photo IKLAN_zps0bd7cdbd.png

Jumat, 17 Mei 2013

Rule of law

Rule of law yang diartikan sebagai ‘kekuasaan sebuah hukum’ merupakan tradisi hukum barat yang mengutamakan prinsip equality before law. Ungkapan yang sering mengekspresikannya adalah ‘government by law and not by men’. Diantara ciri-cirinya: adanya supremasi aturan-aturan hukum, kesamaan kedudukan di depan hukum, dan jaminan perlindungan HAM. Doktrin yang muncul pada abad ke-19 ini memberikan kebebasan bagi individu, mendasari terciptanya masyarakat yang demokratis, dan menjanjikan kepastian hukum tetapi disinyalir sarat dengan kepentingan sosial dan temporal masyarakat industrialis-kapitalis saat kemunculannya, sehingga sering missmatch dengan kondisi riil kekinian. Karenanya muncul ketidakpuasan dan kritik dalam rangka menyempurnakan rule of law. Di Indonesia sendiri rule of law diadopsi secara taken for granted sebagai satu-satunya pemikiran hukum, padahal dalam realitanya hukumnya dinilai sering tidak mencerminkan rasa keadilan sosial dan menjauh dari masyarakat. Tawaran kemudian banyak muncul untuk mempertimbangkan ‘konsep lain’ yang lebih dinamis dalam berhukum seperti rule of justice, rule of social justice, rule of moral, atau rule of Pancasila disamping rule of law, untuk menjadikan hukum lebih adil dan memihak.
Hukum memainkan banyak peran dalam masyarakat. Teguh Prasetyo (2007: 39), menyebut tiga peranan utama hukum dalam masyarakat, yakni pertama, sebagai sarana pengendalian sosial; kedua, sebagai sarana untuk memperlancar proses interaksi sosial; ketiga, sebagai sarana untuk menciptakan keadaan tertentu. Dengan ungkapan lain, Zainuddin Ali (2006: 37-39) mengemukakan bahwa peran dan fungsi hukum sebagai sosial kontrol di dalam masyarakat, alat untuk mengubah masyarakat, simbol pengetahuan, instrumen politik, dan sebagai alat integrasi. Anton Freddy (2005: 89) menyebut peranan hukum sebagai sarana pembentukan perilaku dalam masyarakat untuk menghubungkan kepada seperangkat tujuan melalui orang-orang yang memiliki pengaruh di dalamnya. Sedangkan Theo Huijbers (1982: 289) menyebut bahwa fungsi hukum adalah untuk memelihara kepentingan umum dalam masyarakat, menjaga hak-hak manusia, mewujudkan keadilan sosial dalam hidup bersama. Ketiga hal ini tidak saling bertentangan, tetapi merupakan satu konsep dasar, yakni bahwa manusia harus hidup dalam suatu masyarakat, dan masyarakat itu harus dapat diatur dengan baik.
 Supremasi hukum (rule of law) dapat dianggap sebagai unsur utama yang mendasari terciptanya masyarakat yang demokratis dan adil. Jika hukum tidak ditegakkan betul, selalu ada kecenderungan dari pihak-pihak yang kuat untuk bersikap sewenang-wenang dan yang lemah diperlakukan tidak adil. Yang lemah dapat diambil haknya, bukan karena yang kuat itu berhak, tetapi karena yang lemah itu memang salah. Pemerintahan dapat disebut berdasarkan hukum apabila menyatakan bahwa hukum adalah otoritas tertinggi dan bahwa semua warga negara—termasuk para pejabat pemerintah—tunduk pada hukum dan sama-sama berhak atas perlindungannya. “Kesepatakan” bersama untuk menerima ini akan menjanjikan munculnya sebuah keteraturan dalam hidup berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
Dalam keadaan supremasi hukum yang sudah established, maka kepentingan dari semua orang akan terlindungi, termasuk dari pihak yang kuat. Bagi masyarakat hal ini merupakan sebuah keberuntungan jika semua mengikuti hukum. Adalah Imanuel Kant, seorang filosof yang memikirkan persoalan ini lebih 300 tahun yang lalu, dia mengatakan bahwa dalam negara dengan hukum yang baik, maka rakyat yang terdiri atas setan-setanpun akan menaati hukum. Menurut Frans Magnis Suseno dalam forum kajian hukum Freedom Institute 14 Mei 2007, apa yang hendak dikatakan Kant adalah bahwa meskipun orang-orang berwatak jelek, tapi karena hukum begitu masuk akal dan menguntungkan semuanya, maka mereka dengan sendirinya akan mengikutinya juga. Ini juga berarti bahwa yang kuat pun akan beruntung karena adanya aturan yang jelas. Yang kuat tetap dapat memakai kekuatannya dalam ruang yang bebas, misalnya persaingan ekonomi. Di sini yang kuat bisa menang, tapi bukan dengan tidak adil

Definisi dan Sejarah Perkembangan Rule of Law
Secara literal rule of law (supremasi hukum) menurut Josep Raz (1979: 212) dapat diartikan sebagai “kekuasaan dari sebuah hukum”. Secara luas, rule of law memiliki makna: “…that people should obey the law and ruled by it”. Ini berarti bahwa masyarakat berkewajiban untuk mentaati hukum dan dikendalikan dengannya. Hanya saja, lanjut Raz dalam politik dan teori hukum pemaknaan ini menjadi sempit, yakni bahwa pemerintah hendaknya dikendalikan oleh hukum dan menjadi subyek terhadapnya. Dalam pengertian ideal seperti ini, supremasi hukum sering diekpresikan dengan ungkapan ‘government by law and not by men’, meskipun pada kenyataannya pemerintahan memang harus terdiri dari hukum dan manusia. Makna rule of law mengharuskan seluruh tindakan pemerintah memiliki landasan dan memiliki pengesahan hukum.
Aspek literal Rule of law memiliki dua aspek, yakni: pertama, bahwa setiap orang harus dikendalikan oleh hukum dan mentaatinya; kedua, bahwa hukum hendaknya menjadikan orang mampu diarahkan dengannya. Ini berarti bahwa hukum harus dapat untuk ditaati. Seseorang dituntut oleh menyesuaikan diri dengan hukum dan bukan untuk melanggarnya. Hanya saja ketaatan seseorang terhadap hukum terjadi jika yang bersangkutan memiliki “kecocokan” dengan pengetahuannya. Oleh karenanya, hukum yang akan ditaati hendaknya bersifat must be capable of guiding the behavior of its subject. Hukum hendaknya dapat diketahui maksudnya dan dapat dijadikan pijakan dalam bertindak. (Raz, 1979: 213)
Moch. Mahfud MD (1999: 127) menyebut bahwa rule of law dianut oleh negara-negara-negara dengan tradisi Anglo Saxon yang bertumpu pada sistem common law . Rule of law mengutamakan prinsip equality before law. Adapun ciri-cirinya adalah :
1. Adanya supremasi aturan-aturan hukum,
2. Adanya kesamaan kedudukan di depan hukum, dan
3. Adanya jaminan perlindungan HAM.

A.V. Dicey (2007: 264-265) mengartikan rule of law dalam tiga definisi yang berbeda. Pertama, rule of law berarti supremasi hukum atau superioritas hukum regular yang mutlak yang bertentangan dengan pengaruh kekuasaan yang sewenang-wenang, dan mencabut hak prerogatif atau bahkan kekuasaan bertindak yang besar di pihak pemerintah. Kedua, ia juga berarti kesetaraan di depan hukum, atau ketundukan setara semua kelompok masyarakat kepada hukum umum negara yang dijalankan oleh Mahkamah hukum umum. Ketiga, adalah fakta bahwa hukum konstitusi, aturan-aturan yang di luar negeri membentuk sebagian undang-undang konstitusi.
Rule of law sebagaimana dinyatakan Ensiklopedi Wikipedia merupakan prinsip dasar yang menyatakan bahwa tidak ada seseorangpun yang berada di atas hukum. Dalam pampletnya Common Sense (1776), Thomas Paine menyatakan bahwa: “dalam pemerintahan absolute, raja adalah hukum, tetapi dalam Negara-negara yang bebas, maka hukum harus menjadi raja dan bukan yang lainnya”. Di Inggris, dideklarasikannya Magna Carta (1215) merupakan contoh riil tegaknya rule of law terutama pada masa klasik.
Sunarjati Hatono (1976:30) menyebut inti pengertian rule of law adalah jaminan apa yang disebut sebagai keadilan sosial. Selanjutnya Sunarjati (1976: 28) mengutip pendapat Friedman, memakai kata rule of law dalam arti formil dan arti materiil. Dalam arti formil, rule of law diartikan sebagai organized public power atau kekuatan umum yang terorganisir. Dalam pengertian ini maka setiap organisasi hukum (termasuk negara) memiliki rule of law-nya sendiri. Sedangkan dalam arti materiil, rule of law adalah hal yang menyangkut ukuran-ukuran tentang hukum yang baik dan hukum yang buruk, yakni tentang just dan unjust law.

Doktrin rule of law mulai muncul pada abad ke-19 berbarengan dengan negara konstitusi dan demokrasi. Kehadirannya dapat disebut sebagai reaksi dan koreksi terhadap negara yang absolut sebelum itu. Satjipto (2006: 14) menyebut kemunculannya sebagai necessary evil, sesuatu yang buruk tetapi harus terjadi. Dari dunia yang sebelumnya tidak mengenal negara, tidak dapat diharapkan begitu saja memunculkan ‘negara berkonstitusi’. Paham negara, apapun bentuknya harus dimunculkan terlebih dahulu, dan itulah yang terjadi.
A. Gunaryo menambahkan (2006) bahwa kemunculan rule of law erat sekali dengan gerakan-gerakan sosial dan pola-pola kehidupan sosial yang menempatkan kebebasan individu sebagai prinsip dasar dari organisasi sosial. Thomson sebagaimana dikutip Gunaryo menegaskan bahwa konsep rule of law lahir di Inggris sebagai akibat dari munculnya gerakan pembebasan diri dari penindasan raja, sebuah kekuasaan yang absolut dan serba meliputi, dan dominasi kelas kelas-kelas sosial yang kuat. Di Amerika, konsep ini diberlakukan untuk menjamin kemerdekaan individu melalui hukum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa rule of law memiliki akar historis dan sosiologis yang kuat dengan dunia barat. Gerakan-gerakan ini membawa banyak perubahan diantaranya munculnya negara modern.

Konsepsi negara hukum model rule of law yang lebih menitik beratkan individualisme tersebut telah menjadikan pemerintah sebagai “penjaga malam” (nachwachtersstaat) yang lingkup tugasnya sangat sempit dan terbatas (Mahfudz, 1999: 130). Pemerintah dituntut pasif dan hanya menjadi pelaksana berbagai keinginan rakyat yang dituangkan dalam undang-undang oleh parlemen. Agar tidak terjerumus dalam absolutisme, kekuasaan pemerintah dibatasi secara ketat. Konsep negara hukum abad XIX dikenal sebagai konsep negara hukum formal ini yang melahirkan berbagai kesenjangan sosial dan ekonomi. Individualisme liberal telah menyebabkan dominannya pemiliki modal dalam parlemen yang berdampak pada dibuatnya produk hukum yang menguntungkan kaum kapitalis. Pemeritah dalam hal ini tidak dapat berbuat banyak dan tidak boleh campur tangan selama tidak bertentangan dengan undang-undang.

Keadaan diatas menurut Mahfudz (1999: 130) melahirkan ketidakpuasan sehingga memunculkan gagasan tentang welfare state (negara hukum material). Gagasan ini didorong oleh sejumlah faktor yang merupakan ekses industrialisasi dalam sistem kapitalis, paham sosialisme yang menginginkan pembagian kekayaan secara merata dan kemenangan beberapa partai sosialis di Eropa. Berbeda dengan gagasan negara hukum formal yang melarang pemerintah untuk turut campur dalam kegiatan masyarakat, negara hukum material menuntut pemerintah untuk bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat karenanya tidak boleh pasif. Demokrasi diperluas cakupannya hingga masalah sosial ekonomi sehingga tidak berhenti pada perlindungan hak sipil dan politik semata. Dalam bidang ekonomi harus diterapkan sebuah sistem yang dapat menguasai kekuatan-kekuatan ekonomi dan mampu memperkecil perbedaan sosial dan ketidakmerataan distribusi kekayaan di kalangan rakyat. Untuk itu pemerintah diberi kewenangan untuk turut campur dalam berbagai kegiatan masyarakat dengan cara-cara pengaturan, penetapan dan materiale daad. Ciri negara hukum dari konsep rule of law dan rechtstaat karenanya perlu dirumuskan kembali. Perumusan kembali ciri-ciri tersebut akhirnya dihasilnya dari International Comission of Jurist pada konferensinya di Bangkok pada tahun 1965 yang mencirikan konsep negara hukum yang dinamis atau negara hukum material, sebagai berikut:
1. Adanya perlindungan konstitusional. Selain dapat menjamin hak-hak inidividu, konstitusi harus pula menentukan cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin.
2. Adanya kehakiman yang bebas dan tidak memihak.
3. Adanya Pemilihan Umum yang bebas.
4. Adanya kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi.
5. Adanya pendidikan kewarganegaraan.

Prinsip-prinsip Rule of Law
Diantara prinsip-prinsip yang dapat diambil dari ide pokok rule of law menurut Josep Raz ( 1979: 214-18) adalah :
1. Seluruh undang-undang hendaklah bersifat prospektif, terbuka dan jelas
Seseorang tidak dapat dikendalikan oleh hukum yang bersifat retroaktif (berlaku surut). Dalam kondisi tertentu, hukum retroaktif memang dapat diundangkan, tetapi hendaklah tetap tidak bertentangan dengan rule of law. Sebuah undang-undang hendaklah terbuka dan dipublikasikan secara memadai. Pada saat yang sama, makna yang dikandungnya harus jelas, tidak samar, atau teliti.
2. Undang-undang hendaknya bersifat stabil
Undang-undang hendaknya tidak sering berubah. Perubahan undang-undang yang terlalu sering akan mempersulit masyarakat untuk dapat “mengenal”nya dan menjadikan masyarakat dalam kekhawatiran yang berkepanjangan. Dalam kenyataannya masyarakat membutuhkan pengetahuan tentang hukum bukan untuk keputusan jangka pendek, tetapi juga untuk perencanaan jangka panjang (long term planning).
3. Pembuatan hukum khusus (particular law) hendaknya dipandu dengan terbuka, stabil, jelas, dan dengan aturan yang general.
Terkadang diasumsikan bahwa kebutuhan akan generalitas sebuah undang-undang merupakan esensi sebuah rule of law. Penegasan atas hal ini merupakan interpretasi literal dari rule of law ketika undang-undang dibaca dalam konotasinya sebagaimana dibatasi untuk generalisasi, stabil, dan hukum yang terbuka. Hal ini juga diperkuat dengan keyakinan bahwa rule of law secara khusus harus relevan untuk melindungi equality (perlakuan sama) yang biasanya berhubungan erat dengan generalitas sebuah hukum. Perbedaan ras, agama, dan kebiasaan bukan sebuah harmoni tetapi sering dilembagakan dalam aturan yang general.
4. Independensi peradilan harus mendapat jaminan.
Hal ini merupakan esensi dari sebuah sistem hukum kota (municipal legal system) bahwa institusi peradilan mendapatkan “kebebasan” untuk menentukan keputusannya. Independensi lembaga peradilan didesain untuk mendapatkan garansi sehingga bebas dari berbagai presseur dan independen dari segala bentuk otoritas lain yang turut mempengaruhi dalam pengambilan keputusan.
5. Prinsip-prinsip keadilan yang natural harus dijalankan
Keterbukaan, praktek hearing yang fair, ketiadaan bias dan semisalnya merupakan hal essensial dalam pelaksanaan sebuah hukum secara benar. Karenanya, berbagai konsideran yang disebut lebih dulu merupakan panduan yang patut dipertimbangkan dalam aksi hukum.
6. Pengadilan hendaknya mendapat kekuatan untuk meninjau kembali implementasi pendirian (hukum) yang lain.
Hal ini termasuk peninjauan kembali terhadap legislasi parlemen dan hukum administratif, meski dalam bentuk terbatas. Hal ini diperlukan untuk menguji kesesuaiannya terhadap rule of law.
7. Pengadilan hendaknya dapat diakses dengan mudah
Posisi sentral pengadilan dalam memastikan rule of law hendaknya menjadikan aksebilitas lembaga ini menjadi sangat penting. Penundaan yang berkepanjangan, ongkos yang berlebihan, dan sebagainya dimungkinkan akan mengubah hukum yang seharusnya mencerahkan menjadi a dead letter (kertas perkara yang tak berarti), dan membuat frustasi banyak pencari keadilan.
8. Praktek diskresi dalam rangka mencegah kejahatan tidak boleh “menyesatkan” pelaksanaan hukum.
Tidak hanya peradilan tetapi juga kepolisian dan mereka yang memiliki otoritas untuk melakukan tuntutan hukum, dapat menumbangkan hukum itu sendiri. Sebuah tuntutan tidak diperkenankan misalnya hanya dilakukan secara maksimal terhadap kriminal tertentu atau jika pelanggarnya dari golongan tertentu. Pencurahan sumber daya dan seluruh tenaga tetap harus dilakukan dalam setiap tuntutan hukum.
Daftar prinsip ini nampak lengkap, namun imbuh Raz (1979: 218), bisa saja ditemukan prinsip lain yang bersesuaian dengan rule of law lewat elaborasi lebih lanjut. Penyusunan daftar prinsip tersebut dimaksudkan untuk mengilustrasikan kekuatan dan manfaat konsep formal rule of law. Yang perlu diingat adalah bahwa analisis final terhadap doktrin ini terletak pada ide pokok bahwa hukum harus mampu menjadi pedoman yang efektif.

Rule of Law dan Penegakan hukum di Indonesia
Konsepsi Negara hukum Indonesia merupakan konsepsi sintetis dari beberapa konsep yang berbeda tradisi hukumnya. Mohamad Mahfud MD (1999: 139) menyatakan bahwa negara Indonesia ini diwarnai oleh campur aduk antara konsep-konsep rechtstaat, the rule of law, negara hukum formal, dan negara hukum material yang kemudian diberi nilai keindonesiaan sebagai nilai spesifik sehingga menjadi negara hukum Pancasila. Konsepsi sintesis seperti ini meskipun lahir dari kebutuhan lingkungan masyarakat Indoenesia yang spesifik tetapi mengandung resiko berupa seringnya muncul perdebatan tentang konsep negara hukum dengan acuan berbeda. Yang satu mengacu pada rechtsstaat sedangkan yang lain mengacu pada the rule of law, atau yang satu mengacu pada negara hukum formal dengan legisme-nya, sedangkan yang lain mengacu pada hukum material dengan just law-nya. Tradisi hukum Anglo Saxon yang bernama Rule of law masuk dalam UUD 1945 dapat dilihat minimal dari pasal 27 yang menentukan bahwa setiap warga Negara berkedudukan sama di depan hukum dan pemerintahan. Sementara itu istilah rechtstaat dan pelembagaan dunia peradilan yang membuka peradilan administrasi (tata usaha) Negara adalah cermin dari penganutan atas konsep negara hukum yang bersumber dari tradisi Eropa Kontinental.
Dalam sejarah perkembangan negara Indonesia sejak berdirinya (17-08-1945) sampai sekarang ini ternyata realisasi negara hukum masih jauh dari yang dicita-citakan. Dari segala kekurangan pemerintahan-pemerintahan masa lalu dalam mewujudkan negara hukum di Indonesia, pemerintahan rezim Orde Baru dapat disebut sebagai yang paling gagal. Bukan saja gagal, tetapi bahkan lebih lanjut rezim tersebut secara langsung atau tidak langsung menginjak-injak hukum, mengabaikan hukum, menyalahgunakan hukum, dan merekayasa hukum demi menjamin kelangsungan kekuasaannya.
Maka menurut MD Kartaprawira (2000) yang berlaku bukan lagi rule of law, yang menuntut agar peraturan hukum berfungsi menegakkan keadilan, melindungi hak-hak sosial dan politik warganegaranya dari pelanggaran-pelanggaran baik yang dilakukan oleh penguasa maupun warga. Tetapi rule by law, di mana segala peraturan hukum yang berlaku ditujukan untuk mengabdi kepada kepentingan rezim demi kelanggengannya dan pembenaran atas tindakan-tindakannya yang anti demokrasi, anti nasional, anti keadilan dan anti HAM. Di bawah rezim Orde Baru hukum dijadikan alat yang efektif untuk melaksanakan dominasi politik, mengontrol, mengendalikan, dan mengintervensi lembaga-lembaga negara dan parpol-parpol agar tidak membahayakan kekuasaannya. Itulah salah satu identitas rezim diktatur Orde Baru di Indonesia yang berlangsung selama 32 tahun.

Di Orde Reformasi, keadaan ini sedikit membaik. Kebebasan berorganisasi dan berpolitik mulai mendapatkan tempatnya. Lembaga-lembaga hukum tidak lagi sepenuhnya dikendalikan pemerintah. Kasus-kasus yang melibatkan mantan pejabat-pejabat negeri ini telah dapat dimejahijaukan meskipun penyelesaiannya tidak menggembirakan. Kasus KKN Suharto dan kroni-kroninya diselesaikan dengan sangat manipulatif. Misalnya kasus korupsi jamsostek sebesar Rp 7,2 milyar yang diloloskan oleh Suharto sewaktu masih berkuasa tanpa melalui proses pengadilan, lolos pula di era reformasi berdasarkan Surat Putusan Pemberhentian Perkara (SPPP) Jaksa Agung dikarenakan tidak ditemukannya cukup bukti. Hal ini tentu cukup memukul “rasa keadilan” masyarakat.
Diantara fenomena terakhir yang sangat menciderai dunia penegakan hukum kita adalah ketika praktek sogok menyogok hakim dan jaksa dalam penanganan sebuah perkara, banyak terjadi. Kasus jual beli tuntutan hukum yang melibatkan jaksa “brilian” Urip Tri Gunawan adalah contoh kongkritnya. Perihal keterlibatan oknum aparat yang seharusnya berdiri di garis terdepan dalam menegakkan supremasi hukum itu sendiri dalam berbagai kasus suap, korupsi, memang merupakan fakta yang tidak bisa ditutup-tutupi. Hakim disuap. Jaksa menerima upeti dari orang yang sedang diadili perkaranya. Kasus jaksa Urip dimungkinkan hanya salah satu diantara gunung es kebobrokan penegakan hukum kita.

 Kedudukan hukum adalah sebagai pilar utama pembangunan bangsa. Jika hukum diabaikan dan terciderai, maka pembangunan masa depan bangsa akan terbengkalai. Misalnya, korupsi yang belum dituntaskan akan mempengaruhi pembangunan ekonomi bangsa. Demikian juga dengan berbagai problema lainnya. Karena itu, berbagai kasus yang terjadi belakangan ini mengisyaratkan bahwa penegakan supremasi hukum di tanah air masih mengalami ujian yang sangat berat. Peristiwa bebasnya sejumlah bandar narkoba, pelaku illegal loging, penyerobotan tanah orang lain, pelaku korupsi, dan lain-lain dari jeratan hukum semakin membuktikan bahwa supremasi hukum belum benar-benar ditegakkan. Hukum masih terkesan pandang bulu. Perlakuan bagi pelanggar hukum masih sering memilah dan memilih.
  
PERTANYAAN
1. Masih relevankah rule of law di Indonesia ?
Inti dari rule of law adalah jaminan adanya keadilan bagi masyarakatnya, khususnya keadilan sosial. Pembukaan UUD 1945 memuat prinsip-prinsip rule of law, yang pada hakikatnya merupakan jaminan secara formal terhadap ‘’rasa keadilan’’ bagi rakyat Indonesia. Dengan kata lain, pembukaan UUD 1945 memberi jaminan adanya rule of law dan sekaligus rule of justice. Prinsip-prinsip rule of law di dalam pembukaan UUD 1945 bersifat tetap dan instruktif bagi penyelenggara negara, karena pembukaan UUD 1945 merupakan pokok kaidah fundamental Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Masyarakat madani (civil society) adalah kondisi suatu komunitas yang jauh dari monopoli kebenaran dan kekuasaan. Kebenaran dan kekuasaan adalah milik bersama. Setiap anggota masyarakat madani tidak bisa ditekan, ditakut-takuti, diganggu kebebasannya, semakin dijauhkan dari demokrasi, dan sejenisnya. Oleh karena itu, perjuangan menuju masyarakat madani pada hakikatnya merupakan proses panjang dan produk sejarah yang abadi, dan perjuangan melawan kezaliman dan dominasi para penguasa menjadi ciri utama masyarakat madani.
Menurut pemaparan di atas, saya bisa menyimpulkan bahwa rule of law di Indonesia sudah tidak relevan lagi. Karena di Indonesia pada saat ini sedang mengalami permasalahan yang besar yaitu lemahnya penegakan hukum.
Ada tidaknya penegakan hukum, tidak cukup hanya ditentukan oleh adanya hukum saja, akan tetapi, ada tidaknya penegakan hukum ditentukan oleh ada tidaknya keadilan yang dapat dinikmati setiap anggota masyarakat.
sedangkan kenyataannya yang terjadi di indonesia tidak demikian.
2. Bagaimana seharusnya rule of law itu dilaksanakan ?
Sebagai suatu legalisme yang memuat wawasan sosial, gagasan tentang hubungan antar manusia, masyarakat dan negara, harus dapat ditegakkan secara adil, dan hanya memihak kepada keadilan.
3. Sejauh mana komitmen pemerintah untuk melaksanakan prinsip-prinsip rule of law ?
Bagaimana komitmen pemerintah untuk melaksanakan rule of law yaitu melalui proses penegakan hukum yang dilakukan oleh lembaga penegak hokum yang terdiri: kepolisian, kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), badan peradilan (Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi). 
4. Apa yang harus dilakukan agar rule of law dapat berjalan efektif ?
Keberhasilan “the enforcement of the rules of law” harus didasarkan pada corak masyarakat hukum yang bersangkutan dan kepribadian nasional bangsa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar