Pembangunan
kependudukan adalah pembangunan sumberdaya manusia. Berbagai studi dan
literatur memperlihatkan bahwa kualitas sumberdaya manusia memegang peranan
penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara. Dalam jangka pendek
investasi dalm sumberdaya manusia memang nampak sebagai suatu upaya yang
“sia-sia”. Naum dalam jangka panjang investasi tersebut justru mendorong
pertumbuhan ekonomi. Johnson dan Lee (1987) melakukan analisis regresi
terhadapa pertumbuhan penduduk dengan pertumbuhan ekonomi pada 75 negara
berkembang. Dua ukuran pertumbuhan ekonomi yang dipergunakan yaitu GNP pada
tahun 1987 dan GNP per capita antara tauhun 1980–1987. pertumbuhan penduduk
dibagi menjadi dua bagian yaitu pertumbuhan penduduk masa lalu yaitu
pertumbuhan penduduk per tahun antara 1965–1980 dan pertumbuhan penduduk saat
ini yaitu pertumbuhan penduduk per tahun antara tahun 1980–1987. pembagian ini
dilakukan karena adanya dampak jangka pendek dan jangka panjang dari
pertumbuhan penduduk itu terhadap pertumbuhan ekonomi. Studi tersebut menemukan
hubungan bahwa pertumbuhan penduduk yang tinggi antara tahun 1980-1987
berhubungan dengan rendahnya GNP per kapita pada tahun 1987 dan juga
berhubungan dengan rendahnya pertumbuhan GNP antara tahun 1980–1987
Demikian
pula berbagai studi dan literatur memperlihatkan bahwa investasi dalam kesehatan
dan pendidikan dalam jangka panjang berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi.
Studi yang dilakukan oleh Rosenzwig (1988) misalnya menemukan hubungan positif
sebesar 0.49 antara enrollment rate sekolah dasar dari wanita usia 10–14
tahun terhadap peningkatan GNP per kapita. Demikian pula ditemukan hubungan
positif sebesar 0.54 antara tingkat melek huruf dengan pertumbuhan GNP per
kapita. Studi tersebut dilakukan atas data makro dari 94 negara berkembang.
Dalm
hal mengintegrasikan dimensi kependudukan
dalam perencanaan pembangunan (baik nasional maupun daerah) maka manfaat paling
mendasar yang diperoleh adalah besarnya harapan bahwa penduduk yang ada
didaerah tersebut menjadi pelaku pembangunan dan penikmat hasil pembangunan.
Itu berarti pembangunan berwawasan kependudukan lebih berdampak besar pada
peningkatan kesejahteraan penduduk secara keseluruhan dibanding dengan
orientasi pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan (growth).
Dalam pembangunan berwawasan kependudukan ada suatu jaminan akan berlangsung
proses pembangunan itu sendiri. Pembangunan berwawasan kependudukan menekankan
pada pembangunan lokal, perencanaan berasal dari bawah (bottom up planning),
disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal, dan yang lebih
penting adalah melibatkan seluruh lapisan masyarakat dalam proses perencanaan
pembangunan.
Sebaliknya
orientasi pembangunan pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan membawa pada
peningkatan ketimpangan pendapatan. Industrialisasi dan liberalisasi yang
terlalu cepat memang akan meningkatkan efisiensi dan produktivitas namun
sekaligus juga meningkatkan pengangguran dan setengah menganggur. Sebagaimana
yang terlihat selam ini di Indonesia. Demikian pula dalam pertumbuhan (growth)
ada yang dinamakan dengan ‘limit to growth’. Konsep ini mengacu pada
kenyataan bahwa suatu pertumbuhan ada batasnya. Jika batas dari terlampaui maka
yang kemudian terjadi adalah terjadinya ‘pemusnahan’ atas hasil-hasil
pembangunan tersebut. Nampaknya ini yang sedang berlangsung di Indonesia dengan
terjadinya krisis ekonomi sekarang ini. Jika diingat beberapa tahun yang lalu
selalu ada peringatan bahwa perekonomian kita terlalu memanas dan lain
sebagainya. Itu tidak lain adalah kata lain bahwa pertumbuhan ekonomi kita
sedang memasuki apa yang disebut dengan “limit to growth’. Bnahwa
pertumbuhan ekonomi tersebut tidak dapat dipacu lebih tinggi lagi dengan
melihat pada kondisi fundamental yang ada.
Ada
beberapa kritik lagi yang ditujukan kepada konsep pembangunan yang berorientasi
pada pertumbuhan, yaitu: (1) prakasa biasanya dimulai dari pusat dalam bentuk
rencana formal; (2) proses penyusunan program bersifat statis dan didominasi
oleh pendapat pakar dan teknokrat; (3) teknologi yang digunakan biasanya
bersifat ‘scientific’ dan bersumber dari luar; (4) mekanisme kelembagaan
bersifat ‘top-down’; (5) pertumbuhannya cepat namun bersifat mekanistik;
(6) organisatornya adalah para pakar spesialis; dan (7) orintasinya adalah
bagaimana menyelesaikan program/proyek secara cepat sehingga mampu menghasilkan
pertumbuhan. Dengan melihat pada kreteria di atas nampak bahwa peranan penduduk
lokal dalam proses pembangunan sangat sedikit.
Kritik
para ahli terhadap orientasi pembangunan yang mengutamakan pada pertumbuhan
tersebut telah berlangsung pada paruh waktu pertama tahun 1980-an. Para
cendekiawan dari MIT dan Club of Rome pada kurun waktu tersebut secara
gencar mengkritik orientasi pembangunan ekonomi tersebut. Dari berbagai kajian
dan diskusi tersebut kemudian munculah perspektif pembangunan yang kemudian dikenal dengan
konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Konsep
pembangunan berkelanjutan dapat didefinisikan sebagai pembangunan utuk memenuhi
kebutuhan pada saat ini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi mendatang. Dalam
konsep pembangunan berkelanjutan secara implisit terkandung makna pentingnya
memperhatikan aspek penduduk dalam pelaksanaan pembangunan.
Pembangunan
berwawasan kependudukan menurut pada strategi pembangunan yang bersifat ‘bottom-up
planning’. Melalui pendekatan ini, tujuan utama seluruh proses pemabngunan
adalah lebih memeratakan kesejahteraan penduduk daripada mementingkan tingkat
pertumbuhan ekonomi. Karena itu pendekatan ‘bottom-up’ berupaya
mengoptimalkan penyebaran sumberdaya yang dimiliki dan potensial ke seluruh
wilayah dan membangun sesuai dengan potensi dan masalah khusus yang dihadapi
oleh daerah masing-masing.
Saat ini
banyak pemerintah di negara-negara berkembang mengikuti aliran ‘bottom-up
planning’ dengan maksud lebih menyeimbangkan pelaksanaan pemabngunan, dalam
arti memanfaatkan ruang dan sumberdaya secara lebih efisien. Pendekatan bottom-up
mengisyaratkan kebebasan daerah atau wilayah untuk merencanakan pembangunan
sendiri sesuai dengan keperluan dan keadaan daerah masing-masing. Oleh karena
itu otonomi yang seluas-luasnya perlu diberikan kepada masing-masing daerah
agar mampu mengatur dan menjalankan berbagai kebijaksanaan yang dirumuskan
sendiri guna peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah atau kawasan yang
bersangkutan. Melalui otonomi daerah, yang berarti adalah desentralisasi
pembangunan, maka laju pertumbuhan antar daerah akan semakin seimbang dan
serasi, sehingga pelaksanaan pembangunan nasional serta hasil-hasilnya semakin
merata di seluruh Indonesia.
Beberapa
kata kunci yang perlu diberikan penekanan pada pemabngunan daerah adalah (1)
pembangunan daerah disesuaikan dengan prioritas dan potensi masing-masing
daerah, dan (2) adanya keseimbangan pemabngunan antar daerah. Kata kunci pertama
mengandung makna pada kesadaran pemerintah untuk melakukan desentralisasi
pemabngunan terutama berkaitan dengan beberapa sektor pembangunan yang
dipandang sudah mampu dilaksanakan di daerah masing-masing, berarti pengambilan
keputusan pembangunan berada pada tingkat daerah.
Kata kunci
kedua mengandung makna adanya kenyataan bahwa masing-masing daerah
memiliki potensi, baik alam, sumberdaya manusia maupun kondisi geografis yang
berbeda-beda, yang menyebabkan ada daerah yang memiliki potensi untuk
berkembang secara cepat. Sebaliknya ada pula daerah yang kurang dapat
berkembang karwena berbagai keterbatasan yang dimilikinya. Adanya perbedaan
potensi antar daerah ini menyebabkan peran pemerintah pusat sebagai ‘pengatur
kebijaksanaan pemabngunan nasional’ tetap diperlukan agar timbul keselarasan,
keseimbangan dan keserasian perkembangan semua daerah. Baik yang memiliki
potensi yang berlebihan maupun yang kurang memiliki potensi. Dengan demikian,
melalui otonomi dalam pengaturan pendapatan, sistem pajak, keamanan warga,
sistem perbankan, dan berbagai pengaturan lain yang diputuskan daerah sendiri,
pemabngunan setemapat dijalankan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar