Kakao merupakan tumbuhan tahunan
(perennial) berbentuk pohon, di alam dapat mencapai ketinggian 10m. Meskipun
demikian, dalam pembudidayaan tingginya dibuat tidak lebih dari 5m tetapi
dengan tajuk menyamping yang meluas. Hal ini dilakukan untuk memperbanyak
cabang produktif.
Bunga kakao, sebagaimana anggota
Sterculiaceae lainnya, tumbuh langsung dari batang (cauliflorous). Bunga
sempurna berukuran kecil (diameter maksimum 3cm), tunggal, namun nampak
terangkai karena sering sejumlah bunga muncul dari satu titik tunas. Bunga
kakao tumbuh dari batang. Penyerbukan bunga dilakukan oleh serangga (terutama
lalat kecil (midge) Forcipomyia, semut bersayap, afid, dan beberapa lebah
Trigona) yang biasanya terjadi pada malam hari. Bunga siap diserbuki dalam
jangka waktu beberapa hari.
Kakao secara umum adalah tumbuhan
menyerbuk silang dan memiliki sistem inkompatibilitas-sendiri (lihat
penyerbukan). Walaupun demikian, beberapa varietas kakao mampu melakukan
penyerbukan sendiri dan menghasilkan jenis komoditi dengan nilai jual yang
lebih tinggi. Buah tumbuh dari bunga yang diserbuki. Ukuran buah jauh lebih
besar dari bunganya, dan berbentuk bulat hingga memanjang. Buah terdiri dari 5
daun buah dan memiliki ruang dan di dalamnya terdapat biji. Warna buah
berubah-ubah. Sewaktu muda berwarna hijau hingga ungu. Apabila masak kulit luar
buah biasanya berwarna kuning. Biji terangkai pada plasenta yang tumbuh dari
pangkal buah, di bagian dalam. Biji dilindungi oleh salut biji (aril) lunak
berwarna putih. Dalam istilah pertanian disebut pulp. Endospermia biji
mengandung lemak dengan kadar yang cukup tinggi. Dalam pengolahan pascapanen,
pulp difermentasi selama tiga hari lalu biji dikeringkan di bawah sinar
matahari.
(Suryana, 2005)
Produksi Kakao Indonesia
Produksi
biji kakao Indonesia pernah mengalami penurunan pada tahun 1997 dan 1999, hal
tersebut disebabkan terjadinya musim panas dan penurunan luas areal tanaman
kakao itu sendiri. Jika sebelum tahun 1987, produksi biji kakao Indonesia
didominasi oleh perkebunan besar Negara dengan porsi 50 sampai 80%, maka
semenjak tahun 1987 (lebih dari 50%) pangsa pasar terbesar untuk produksi kakao
diduduki oleh Perkebunan Rakyat.
Tabel 1. Perkembangan Produksi
Tanaman Kakao Indonesia Menurut Status Pengusahaan, Tahun 1980-2004
Tahun
|
Perkebunan
Rakyat (PR)
|
Perkebunan Besar
Negara (PBN)
|
Perkebunan Besar
Swasta (PBS)
|
Total
Produksi
|
||||
(Ton)
|
(%)
|
(Ton)
|
(%)
|
(Ton)
|
(%)
|
(Ton)
|
(%)
|
|
1980
|
1.058
|
10,29
|
8.410
|
81,78
|
816
|
7,93
|
10.284
|
100
|
1981
|
1.437
|
10,94
|
10.429
|
79,39
|
1.271
|
9,67
|
13.137
|
100
|
1982
|
3.787
|
21,94
|
11.464
|
66,42
|
2.009
|
11,64
|
17.260
|
100
|
1983
|
5.401
|
27,50
|
11.738
|
59,77
|
2.501
|
12,73
|
19.640
|
100
|
1984
|
6.229
|
23,50
|
16.561
|
62,49
|
3.712
|
14,01
|
26.502
|
100
|
1985
|
8.997
|
26,62
|
20.512
|
60,69
|
4.289
|
12,69
|
33.798
|
100
|
1986
|
11.761
|
34,26
|
18.288
|
53,28
|
4.278
|
12,46
|
34.327
|
100
|
1987
|
25.841
|
51,48
|
17.658
|
35,18
|
6.700
|
13,35
|
50.199
|
100
|
1988
|
39.757
|
50,11
|
24.112
|
30,39
|
15.466
|
19,49
|
79.335
|
100
|
1989
|
68.259
|
61,77
|
26.975
|
24,41
|
15.275
|
13,82
|
110.509
|
100
|
1990
|
97.418
|
68,44
|
27.016
|
18,98
|
17.913
|
12,58
|
142.347
|
100
|
1991
|
119.284
|
68,20
|
35.463
|
20,28
|
20.152
|
11,52
|
174.899
|
100
|
1992
|
145.563
|
70,27
|
35.993
|
17,38
|
25.591
|
12,35
|
207.147
|
100
|
1993
|
187.529
|
72,67
|
40.638
|
15,75
|
29.892
|
11,58
|
258.059
|
100
|
1994
|
198.001
|
73,34
|
42.086
|
15,59
|
29.894
|
11,07
|
269.981
|
100
|
1995
|
231.992
|
76,10
|
40.933
|
13,43
|
31.941
|
10,48
|
304.866
|
100
|
1996
|
304.013
|
81,29
|
36.456
|
9,748
|
33.530
|
8,96
|
373.999
|
100
|
1997
|
263.846
|
79,90
|
35.644
|
10,79
|
30.729
|
9,31
|
330.219
|
100
|
1998
|
369.887
|
82,39
|
46.307
|
10,32
|
32.733
|
7,29
|
448.927
|
100
|
1999
|
304.549
|
82,88
|
37.064
|
10,09
|
25.862
|
7,04
|
367.475
|
100
|
2000
|
363.628
|
86,34
|
34.790
|
8,26
|
22.724
|
5,40
|
421.142
|
100
|
2001
|
476.924
|
88,85
|
33.905
|
6,32
|
25.975
|
4,84
|
536.804
|
100
|
2002
|
511.379
|
89,53
|
34.083
|
5,97
|
25.693
|
4,50
|
571.155
|
100
|
2003
|
634.877
|
90,85
|
32.075
|
4,59
|
31.864
|
4,56
|
698.816
|
100
|
2004*
|
585.955
|
90,03
|
32.881
|
5,05
|
32.042
|
4,92
|
650.878
|
100
|
Sumber : Ditjen Perkebunan, 2005. Statistik Kakao. Departemen Pertanian
Perkembangan
Komoditas Kakao di Indonesia
Kakao
merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang peranannya cukup penting
bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber
devisa negara, pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri. Pada tahun
2002, perkebunan kakao telah menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan
bagi sekitar 900 ribu kepala keluarga petani yang sebagian besar berada di
Kawasan Timur Indonesia (KTI) serta memberikan sumbangan devisa terbesar ke tiga
sub sektor perkebunan setelah karet dan minyak sawit dengan nilai sebesar US $ 701
juta.
Tanaman
kakao mempunyai sejarah yang cukup panjang di Indonesia. Tanaman ini pertama
kali dibawa ke Indonesia oleh bangsa Spanyol pada tahun 1560 dan pertama kali
ditanam di Celebes (sekarang Sulawesi), Minahasa. Menurut Van Hall (cit.
Wahyudi : 2008) pada tahun 1859, di Ambon sudah terdapat 10.000-12.000 pohon
tanaman kakao dan telah menghasilkan sebanyak 11,6 ton biji kakao.8 Eksport kakao
pertama dilakukan pada tahun 1825-1838 dengan jumlah eksport sekitar 92 ton.
Namun pada tahun 1928 ekpor kakao Indonesia terhenti karena serangan hama tanaman
kakao.
Penanaman
kakao di Jawa baru dimulai sekitar tahun 1880 di Jawa Tengah. Beberapa
perkebunan kopi di Jawa tengah kemudian disusul oleh perkebunan di Jawa Timur
mulai melakukan percobaan menanam kakao. Hal ini disebabkan pada saat itu tanaman
kopi Arabika mengalami kerusakan akibat terserang penyakit karat daun (Hemileia
vastatrix B et Br).
Jenis
tanaman kakao di Indonesia umumnya adalah kakao jenis lindak dengan sentra
produksi utama adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah.
Disamping itu juga diusahakan jenis kakao mulia oleh perkebunan besar negara di
Jawa Timur dan Jawa Tengah. Dari segi kualitas, kakao Indonesia tidak kalah
dengan kakao dunia dimana bila dilakukan fermentasi dengan baik dapat mencapai
cita rasa setara dengan kakao yang berasal dari Ghana. Kakao Indonesia mempunyai
kelebihan dibandingkan kakao dari negara lain, yaitu tidak mudah meleleh
sehingga cocok bila dipakai untuk blending. Sejalan dengan keunggulan tersebut,
peluang pasar kakao Indonesia cukup terbuka baik eksport maupun kebutuhan dalam
negeri, sehingga potensi untuk menggunakan industri kakao sebagai salah satu
pendorong pertumbuhan dan distribusi pendapatan cukup terbuka.
Meskipun
demikian, berbagai permasalahan seperti produktivitas kebun masih rendah akibat
serangan hama penggerek buah kakao (PBK), mutu produk masih rendah serta masih
belum optimalnya pengembangan produk hilir kakao menjadi hambatan dalam pengembangan
agribisnis kakao di Indonesia. Perkebunan kakao di Indonesia mengalami
perkembangan pesat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Pada tahun 2006 areal
perkebunan kakao Indonesia tercatat seluas 1.191.800 ha, dimana 1.105.700 (93%)
diantaranya merupakan perkebunan rakyat sedangkan sisanya sebesar 38.500 ha
(3%) merupakan Perkebunan Milik Negara dan 47.600 ha (4%) merupakan perkebunan
swasta. Namun dari total luas areal tersebut, hanya 839.300 ha (70%) yang
merupakan perkebunan yang menghasilkan. Sisanya merupakan areal perkebunan baru
ataupun areal tanaman rusak.
(Tuti,
2009)
Analisis Daya Saing Biji Coklat Indonesia dalam Perdagangan Internasional
Kakao sebagai komoditi unggulan
perkebunan, sumber devisa negara dan lapangan kerja, mendorong pertumbuhan
agroindustri. Untuk volume produksi Kakao pada 2010 ada sedikit kenaikan
setelah adanya program peningkatan produksi dan mutu. Produksi kakao Indonesia
telah mengalami peningkatan sangat besar sehingga mampu menyalip Ghana.
Produksi kakao kering Indonesia sebanyak 800.000 ton setahun. Adapun Pantai
Gading masih bertahan di urutan pertama dengan produksi 1,1 juta hingga 1,2
juta ton. Dengan situasi politik Pantai Gading sekarang kurang kondusif, maka
pemilik industri kakao dunia mulai melirik negara lain, termasuk Indonesia. Ini
harus ditangkap sebagai peluang untuk pengembangan pasar dan peningkatan
produksi kakao nasional. Permintaan kakao dunia akan terus meningkat, sementara
persediaan tidak beranjak naik. Kini banyak petani yang berswadaya memperluas
areal tanaman kakao karena prospek ke depan sangat baik.
Untuk daerah penghasil kakao terbanyak
di Indonesia hanya ada di empat provinsi, yakni Sulawesi Barat, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah yang menguasai 70 persen
produksi Produksi kakao
Indonesia berpengaruh karena bila produksi dalam negeri berlebih maka kelebihan
ini dapat ditawarkan ke negara lain melalui kegiatan ekspor. Naik-turunnya
jumlah konsumsi kakao domestik diduga berpengaruh terhadap jumlah penawaran
ekspor kakao Indonesia. Harga kakao internasional dan harga kakao domestik
digunakan dalam penelitian ini, karena dalam hukum penawaran maupun permintaan,
harga dapat mempengaruhi jumlah penawaran dan permintaan. Jumlah ekspor kakao
pada tahun sebelumnya digunakan sebagai faktor yang mempengaruhi, karena naik
turunnya jumlah ekspor kakao pada saat ini dapat diperkirakan oleh jumlah
ekspor kakao pada tahun sebelumnya. Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika
merupakan faktor pendukung yang memungkinkan terjadinya perdagangan
Internasional.
Kakao Indonesia dari segi kualitas,
tidak kalah dengan kakao dunia dimana bila dilakukan fermentasi dengan baik
dapat mencapai cita rasa setara dengan kakao yang berasal dari Ghana, dan kakao
Indonesia mempunyai kelebihan yaitu tidak mudah meleleh sehingga cocok bila
dipakai untuk blending. Sejalan
dengan keunggulan tersebut, peluang pasar kakao Indonesia cukup terbuka baik
ekspor maupun kebutuhan dalam negeri. Dengan kata lain, potensi untuk
menggunakan industri kakao sebagai salah satu pendorong pertumbuhan dan
distribusi pendapatan cukup terbuka. Meskipun demikian, agribisnis kakao
Indonesia masih menghadapi berbagai masalah kompleks antara lain produktivitas
kebun masih rendah akibat serangan hama penggerek buah kakao (PBK), mutu produk
masih rendah serta masih belum optimalnya pengembangan produk hilir kakao. Hal
ini menjadi suatu tantangan sekaligus peluang bagi para investor untuk
mengembangkan usaha dan meraih nilai tambah yang lebih besar dari agribisnis
kakao. Untuk harga biji kakao dunia
sekira USD2.700-USD3.000 per ton, sedangkan harga bubuk kakao USD4.200 per ton.
Tantangan ke depan itu lebih ke soal cuaca. Kemungkinan akan mempengaruhi
produksi.
(Purba, 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar