photo IKLAN_zps0bd7cdbd.png

Sabtu, 18 Mei 2013

PENGERTIAN REFERENDUM


Kata Referendum atau Plebisit berasal dari bahasa Latin yaitu plebiscita yang berarti pemilihan langsung, dimana pemilih diberi kesempatan untuk memilih atau menolak suatu tawaran/usulan. Di Indonesia sering disebut Jajak Pendapat sedangkan di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) disebut Penentuan Nasib Sendiri (Self Determination).
Referendum atau jajak pendapat rakyat atau apa pun namanya yang berkaitan  dengan pilihan sikap, tentunya harus berdasarkan hati nurani dan tidak mendapat tekanan dari pihak-pihak lain. Prosesnya benar-benar berjalan langsung, umum,  bebas, rahasia dan jurdil.
Referendum (dari bahasa Latin)  istilah bahasa Indonesianya: pemungutan suara untuk mengambil sebuah keputusansecara intern . Pada sebuah referendum, biasanya orang-orang yang memiliki hak pilih dimintai pendapatnya. Hasil referendum bisa dianggap mengikat atau tidak mengikat.
UNDANG-UNDANG TENTANG REFERENDUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM Pasal 1
Yang dimaksud dalam Undang-undang ini dengan :
a. Referendum adalah kegiatan untuk meminta pendapat rakyat secara langsung mengenai setuju atau tidak setuju terhadap kehendak Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk mengubah Undang-Undang Dasar 1945;
b. Pendapat rakyat adalah pernyataan oleh Pemberi Pendapat Rakyat;
c. Pemberi Pendapat Rakyat adalah Warga Negara Republik Indonesia yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-undang ini.
Pasal 2
Referendum diadakan apabila Majelis Permusyawaratan Rakyat berkehendak untuk mengubah Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana dimaksud dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan, Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/ MPR/1983.
Pasal 3
(1)    Referendum diselenggarakan dengan mengadakan pemungutan pendapat rakyat secara langsung, umum, bebas, dan rahasia.
(2)    Pemungutan pendapat rakyat dilakukan dengan menggunakan surat pendapat rakyat.
Pasal 4
Semua Warga Negara Republik Indonesia yang memenuhi persyaratan, sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang ini, mempunyai hak memberikan pendapat rakyat.
BAB II
DAERAH REFERENDUM, PENYELENGGARAAN/
PELAKSANAAN, DAN ORGANISASI
PENYELENGGARA/PELAKSANA REFERENDUM
Pasal 5
(1)   Daerah referendum adalah wilayah Negara Republik Indonesia.Tempat/gedung
(2)   Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri termasuk daerah referendum.
Pasal 6
Referendum diselenggarakan dalam waktu selama-lamanya 1 (satu) tahun terhitung sejak dimulainya pendaftaran Pemberi Pendapat Rakyat sampai dengan penyampaian hasil referendum kepada Presiden sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.
Pasal 7
Pemungutan pendapat rakyat dilaksanakan dalam 1 (satu) hari dan serentak di seluruh wilayah Negara Repubhk Indonesia.
Pasal 8
(1) Pelaksanan referendum dipimpin oleh Presiden.
(2) Presiden menunjuk atau membentuk suatu badan atau lembaga untuk melaksanakan referendum, yang dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri.
Pasal 9
(1) Untuk melaksanakan referendum dibentuk Panitia Pelaksana Referendum di tingkat Propinsi, Kabupaten/Kotamadya, Kecamatan, Kelurahan/ Desa, dan di Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.
(2) Gubernur, Bupati/Walikotamadya, Camat, Lurah/Kepala Desa, dan Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri karena jabatannya masing-masing menjadi Ketua Panitia Pelaksana Referendum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Panitia Pelaksana Referendum terdiri dari unsur Pemerintah.
(4) Pada Panitia Pelaksana Referendum dibentuk Panitia Pengawas Referendum.
(5) Susunan, tugas, fungsi, tata kerja, dan hal-hal lain mengenai Panitia Pelaksana Referendum dan Panitia Pengawas Referendum diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB III
PENERANGAN REFERENDUM
Pasal 13
(1) Sebelum dilakukan pemungutan pendapat rakyat, kepada seluruh rakyat diberikan penerangan seluas-luasnya mengenai penyelenggaraan referendum.
(2) Segala sesuatu mengenai penyelenggaraan penerangan referendum diatur dengan Peraturan Pemerintah.
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 23
Apabila di suatu tempat di dalam daerah referendum, sesudah diadakan penelitian dan pemeriksaan ternyata terdapat kekeliruan, kesalahan, atau hal-hal lain dalam pemungutan pendapat rakyat yang mengakibatkan tidak dapat dilakukan penghitungan pendapat rakyat, maka Panitia Pelaksana Referendum di tingkat Propinsi, Kabupaten/Kotamadya yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh instansi Pemerintah setempat, dan di Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri, dapat mengadakan pemungutan pendapat rakyat ulangan di tempat yang bersangkutan dengan mengingat ketentuan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
Pasal 24
Apabila di suatu tempat di dalam daerah referendum tidak dapat diselenggarakan referendum atau penyelenggaraannya terhenti disebabkan oleh keadaan yang memaksa, maka sesudah keadaan memungkinkan, segera diadakan referendum ulangan atau referendum susulan di tempat yang bersangkutan dengan mengingat ketentuan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
MAKLUMAT
Maklumat" yang berasal dari bahasa Arab diartikan (1) pemberitahuan; pengumuman; (2) pengetahuan; mualamat. Jadi, arti harfiah dari kata-kata "dekrit" dan "maklumat" itu adalah pengumuman. Maklumat atau informasi merupakan hasil daripada pemprosesan, pengumpulan dan penganalisaan data yang dapt menambah pengetahuan kepada penerima maklumat. Secara ringkas, maklumat merupakan konteks apabila data digunakan.
Elite politik berlomba bicara keras dalam penentangannya terhadap Presiden Abdurrahman Wahid dengan pernyataan-pernyataan yang membingungkan. Ketika mencuat isu Presiden Abdurrahman Wahid akan mengeluarkan dekrit pembubaran DPR, dijawab oleh kalangan anggota DPR, "Ayo keluarkan dekrit kalau berani." Dan ketika muncul Maklumat Presiden tanggal 28 Mei, ada anggota DPR yang bilang, "Lho. katanya dekrit, kok cuma maklumat." Situasi dan suasana perpolitikan seperti dalam permainan silat, "Lu jual, gua beli!". Rakyat hanya mengelus dada.
             Dekrit, maklumat, memorandum DPR, SI-MPR seperti juga pemilihan umum, kehidupan kepartaian, hubungan antar-alat perlengkapan negara, penyaluran aspirasi rakyat, hak asasi manusia (HAM), dan lain-lain yang mengenai organisasi negara adalah masalah Hukum Tata Negara; bukan semata-mata masalah politik. Bukan pula sekadar masalah Hukum Perdata yang bermuara pada kata "kalah atau menang", bukan pula Hukum Pidana yang menghasilkan putusan "salah atau benar".

Cerita tentang maklumat
 Pasal IV Aturan Peralihan UUD'45 berbunyi, "Sebelum MPR, DPR, dan DPA dibentuk menurut UUD ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan komite nasional." Kedudukan Komite Nasional yang untuk sementara bertugas membantu Presiden-berarti melaksanakan fungsi eksekutif- ternyata menimbulkan ketidakpuasan pada sementara golongan masyarakat, mencuat pada Sidang II KNP 16-17 Oktober 1945 di Jakarta.
   
           Dalam sidang ini Sutan Sjahrir dan kawan-kawan. mengajukan usul kepada pemerintah mengenai perubahan kedudukan dan tugas KNP. Isi usul yang pada hakikatnya mengubah ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan UUD'45:
1). Sebelum terbentuk MPR dan DPR, Komite Nasional Pusat diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan garis-garis besar haluan negara.
2) Berhubung dengan gentingnya keadaan, pekerjaan sehari-hari KNP dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang dipilih di antara dan bertanggung jawab kepada KNP.
   
   
         Wakil Presiden Moh Hatta yang hadir sebagai wakil pemerintah langsung menyatakan setuju dengan usul tersebut, dan seketika itu pula dibuat ketetapan berupa "Maklumat Wakil Presiden No. X" tanggal 16 Oktober 1945. Kehidupan negara baru yang pondasi bangunannya belum kokoh ditambah keadaan dan situasi revolusi itu menghendaki tindakan serba cepat, sementara sarana penunjang di segala bidang masih belum memadai dan mengandalkan improvisasi. Pemberian nomor X (huruf eks; bukan angka 10 hitungan Romawi tetapi abjad ke-24) hanyalah terobosan teknis administratif.
Dengan perubahan ini KNP tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga negara pembantu Presiden tetapi menjadi lembaga negara yang sejajar dengan kedudukan lembaga kepresidenan. KNP sejak itu menjadi lembaga legislatif yang bersama-sama Presiden membuat undang-undang (tugas DPR menurut Pasal 5 UUD'45, sebelum diamandemen tahun 1999), menetapkan garis-garis besar haluan negara (tugas MPR menurut Pasal 3 UUD'45).
   
   
         Sebagai tidak lanjut dari diktum kedua Maklumat Wakil Presiden No. X itu, Sidang KNP tanggal 17 Oktober 1945 membentuk Badan Pekerja beranggotakan 15 orang yang melakukan tugas sehari-hari KNP. Salah satu tindakan BP-KNP melaksanakan tugas KNP sesuai rumusan "ikut menetapkan garis-garis besar haluan negara", adalah usulnya kepada pemerintah tentang politik dalam dan luar negari. Usul diterima pemerintah dan dikeluarkanlah "Maklumat Politik" 1 Novem-ber 1945.
      Badan Pekerja KNP juga mengusulkan agar pemerintah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada rakyat untuk mendirikan partai-partai politik. Maka pemerintah pun mengeluarkan maklumat tentang hal itu dengan ketentuan partai-partai politik itu harus turut memperhebat perjuangan Republik Indonesia.
  
 Bunyi maklumat yang dinamai Maklumat Pemerintah 3 November 1945:
1) Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik, karena dengan adanya partai-partai itulah dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran paham yang ada dalam masyarakat.
2) Pemerintah berharap supaya partai-partai itu telah tersusun sebelum dilangsungkan pemilihan anggota Badan-badan Perwakilan Rakyat. Pemilihan ini diharapkan dapat dilakukan pada bulan Januari 1946.
Anjuran pemerintah ini ditanggapi antusias oleh kaum politisi dengan mendirikan partai.    
   Perkembangan politik selanjutnya, Badan Pekerja KNP (BP-KNP) mengusulkan agar menteri bertanggung jawab kepada lembaga perwakilan rakyat (menurut sistem sementara kepada Komite Nasional Pusat). Usul tentang pertanggungjawaban menteri itu dijelaskan oleh BP-KNP melalui Pengumuman No.5 tanggal 11 November 1945. Usul ini pun disetujui Presiden Soekarno, dan sebagai konsekuensinya pada tanggal 14 November 1945 kabinet presidensiil diganti dengan Kabinet Sjahrir I (14 November 1945 - 12 Maret 1946). Sejak itu adagium "The King can do no wrong" berlaku dalam sistem pemerintahan negara Republik Indonesia.
 Dalam "Maklumat Pemerintah" ini antara lain dinyatakan, "Pemerintah Republik Indonesia setelah mengalami ujian-ujian yang hebat dengan selamat, dalam tingkatan pertama dari usahanya menjalankan macam-macam tindakan darurat guna menyempurnakan tata usaha negara kepada susunan demokrasi. Yang terpenting dalam perubahan-perubahan susunan kabinet baru itu ialah, tanggung jawab adalah di dalam tangan menteri."  
  
           Menpen Mr Amir Sjarifuddin pada 24 November 1945 memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang perubahan pertanggungjawaban menteri itu. KNP yang melaksanakan sidang ke III di Jakarta 25-27 November 1945 juga menyetujui perubahan ini dengan membuat rumusan, "Membenarkan kebidjaksanaan Presiden perihal mendudukkan Perdana Menteri dan Menteri-menteri jang bertanggung djawab kepada Komite Nasional Pusat sebagai suatu langkah jang tidak dilarang oleh Undang2 Dasar dan perlu dalam keadaan sekarang."
 Dekrit Presiden dan Maklumat Presiden tidak disebut dalam Tap MPR No XX/MPRS /1966 tentang Memorandum DPRGR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia. Dekrit Presiden dan Maklumat Presiden merupakan pengumuman dari presiden untuk melaksanakan UUD, melaksanakan Tap MPR dalam bidang eksekutif atau peraturan pemerintah. Apakah perlu diberi "baju hukum" seperti terhadap Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, Hukum Tata Negara yang seharusnya menjawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar