Rule of law
yang diartikan sebagai ‘kekuasaan sebuah hukum’ merupakan tradisi hukum barat
yang mengutamakan prinsip equality before law. Ungkapan yang sering
mengekspresikannya adalah ‘government by law and not by men’. Diantara
ciri-cirinya: adanya supremasi aturan-aturan hukum, kesamaan kedudukan di depan
hukum, dan jaminan perlindungan HAM. Doktrin yang muncul pada abad ke-19 ini
memberikan kebebasan bagi individu, mendasari terciptanya masyarakat yang
demokratis, dan menjanjikan kepastian hukum tetapi disinyalir sarat dengan
kepentingan sosial dan temporal masyarakat industrialis-kapitalis saat
kemunculannya, sehingga sering missmatch dengan kondisi riil kekinian.
Karenanya muncul ketidakpuasan dan kritik dalam rangka menyempurnakan rule of
law. Di Indonesia sendiri rule of law diadopsi secara taken for granted sebagai
satu-satunya pemikiran hukum, padahal dalam realitanya hukumnya dinilai sering
tidak mencerminkan rasa keadilan sosial dan menjauh dari masyarakat. Tawaran
kemudian banyak muncul untuk mempertimbangkan ‘konsep lain’ yang lebih dinamis
dalam berhukum seperti rule of justice, rule of social justice, rule of moral, atau
rule of Pancasila disamping rule of law, untuk menjadikan hukum lebih adil dan
memihak.
Hukum
memainkan banyak peran dalam masyarakat. Teguh Prasetyo (2007: 39), menyebut
tiga peranan utama hukum dalam masyarakat, yakni pertama, sebagai sarana
pengendalian sosial; kedua, sebagai sarana untuk memperlancar proses interaksi
sosial; ketiga, sebagai sarana untuk menciptakan keadaan tertentu. Dengan
ungkapan lain, Zainuddin Ali (2006: 37-39) mengemukakan bahwa peran dan fungsi
hukum sebagai sosial kontrol di dalam masyarakat, alat untuk mengubah
masyarakat, simbol pengetahuan, instrumen politik, dan sebagai alat integrasi.
Anton Freddy (2005: 89) menyebut peranan hukum sebagai sarana pembentukan
perilaku dalam masyarakat untuk menghubungkan kepada seperangkat tujuan melalui
orang-orang yang memiliki pengaruh di dalamnya. Sedangkan Theo Huijbers (1982:
289) menyebut bahwa fungsi hukum adalah untuk memelihara kepentingan umum dalam
masyarakat, menjaga hak-hak manusia, mewujudkan keadilan sosial dalam hidup
bersama. Ketiga hal ini tidak saling bertentangan, tetapi merupakan satu konsep
dasar, yakni bahwa manusia harus hidup dalam suatu masyarakat, dan masyarakat
itu harus dapat diatur dengan baik.
Supremasi
hukum (rule of law) dapat dianggap sebagai unsur utama yang mendasari
terciptanya masyarakat yang demokratis dan adil. Jika hukum tidak ditegakkan
betul, selalu ada kecenderungan dari pihak-pihak yang kuat untuk bersikap
sewenang-wenang dan yang lemah diperlakukan tidak adil. Yang lemah dapat
diambil haknya, bukan karena yang kuat itu berhak, tetapi karena yang lemah itu
memang salah. Pemerintahan dapat disebut berdasarkan hukum apabila menyatakan
bahwa hukum adalah otoritas tertinggi dan bahwa semua warga negara—termasuk
para pejabat pemerintah—tunduk pada hukum dan sama-sama berhak atas
perlindungannya. “Kesepatakan” bersama untuk menerima ini akan menjanjikan
munculnya sebuah keteraturan dalam hidup berbangsa, bernegara, dan
bermasyarakat.
Dalam
keadaan supremasi hukum yang sudah established, maka kepentingan dari semua
orang akan terlindungi, termasuk dari pihak yang kuat. Bagi masyarakat hal ini
merupakan sebuah keberuntungan jika semua mengikuti hukum. Adalah Imanuel Kant,
seorang filosof yang memikirkan persoalan ini lebih 300 tahun yang lalu, dia
mengatakan bahwa dalam negara dengan hukum yang baik, maka rakyat yang terdiri
atas setan-setanpun akan menaati hukum. Menurut Frans Magnis Suseno dalam forum
kajian hukum Freedom Institute 14 Mei 2007, apa yang hendak dikatakan Kant
adalah bahwa meskipun orang-orang berwatak jelek, tapi karena hukum begitu
masuk akal dan menguntungkan semuanya, maka mereka dengan sendirinya akan
mengikutinya juga. Ini juga berarti bahwa yang kuat pun akan beruntung karena
adanya aturan yang jelas. Yang kuat tetap dapat memakai kekuatannya dalam ruang
yang bebas, misalnya persaingan ekonomi. Di sini yang kuat bisa menang, tapi
bukan dengan tidak adil
Definisi dan
Sejarah Perkembangan Rule of Law
Secara
literal rule of law (supremasi hukum) menurut Josep Raz (1979: 212) dapat
diartikan sebagai “kekuasaan dari sebuah hukum”. Secara luas, rule of law
memiliki makna: “…that people should obey the law and ruled by it”. Ini berarti
bahwa masyarakat berkewajiban untuk mentaati hukum dan dikendalikan dengannya.
Hanya saja, lanjut Raz dalam politik dan teori hukum pemaknaan ini menjadi
sempit, yakni bahwa pemerintah hendaknya dikendalikan oleh hukum dan menjadi
subyek terhadapnya. Dalam pengertian ideal seperti ini, supremasi hukum sering
diekpresikan dengan ungkapan ‘government by law and not by men’, meskipun pada
kenyataannya pemerintahan memang harus terdiri dari hukum dan manusia. Makna
rule of law mengharuskan seluruh tindakan pemerintah memiliki landasan dan
memiliki pengesahan hukum.
Aspek literal
Rule of law memiliki dua aspek, yakni: pertama, bahwa setiap orang harus
dikendalikan oleh hukum dan mentaatinya; kedua, bahwa hukum hendaknya
menjadikan orang mampu diarahkan dengannya. Ini berarti bahwa hukum harus dapat
untuk ditaati. Seseorang dituntut oleh menyesuaikan diri dengan hukum dan bukan
untuk melanggarnya. Hanya saja ketaatan seseorang terhadap hukum terjadi jika
yang bersangkutan memiliki “kecocokan” dengan pengetahuannya. Oleh karenanya,
hukum yang akan ditaati hendaknya bersifat must be capable of guiding the
behavior of its subject. Hukum hendaknya dapat diketahui maksudnya dan dapat
dijadikan pijakan dalam bertindak. (Raz, 1979: 213)
Moch. Mahfud
MD (1999: 127) menyebut bahwa rule of law dianut oleh negara-negara-negara
dengan tradisi Anglo Saxon yang bertumpu pada sistem common law . Rule of law
mengutamakan prinsip equality before law. Adapun ciri-cirinya adalah :
1. Adanya
supremasi aturan-aturan hukum,
2. Adanya
kesamaan kedudukan di depan hukum, dan
3. Adanya
jaminan perlindungan HAM.
A.V. Dicey
(2007: 264-265) mengartikan rule of law dalam tiga definisi yang berbeda.
Pertama, rule of law berarti supremasi hukum atau superioritas hukum regular
yang mutlak yang bertentangan dengan pengaruh kekuasaan yang sewenang-wenang,
dan mencabut hak prerogatif atau bahkan kekuasaan bertindak yang besar di pihak
pemerintah. Kedua, ia juga berarti kesetaraan di depan hukum, atau ketundukan
setara semua kelompok masyarakat kepada hukum umum negara yang dijalankan oleh
Mahkamah hukum umum. Ketiga, adalah fakta bahwa hukum konstitusi, aturan-aturan
yang di luar negeri membentuk sebagian undang-undang konstitusi.
Rule of law
sebagaimana dinyatakan Ensiklopedi Wikipedia merupakan prinsip dasar yang
menyatakan bahwa tidak ada seseorangpun yang berada di atas hukum. Dalam
pampletnya Common Sense (1776), Thomas Paine menyatakan bahwa: “dalam
pemerintahan absolute, raja adalah hukum, tetapi dalam Negara-negara yang
bebas, maka hukum harus menjadi raja dan bukan yang lainnya”. Di Inggris,
dideklarasikannya Magna Carta (1215) merupakan contoh riil tegaknya rule of law
terutama pada masa klasik.
Sunarjati
Hatono (1976:30) menyebut inti pengertian rule of law adalah jaminan apa yang
disebut sebagai keadilan sosial. Selanjutnya Sunarjati (1976: 28) mengutip
pendapat Friedman, memakai kata rule of law dalam arti formil dan arti
materiil. Dalam arti formil, rule of law diartikan sebagai organized public
power atau kekuatan umum yang terorganisir. Dalam pengertian ini maka setiap organisasi
hukum (termasuk negara) memiliki rule of law-nya sendiri. Sedangkan dalam arti
materiil, rule of law adalah hal yang menyangkut ukuran-ukuran tentang hukum
yang baik dan hukum yang buruk, yakni tentang just dan unjust law.
Doktrin rule
of law mulai muncul pada abad ke-19 berbarengan dengan negara konstitusi dan
demokrasi. Kehadirannya dapat disebut sebagai reaksi dan koreksi terhadap
negara yang absolut sebelum itu. Satjipto (2006: 14) menyebut kemunculannya
sebagai necessary evil, sesuatu yang buruk tetapi harus terjadi. Dari dunia
yang sebelumnya tidak mengenal negara, tidak dapat diharapkan begitu saja
memunculkan ‘negara berkonstitusi’. Paham negara, apapun bentuknya harus
dimunculkan terlebih dahulu, dan itulah yang terjadi.
A. Gunaryo
menambahkan (2006) bahwa kemunculan rule of law erat sekali dengan
gerakan-gerakan sosial dan pola-pola kehidupan sosial yang menempatkan
kebebasan individu sebagai prinsip dasar dari organisasi sosial. Thomson
sebagaimana dikutip Gunaryo menegaskan bahwa konsep rule of law lahir di
Inggris sebagai akibat dari munculnya gerakan pembebasan diri dari penindasan
raja, sebuah kekuasaan yang absolut dan serba meliputi, dan dominasi kelas
kelas-kelas sosial yang kuat. Di Amerika, konsep ini diberlakukan untuk menjamin
kemerdekaan individu melalui hukum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa rule
of law memiliki akar historis dan sosiologis yang kuat dengan dunia barat.
Gerakan-gerakan ini membawa banyak perubahan diantaranya munculnya negara
modern.
Konsepsi
negara hukum model rule of law yang lebih menitik beratkan individualisme
tersebut telah menjadikan pemerintah sebagai “penjaga malam”
(nachwachtersstaat) yang lingkup tugasnya sangat sempit dan terbatas (Mahfudz,
1999: 130). Pemerintah dituntut pasif dan hanya menjadi pelaksana berbagai
keinginan rakyat yang dituangkan dalam undang-undang oleh parlemen. Agar tidak
terjerumus dalam absolutisme, kekuasaan pemerintah dibatasi secara ketat.
Konsep negara hukum abad XIX dikenal sebagai konsep negara hukum formal ini yang
melahirkan berbagai kesenjangan sosial dan ekonomi. Individualisme liberal
telah menyebabkan dominannya pemiliki modal dalam parlemen yang berdampak pada
dibuatnya produk hukum yang menguntungkan kaum kapitalis. Pemeritah dalam hal
ini tidak dapat berbuat banyak dan tidak boleh campur tangan selama tidak
bertentangan dengan undang-undang.
Keadaan
diatas menurut Mahfudz (1999: 130) melahirkan ketidakpuasan sehingga
memunculkan gagasan tentang welfare state (negara hukum material). Gagasan ini
didorong oleh sejumlah faktor yang merupakan ekses industrialisasi dalam sistem
kapitalis, paham sosialisme yang menginginkan pembagian kekayaan secara merata
dan kemenangan beberapa partai sosialis di Eropa. Berbeda dengan gagasan negara
hukum formal yang melarang pemerintah untuk turut campur dalam kegiatan
masyarakat, negara hukum material menuntut pemerintah untuk bertanggung jawab
atas kesejahteraan masyarakat karenanya tidak boleh pasif. Demokrasi diperluas
cakupannya hingga masalah sosial ekonomi sehingga tidak berhenti pada
perlindungan hak sipil dan politik semata. Dalam bidang ekonomi harus
diterapkan sebuah sistem yang dapat menguasai kekuatan-kekuatan ekonomi dan
mampu memperkecil perbedaan sosial dan ketidakmerataan distribusi kekayaan di
kalangan rakyat. Untuk itu pemerintah diberi kewenangan untuk turut campur
dalam berbagai kegiatan masyarakat dengan cara-cara pengaturan, penetapan dan
materiale daad. Ciri negara hukum dari konsep rule of law dan rechtstaat
karenanya perlu dirumuskan kembali. Perumusan kembali ciri-ciri tersebut
akhirnya dihasilnya dari International Comission of Jurist pada konferensinya
di Bangkok pada tahun 1965 yang mencirikan konsep negara hukum yang dinamis
atau negara hukum material, sebagai berikut:
1. Adanya
perlindungan konstitusional. Selain dapat menjamin hak-hak inidividu,
konstitusi harus pula menentukan cara prosedural untuk memperoleh perlindungan
atas hak-hak yang dijamin.
2. Adanya
kehakiman yang bebas dan tidak memihak.
3. Adanya
Pemilihan Umum yang bebas.
4. Adanya
kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi.
5. Adanya
pendidikan kewarganegaraan.
Prinsip-prinsip
Rule of Law
Diantara
prinsip-prinsip yang dapat diambil dari ide pokok rule of law menurut Josep Raz
( 1979: 214-18) adalah :
1. Seluruh
undang-undang hendaklah bersifat prospektif, terbuka dan jelas
Seseorang
tidak dapat dikendalikan oleh hukum yang bersifat retroaktif (berlaku surut).
Dalam kondisi tertentu, hukum retroaktif memang dapat diundangkan, tetapi
hendaklah tetap tidak bertentangan dengan rule of law. Sebuah undang-undang
hendaklah terbuka dan dipublikasikan secara memadai. Pada saat yang sama, makna
yang dikandungnya harus jelas, tidak samar, atau teliti.
2.
Undang-undang hendaknya bersifat stabil
Undang-undang
hendaknya tidak sering berubah. Perubahan undang-undang yang terlalu sering
akan mempersulit masyarakat untuk dapat “mengenal”nya dan menjadikan masyarakat
dalam kekhawatiran yang berkepanjangan. Dalam kenyataannya masyarakat
membutuhkan pengetahuan tentang hukum bukan untuk keputusan jangka pendek,
tetapi juga untuk perencanaan jangka panjang (long term planning).
3. Pembuatan
hukum khusus (particular law) hendaknya dipandu dengan terbuka, stabil, jelas,
dan dengan aturan yang general.
Terkadang
diasumsikan bahwa kebutuhan akan generalitas sebuah undang-undang merupakan
esensi sebuah rule of law. Penegasan atas hal ini merupakan interpretasi
literal dari rule of law ketika undang-undang dibaca dalam konotasinya
sebagaimana dibatasi untuk generalisasi, stabil, dan hukum yang terbuka. Hal
ini juga diperkuat dengan keyakinan bahwa rule of law secara khusus harus
relevan untuk melindungi equality (perlakuan sama) yang biasanya berhubungan
erat dengan generalitas sebuah hukum. Perbedaan ras, agama, dan kebiasaan bukan
sebuah harmoni tetapi sering dilembagakan dalam aturan yang general.
4.
Independensi peradilan harus mendapat jaminan.
Hal ini
merupakan esensi dari sebuah sistem hukum kota (municipal legal system) bahwa
institusi peradilan mendapatkan “kebebasan” untuk menentukan keputusannya.
Independensi lembaga peradilan didesain untuk mendapatkan garansi sehingga
bebas dari berbagai presseur dan independen dari segala bentuk otoritas lain
yang turut mempengaruhi dalam pengambilan keputusan.
5.
Prinsip-prinsip keadilan yang natural harus dijalankan
Keterbukaan,
praktek hearing yang fair, ketiadaan bias dan semisalnya merupakan hal
essensial dalam pelaksanaan sebuah hukum secara benar. Karenanya, berbagai
konsideran yang disebut lebih dulu merupakan panduan yang patut dipertimbangkan
dalam aksi hukum.
6.
Pengadilan hendaknya mendapat kekuatan untuk meninjau kembali implementasi
pendirian (hukum) yang lain.
Hal ini
termasuk peninjauan kembali terhadap legislasi parlemen dan hukum
administratif, meski dalam bentuk terbatas. Hal ini diperlukan untuk menguji
kesesuaiannya terhadap rule of law.
7.
Pengadilan hendaknya dapat diakses dengan mudah
Posisi
sentral pengadilan dalam memastikan rule of law hendaknya menjadikan
aksebilitas lembaga ini menjadi sangat penting. Penundaan yang berkepanjangan,
ongkos yang berlebihan, dan sebagainya dimungkinkan akan mengubah hukum yang
seharusnya mencerahkan menjadi a dead letter (kertas perkara yang tak berarti),
dan membuat frustasi banyak pencari keadilan.
8. Praktek
diskresi dalam rangka mencegah kejahatan tidak boleh “menyesatkan” pelaksanaan
hukum.
Tidak hanya
peradilan tetapi juga kepolisian dan mereka yang memiliki otoritas untuk
melakukan tuntutan hukum, dapat menumbangkan hukum itu sendiri. Sebuah tuntutan
tidak diperkenankan misalnya hanya dilakukan secara maksimal terhadap kriminal
tertentu atau jika pelanggarnya dari golongan tertentu. Pencurahan sumber daya
dan seluruh tenaga tetap harus dilakukan dalam setiap tuntutan hukum.
Daftar
prinsip ini nampak lengkap, namun imbuh Raz (1979: 218), bisa saja ditemukan
prinsip lain yang bersesuaian dengan rule of law lewat elaborasi lebih lanjut.
Penyusunan daftar prinsip tersebut dimaksudkan untuk mengilustrasikan kekuatan
dan manfaat konsep formal rule of law. Yang perlu diingat adalah bahwa analisis
final terhadap doktrin ini terletak pada ide pokok bahwa hukum harus mampu
menjadi pedoman yang efektif.
Rule of Law
dan Penegakan hukum di Indonesia
Konsepsi
Negara hukum Indonesia merupakan konsepsi sintetis dari beberapa konsep yang
berbeda tradisi hukumnya. Mohamad Mahfud MD (1999: 139) menyatakan bahwa negara
Indonesia ini diwarnai oleh campur aduk antara konsep-konsep rechtstaat, the
rule of law, negara hukum formal, dan negara hukum material yang kemudian diberi
nilai keindonesiaan sebagai nilai spesifik sehingga menjadi negara hukum
Pancasila. Konsepsi sintesis seperti ini meskipun lahir dari kebutuhan
lingkungan masyarakat Indoenesia yang spesifik tetapi mengandung resiko berupa
seringnya muncul perdebatan tentang konsep negara hukum dengan acuan berbeda.
Yang satu mengacu pada rechtsstaat sedangkan yang lain mengacu pada the rule of
law, atau yang satu mengacu pada negara hukum formal dengan legisme-nya,
sedangkan yang lain mengacu pada hukum material dengan just law-nya. Tradisi
hukum Anglo Saxon yang bernama Rule of law masuk dalam UUD 1945 dapat dilihat
minimal dari pasal 27 yang menentukan bahwa setiap warga Negara berkedudukan
sama di depan hukum dan pemerintahan. Sementara itu istilah rechtstaat dan pelembagaan
dunia peradilan yang membuka peradilan administrasi (tata usaha) Negara adalah
cermin dari penganutan atas konsep negara hukum yang bersumber dari tradisi
Eropa Kontinental.
Dalam
sejarah perkembangan negara Indonesia sejak berdirinya (17-08-1945) sampai
sekarang ini ternyata realisasi negara hukum masih jauh dari yang
dicita-citakan. Dari segala kekurangan pemerintahan-pemerintahan masa lalu
dalam mewujudkan negara hukum di Indonesia, pemerintahan rezim Orde Baru dapat
disebut sebagai yang paling gagal. Bukan saja gagal, tetapi bahkan lebih lanjut
rezim tersebut secara langsung atau tidak langsung menginjak-injak hukum,
mengabaikan hukum, menyalahgunakan hukum, dan merekayasa hukum demi menjamin
kelangsungan kekuasaannya.
Maka menurut
MD Kartaprawira (2000) yang berlaku bukan lagi rule of law, yang menuntut agar
peraturan hukum berfungsi menegakkan keadilan, melindungi hak-hak sosial dan
politik warganegaranya dari pelanggaran-pelanggaran baik yang dilakukan oleh
penguasa maupun warga. Tetapi rule by law, di mana segala peraturan hukum yang
berlaku ditujukan untuk mengabdi kepada kepentingan rezim demi kelanggengannya
dan pembenaran atas tindakan-tindakannya yang anti demokrasi, anti nasional,
anti keadilan dan anti HAM. Di bawah rezim Orde Baru hukum dijadikan alat yang
efektif untuk melaksanakan dominasi politik, mengontrol, mengendalikan, dan
mengintervensi lembaga-lembaga negara dan parpol-parpol agar tidak membahayakan
kekuasaannya. Itulah salah satu identitas rezim diktatur Orde Baru di Indonesia
yang berlangsung selama 32 tahun.
Di Orde
Reformasi, keadaan ini sedikit membaik. Kebebasan berorganisasi dan berpolitik
mulai mendapatkan tempatnya. Lembaga-lembaga hukum tidak lagi sepenuhnya
dikendalikan pemerintah. Kasus-kasus yang melibatkan mantan pejabat-pejabat
negeri ini telah dapat dimejahijaukan meskipun penyelesaiannya tidak
menggembirakan. Kasus KKN Suharto dan kroni-kroninya diselesaikan dengan sangat
manipulatif. Misalnya kasus korupsi jamsostek sebesar Rp 7,2 milyar yang
diloloskan oleh Suharto sewaktu masih berkuasa tanpa melalui proses pengadilan,
lolos pula di era reformasi berdasarkan Surat Putusan Pemberhentian Perkara
(SPPP) Jaksa Agung dikarenakan tidak ditemukannya cukup bukti. Hal ini tentu
cukup memukul “rasa keadilan” masyarakat.
Diantara
fenomena terakhir yang sangat menciderai dunia penegakan hukum kita adalah
ketika praktek sogok menyogok hakim dan jaksa dalam penanganan sebuah perkara,
banyak terjadi. Kasus jual beli tuntutan hukum yang melibatkan jaksa “brilian”
Urip Tri Gunawan adalah contoh kongkritnya. Perihal keterlibatan oknum aparat
yang seharusnya berdiri di garis terdepan dalam menegakkan supremasi hukum itu
sendiri dalam berbagai kasus suap, korupsi, memang merupakan fakta yang tidak
bisa ditutup-tutupi. Hakim disuap. Jaksa menerima upeti dari orang yang sedang
diadili perkaranya. Kasus jaksa Urip dimungkinkan hanya salah satu diantara
gunung es kebobrokan penegakan hukum kita.
Kedudukan
hukum adalah sebagai pilar utama pembangunan bangsa. Jika hukum diabaikan dan terciderai,
maka pembangunan masa depan bangsa akan terbengkalai. Misalnya, korupsi yang
belum dituntaskan akan mempengaruhi pembangunan ekonomi bangsa. Demikian juga
dengan berbagai problema lainnya. Karena itu, berbagai kasus yang terjadi
belakangan ini mengisyaratkan bahwa penegakan supremasi hukum di tanah air
masih mengalami ujian yang sangat berat. Peristiwa bebasnya sejumlah bandar
narkoba, pelaku illegal loging, penyerobotan tanah orang lain, pelaku korupsi,
dan lain-lain dari jeratan hukum semakin membuktikan bahwa supremasi hukum
belum benar-benar ditegakkan. Hukum masih terkesan pandang bulu. Perlakuan bagi
pelanggar hukum masih sering memilah dan memilih.
PERTANYAAN
1. Masih
relevankah rule of law di Indonesia ?
Inti dari
rule of law adalah jaminan adanya keadilan bagi masyarakatnya, khususnya
keadilan sosial. Pembukaan UUD 1945 memuat prinsip-prinsip rule of law, yang
pada hakikatnya merupakan jaminan secara formal terhadap ‘’rasa keadilan’’ bagi
rakyat Indonesia. Dengan kata lain, pembukaan UUD 1945 memberi jaminan adanya
rule of law dan sekaligus rule of justice. Prinsip-prinsip rule of law di dalam
pembukaan UUD 1945 bersifat tetap dan instruktif bagi penyelenggara negara,
karena pembukaan UUD 1945 merupakan pokok kaidah fundamental Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Masyarakat
madani (civil society) adalah kondisi suatu komunitas yang jauh dari monopoli
kebenaran dan kekuasaan. Kebenaran dan kekuasaan adalah milik bersama. Setiap
anggota masyarakat madani tidak bisa ditekan, ditakut-takuti, diganggu
kebebasannya, semakin dijauhkan dari demokrasi, dan sejenisnya. Oleh karena
itu, perjuangan menuju masyarakat madani pada hakikatnya merupakan proses
panjang dan produk sejarah yang abadi, dan perjuangan melawan kezaliman dan
dominasi para penguasa menjadi ciri utama masyarakat madani.
Menurut
pemaparan di atas, saya bisa menyimpulkan bahwa rule of law di Indonesia sudah
tidak relevan lagi. Karena di Indonesia pada saat ini sedang mengalami
permasalahan yang besar yaitu lemahnya penegakan hukum.
Ada tidaknya
penegakan hukum, tidak cukup hanya ditentukan oleh adanya hukum saja, akan
tetapi, ada tidaknya penegakan hukum ditentukan oleh ada tidaknya keadilan yang
dapat dinikmati setiap anggota masyarakat.
sedangkan
kenyataannya yang terjadi di indonesia tidak demikian.
2. Bagaimana
seharusnya rule of law itu dilaksanakan ?
Sebagai
suatu legalisme yang memuat wawasan sosial, gagasan tentang hubungan antar
manusia, masyarakat dan negara, harus dapat ditegakkan secara adil, dan hanya
memihak kepada keadilan.
3. Sejauh
mana komitmen pemerintah untuk melaksanakan prinsip-prinsip rule of law ?
Bagaimana
komitmen pemerintah untuk melaksanakan rule of law yaitu melalui proses
penegakan hukum yang dilakukan oleh lembaga penegak hokum yang terdiri:
kepolisian, kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), badan peradilan
(Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi).
4. Apa yang
harus dilakukan agar rule of law dapat berjalan efektif ?
Keberhasilan
“the enforcement of the rules of law” harus didasarkan pada corak masyarakat
hukum yang bersangkutan dan kepribadian nasional bangsa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar