasan itu dikemukakan Ketua Kelompok Tani dan Nelayan
Andalan (KTNA) Alkahfi Sutikno SE, Selasa (12/2) di Muktijaya. Kepada Riau Pos,
Ia menyebut pengaruh pendapatan sangat menjadi alasan bagi petani untuk secara
bersamai-ramai mengalih fungsikan lahan tanaman pangan menjadi lahan tanaman
keras. Karena itu, ia tak menyangkal sejatinya peranan semua pihak sangat
diperlukan menyikapi kondisi yang terjadi saat ini.
"Pendapatan petani itu jauh di bawah UMR. Tentu petani
tak mampu mempertahankan sektor tanaman pangan untuk kesinambungan
kehidupannya. Apalagi jelas, saban musim tanam hingga panen berikutnya petani
kerap dirugikan," tukas Alkahfi sesaat berdialog bersama sejumlah petani
dalam kawasan sentra produksi padi itu.
Ia menyebut latar belakang yang sangat dominan terjadinya
kondisi yang acap merugikan petani adalah rendah dan murahnya harga jual gabah
kering. Baik itu dijual ditempat, ataupun dijual kepenampungan, kondisinya sama
saja. Petani katanya, nyaris tak mempunyai kesempatan untuk mendapatkan hasil
penjualan yang memuaskan. Terlebih, ketika harga jual gabah semata-sama
ditentukan oleh konsumen tunggal yang umumnya datang dari Sumatera Utara.
Sejauh ini memang potensi pertanian tanaman pangan disemua
sudut wilayah Kecamatan dalam Kabupaten Rokan Hilir bernilai tinggi. Hanya
saja, nilai tersebut hampir tidak berdaya guna ketika harga jual gabah paling
tinggi hanya mencapai Rp2200. Dan itupun merupakan harga kotor ketika biaya
angkut dan kemasan masih harus ditanggung petani untuk mencapai lokasi pengumpulan.
Secara umum menjelaskan bahwa nominal yang harus
dikeluarkan petani
hingga masa panen selama hampir empat bulan mencapati Rp5,75 juta. Angka
itu, setelah dihitung dengan hasil produksi dalam angka, setiap hektare
tanaman padi dengan system modern paling maksimal hingga 3,5 ton. Setelah
dijumlahkan, paling besar pendapatan petani hingga Rp7,7 juta.
Maka jangan heran, ketika petani berlomba-lomba untuk
mengalih fungsikan lahannya guna mendapatkan hasil maksimal. Sebab dengan
mempertahankan lahan tanaman pangan saja, sangat mustahil produksi petani
berdaya guna. Lihat lagi infrastruktur pertanian yang kurang mendukung,
menjadikan subsector nyaris jalan ditempat.
Kondisi real upah di pedesaan
dan perkotaan
Argumen
kualitas pertumbuhan yang dilahirkan para ekonom neoklasik adalah salah satu
dari cabang pemikiran pemerataan pembangunan, bahwa pembangunan ekonomi bukan
hanya untuk mengejar angka atau target-target kuantitatif semata. Pembangunan
ekonomi perlu bervisi jauh ke depan untuk menyebar-ratakan hasil-hasil
pembangunan ekonomi kepada segenap lapisan masyarkat, dari golongan kaya ke
golongan miskin, dari pusat ke daerah, dari tengah ke pinggiran, dari perkotaan
ke perdesaan, dari sektor modern ke sektor tradisional, dan sebagainya. Argumen
kualitas pertumbuhan juga mengedepankan penguatan akses bagi kelompok miskin
dan marginal kepada sumber daya ekonomi. Singkatnya, argumen kualitas
pertumbuhan ini juga sangat peduli terhadap pengentasan kemiskinan dan
penyerapan tenaga kerja serta penciptaan lapangan kerja baru. Inilah yang
disebut pembangunan ekonomi berkualitas.
Secara
kuantitatif ekonomi makro, ekonomi Indonesia diperkirakan tumbuh di atas 6
persen per tahun pada 2010. Kinerja itu sebenarnya cukup tinggi mengingat pada
2009 ekonomi Indonesia hanya tumbuh 4,5 persen per tahun. Namun, pengikut
argumen kualitas pertumbuhan tak terlalu puas dengan kinerja seperti itu karena
mereka berfikir pertumbuhan sekitar 6 persen belum mampu menyerap pertambahan
angkatan kerja 2 juta per tahun. Argumen mereka perekonomian yang masih
mengandalkan sektor konsumsi (68 persen) akan sulit berkontribusi pada
pembangunan sektor produktif yang menyerap tenaga kerja dan menciptakan tenaga
kerja baru. Kobtribusi komponen investasi tercatat hanya 30,6 persen, sedangkan
komponen ekspor 23,3 persen. Postur pertumbuhan ekonomi seperti dialami
Indonesia saat ini sekaligus mampu menjelaskan bahwa proses penciptaan lapangan
kerja baru dan pengentasan kemiskinan tidak berjalan sebagaimana diharapkan.
Terlepas
apakah argumen kualitas pertumbuhan ekonomi dapat diandalkan atau tidak, potret
penurunan angka kemiskinan 2010 yang diumumkan pemerintah melalui Badan Pusat
Statistik (BPS) seakan tak memiliki banyak arti secara ekonomi (dan politik).
Angka total penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan tahun ini memang
turun menjadi 31 juta jiwa (13,3 persen), dari 2009 sebesar 32,6 juta jiwa
(14,2 persen). Garis kemiskinan yang digunakan juga telah dinaikkan dari Rp
200.262 menjadi Rp 211.726 per bulan dengan proksi pengeluaran rumah tangga.
Kelompok masyarakat menengah atas di kota-kota besar terkadang terheran-heran
dengan garis kemiskinan itu, karena bagi mereka, angka itu tidak ubahnya dengan
pengeluaran sekali minum kopi dan makanan ringan di hotel berbintang. Garis
kemiskinan itu sebenarnya cukup rendah, karena setara dengan 78 sen dollar AS
per hari, atau lebih rendah dibandingkan satu dollar per hari sebagaimana
strandar internasional.
Secara
mikro, potret angka kemiskinan tahun ini menjadi berita sedih, khususnya bagi
sektor pertanian dan pedesaan, karena persentase angka kemiskinan di pedesaan
meningkat, dari 63,4 persen pada 2009 menjadi 64,2 persen pada 2010.
Peningkatan kemiskinan di pedesaan ini seharusnya ”kartu kuning” bagi para
pemimpin yang masih berupaya bermain dengan retorika dan semantik politik
pencitraan yang tidak berujung. Dengan membesarnya angka kemiskinan di
pedesaan, dapat disimpulkan pembangunan pertanian saat ini boleh disebut gagal.
Masalah-Masalah
UMR
· Upah yang tidak sesuai dengan
UMR menjadikan karywan bekerja apa adanya
· Upah UMR tidak seimbang dengan
mahalnya kebutuhan pokok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar