photo IKLAN_zps0bd7cdbd.png

Jumat, 17 Mei 2013

Kakao


Kakao merupakan tumbuhan tahunan (perennial) berbentuk pohon, di alam dapat mencapai ketinggian 10m. Meskipun demikian, dalam pembudidayaan tingginya dibuat tidak lebih dari 5m tetapi dengan tajuk menyamping yang meluas. Hal ini dilakukan untuk memperbanyak cabang produktif.
Bunga kakao, sebagaimana anggota Sterculiaceae lainnya, tumbuh langsung dari batang (cauliflorous). Bunga sempurna berukuran kecil (diameter maksimum 3cm), tunggal, namun nampak terangkai karena sering sejumlah bunga muncul dari satu titik tunas. Bunga kakao tumbuh dari batang. Penyerbukan bunga dilakukan oleh serangga (terutama lalat kecil (midge) Forcipomyia, semut bersayap, afid, dan beberapa lebah Trigona) yang biasanya terjadi pada malam hari. Bunga siap diserbuki dalam jangka waktu beberapa hari.
Kakao secara umum adalah tumbuhan menyerbuk silang dan memiliki sistem inkompatibilitas-sendiri (lihat penyerbukan). Walaupun demikian, beberapa varietas kakao mampu melakukan penyerbukan sendiri dan menghasilkan jenis komoditi dengan nilai jual yang lebih tinggi. Buah tumbuh dari bunga yang diserbuki. Ukuran buah jauh lebih besar dari bunganya, dan berbentuk bulat hingga memanjang. Buah terdiri dari 5 daun buah dan memiliki ruang dan di dalamnya terdapat biji. Warna buah berubah-ubah. Sewaktu muda berwarna hijau hingga ungu. Apabila masak kulit luar buah biasanya berwarna kuning. Biji terangkai pada plasenta yang tumbuh dari pangkal buah, di bagian dalam. Biji dilindungi oleh salut biji (aril) lunak berwarna putih. Dalam istilah pertanian disebut pulp. Endospermia biji mengandung lemak dengan kadar yang cukup tinggi. Dalam pengolahan pascapanen, pulp difermentasi selama tiga hari lalu biji dikeringkan di bawah sinar matahari.
(Suryana, 2005)


 Produksi Kakao Indonesia
Produksi biji kakao Indonesia pernah mengalami penurunan pada tahun 1997 dan 1999, hal tersebut disebabkan terjadinya musim panas dan penurunan luas areal tanaman kakao itu sendiri.  Jika sebelum tahun 1987, produksi biji kakao Indonesia didominasi oleh perkebunan besar Negara dengan porsi 50 sampai 80%, maka semenjak tahun 1987 (lebih dari 50%) pangsa pasar terbesar untuk produksi kakao diduduki oleh Perkebunan Rakyat.

Tabel 1. Perkembangan   Produksi    Tanaman   Kakao   Indonesia  Menurut Status Pengusahaan, Tahun 1980-2004
Tahun
Perkebunan
Rakyat (PR)
Perkebunan Besar
Negara (PBN)
Perkebunan Besar
Swasta (PBS)
Total
Produksi
(Ton)
(%)
(Ton)
(%)
(Ton)
(%)
(Ton)
(%)
1980
1.058
10,29
8.410
81,78
816
7,93
10.284
100
1981
1.437
10,94
10.429
79,39
1.271
9,67
13.137
100
1982
3.787
21,94
11.464
66,42
2.009
11,64
17.260
100
1983
5.401
27,50
11.738
59,77
2.501
12,73
19.640
100
1984
6.229
23,50
16.561
62,49
3.712
14,01
26.502
100
1985
8.997
26,62
20.512
60,69
4.289
12,69
33.798
100
1986
11.761
34,26
18.288
53,28
4.278
12,46
34.327
100
1987
25.841
51,48
17.658
35,18
6.700
13,35
50.199
100
1988
39.757
50,11
24.112
30,39
15.466
19,49
79.335
100
1989
68.259
61,77
26.975
24,41
15.275
13,82
110.509
100
1990
97.418
68,44
27.016
18,98
17.913
12,58
142.347
100
1991
119.284
68,20
35.463
20,28
20.152
11,52
174.899
100
1992
145.563
70,27
35.993
17,38
25.591
12,35
207.147
100
1993
187.529
72,67
40.638
15,75
29.892
11,58
258.059
100
1994
198.001
73,34
42.086
15,59
29.894
11,07
269.981
100
1995
231.992
76,10
40.933
13,43
31.941
10,48
304.866
100
1996
304.013
81,29
36.456
9,748
33.530
8,96
373.999
100
1997
263.846
79,90
35.644
10,79
30.729
9,31
330.219
100
1998
369.887
82,39
46.307
10,32
32.733
7,29
448.927
100
1999
304.549
82,88
37.064
10,09
25.862
7,04
367.475
100
2000
363.628
86,34
34.790
8,26
22.724
5,40
421.142
100
2001
476.924
88,85
33.905
6,32
25.975
4,84
536.804
100
2002
511.379
89,53
34.083
5,97
25.693
4,50
571.155
100
2003
634.877
90,85
32.075
4,59
31.864
4,56
698.816
100
2004*
585.955
90,03
32.881
5,05
32.042
4,92
650.878
100
Sumber : Ditjen Perkebunan, 2005. Statistik Kakao. Departemen Pertanian

Perkembangan Komoditas Kakao di Indonesia
Kakao merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber devisa negara, pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri. Pada tahun 2002, perkebunan kakao telah menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu kepala keluarga petani yang sebagian besar berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI) serta memberikan sumbangan devisa terbesar ke tiga sub sektor perkebunan setelah karet dan minyak sawit dengan nilai sebesar US $ 701 juta.
Tanaman kakao mempunyai sejarah yang cukup panjang di Indonesia. Tanaman ini pertama kali dibawa ke Indonesia oleh bangsa Spanyol pada tahun 1560 dan pertama kali ditanam di Celebes (sekarang Sulawesi), Minahasa. Menurut Van Hall (cit. Wahyudi : 2008) pada tahun 1859, di Ambon sudah terdapat 10.000-12.000 pohon tanaman kakao dan telah menghasilkan sebanyak 11,6 ton biji kakao.8 Eksport kakao pertama dilakukan pada tahun 1825-1838 dengan jumlah eksport sekitar 92 ton. Namun pada tahun 1928 ekpor kakao Indonesia terhenti karena serangan hama tanaman kakao.
Penanaman kakao di Jawa baru dimulai sekitar tahun 1880 di Jawa Tengah. Beberapa perkebunan kopi di Jawa tengah kemudian disusul oleh perkebunan di Jawa Timur mulai melakukan percobaan menanam kakao. Hal ini disebabkan pada saat itu tanaman kopi Arabika mengalami kerusakan akibat terserang penyakit karat daun (Hemileia vastatrix B et Br).
Jenis tanaman kakao di Indonesia umumnya adalah kakao jenis lindak dengan sentra produksi utama adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah. Disamping itu juga diusahakan jenis kakao mulia oleh perkebunan besar negara di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Dari segi kualitas, kakao Indonesia tidak kalah dengan kakao dunia dimana bila dilakukan fermentasi dengan baik dapat mencapai cita rasa setara dengan kakao yang berasal dari Ghana. Kakao Indonesia mempunyai kelebihan dibandingkan kakao dari negara lain, yaitu tidak mudah meleleh sehingga cocok bila dipakai untuk blending. Sejalan dengan keunggulan tersebut, peluang pasar kakao Indonesia cukup terbuka baik eksport maupun kebutuhan dalam negeri, sehingga potensi untuk menggunakan industri kakao sebagai salah satu pendorong pertumbuhan dan distribusi pendapatan cukup terbuka.
Meskipun demikian, berbagai permasalahan seperti produktivitas kebun masih rendah akibat serangan hama penggerek buah kakao (PBK), mutu produk masih rendah serta masih belum optimalnya pengembangan produk hilir kakao menjadi hambatan dalam pengembangan agribisnis kakao di Indonesia. Perkebunan kakao di Indonesia mengalami perkembangan pesat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Pada tahun 2006 areal perkebunan kakao Indonesia tercatat seluas 1.191.800 ha, dimana 1.105.700 (93%) diantaranya merupakan perkebunan rakyat sedangkan sisanya sebesar 38.500 ha (3%) merupakan Perkebunan Milik Negara dan 47.600 ha (4%) merupakan perkebunan swasta. Namun dari total luas areal tersebut, hanya 839.300 ha (70%) yang merupakan perkebunan yang menghasilkan. Sisanya merupakan areal perkebunan baru ataupun areal tanaman rusak.
(Tuti, 2009)


Analisis Daya Saing Biji Coklat Indonesia dalam Perdagangan Internasional
Kakao sebagai komoditi unggulan perkebunan, sumber devisa negara dan lapangan kerja, mendorong pertumbuhan agroindustri. Untuk volume produksi Kakao pada 2010 ada sedikit kenaikan setelah adanya program peningkatan produksi dan mutu. Produksi kakao Indonesia telah mengalami peningkatan sangat besar sehingga mampu menyalip Ghana. Produksi kakao kering Indonesia sebanyak 800.000 ton setahun. Adapun Pantai Gading masih bertahan di urutan pertama dengan produksi 1,1 juta hingga 1,2 juta ton. Dengan situasi politik Pantai Gading sekarang kurang kondusif, maka pemilik industri kakao dunia mulai melirik negara lain, termasuk Indonesia. Ini harus ditangkap sebagai peluang untuk pengembangan pasar dan peningkatan produksi kakao nasional. Permintaan kakao dunia akan terus meningkat, sementara persediaan tidak beranjak naik. Kini banyak petani yang berswadaya memperluas areal tanaman kakao karena prospek ke depan sangat baik.
Untuk daerah penghasil kakao terbanyak di Indonesia hanya ada di empat provinsi, yakni Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah yang menguasai 70 persen produksi Produksi kakao Indonesia berpengaruh karena bila produksi dalam negeri berlebih maka kelebihan ini dapat ditawarkan ke negara lain melalui kegiatan ekspor. Naik-turunnya jumlah konsumsi kakao domestik diduga berpengaruh terhadap jumlah penawaran ekspor kakao Indonesia. Harga kakao internasional dan harga kakao domestik digunakan dalam penelitian ini, karena dalam hukum penawaran maupun permintaan, harga dapat mempengaruhi jumlah penawaran dan permintaan. Jumlah ekspor kakao pada tahun sebelumnya digunakan sebagai faktor yang mempengaruhi, karena naik turunnya jumlah ekspor kakao pada saat ini dapat diperkirakan oleh jumlah ekspor kakao pada tahun sebelumnya. Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika merupakan faktor pendukung yang memungkinkan terjadinya perdagangan Internasional.
Kakao Indonesia dari segi kualitas, tidak kalah dengan kakao dunia dimana bila dilakukan fermentasi dengan baik dapat mencapai cita rasa setara dengan kakao yang berasal dari Ghana, dan kakao Indonesia mempunyai kelebihan yaitu tidak mudah meleleh sehingga cocok bila dipakai untuk blending. Sejalan dengan keunggulan tersebut, peluang pasar kakao Indonesia cukup terbuka baik ekspor maupun kebutuhan dalam negeri. Dengan kata lain, potensi untuk menggunakan industri kakao sebagai salah satu pendorong pertumbuhan dan distribusi pendapatan cukup terbuka. Meskipun demikian, agribisnis kakao Indonesia masih menghadapi berbagai masalah kompleks antara lain produktivitas kebun masih rendah akibat serangan hama penggerek buah kakao (PBK), mutu produk masih rendah serta masih belum optimalnya pengembangan produk hilir kakao. Hal ini menjadi suatu tantangan sekaligus peluang bagi para investor untuk mengembangkan usaha dan meraih nilai tambah yang lebih besar dari agribisnis kakao. Untuk harga biji kakao dunia sekira USD2.700-USD3.000 per ton, sedangkan harga bubuk kakao USD4.200 per ton. Tantangan ke depan itu lebih ke soal cuaca. Kemungkinan akan mempengaruhi produksi.
(Purba, 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar