Konflik Agraria Bayangi Petani
(Jumat, 24 September
2010 | 13:52 WIB)SEMARANG, KOMPAS - Konflik agraria masih membayangi petanidi
Jawa Tengah karena belum adanya kepastian hak atas tanah. Untuk itu, Pemerintah
Provinsi Jateng didesak untuk melaksanakan reforma agraria dan membuat kebijakan
yang menjamin hak petani atas lahan pertanian. Tuntutan itu disampaikan para
perwakilan pengunjuk rasa yang tergabung
dalam Gerakan Petani Menggugat di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Jateng, Kota Semarang, Kamis (23/9). Unjuk rasa dalam rangka
memperingati Hari Tani Nasional. "Banyak petani yang terkendala soal tanah
sehingga akhirnya menjadi buruh tani. Selama ini, konflik terjadi karena
kepemilikan tanah sering kali didominasi perkebunan swasta dan negara,"
ujar koordinator aksi, Muhnur. Terbitnya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5
Tahun 1960 hingga saat ini belum dapat menjamin kesejahteraan petani. Munculnya
konflik agraria umumnya karena banyak petani yang menggarap lahan secara
turun-temurun atau lahan timbul, tetapi kemudian lahan itu diambil alih karena
tidak bersertifikat. Konflik ini dapat berujung pada kriminalisasi petani. Muhnur
menegaskan, pemerintah semestinya membatalkan hak gunausaha (HGU) terhadap
lahan di perkebunan swasta dan negara yang bermasalah. Umumnya, petani dikriminalisasi
karena menggarap lahan perusahaan yang memiliki HGU tanpa sepengetahuan mereka.
Berdasarkan data Lembaga Bantuan Hukum
(LBH) Semarang, padatahun 2009 terdapat 68 kasus tanah yang umumnya merupakan
sengketadengan perkebunan. Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun
2008,sebanyak 41 kasus dan tersebar di 18 kabupaten/kota dengan jumlah korba nmencapai
7.414 keluarga. Purwanto dari Serikat Paguyuban Petani Qoriyah Thayyibah
Salatigamengatakan, selama ini petani tidak punya akses terhadap lahan-lahan
yang bersengketa. Padahal, banyak lahan perkebunan telantar yang semestinya
bisa jadi produktif jika ditanami. Maraknya alih fungsi lahan juga menjadi
ancaman petani sehingga persawahan terus menyusut. Merujuk data LBH Semarang,
dari 990.459 hektar lahan pertanian di Jateng, sekitar 270 hektar di antaranya
telah hilangdan berubah fungsi menjadi permukiman, pabrik, atau waduk. Ketua
Komisi B DPRD Jateng Moch Wasiman mengatakan, pihaknya tengah membahas
peraturan daerah mengenai Perlindungan Lahan Pertanian yang berfungsi untuk
mempertahankan luasan lahan pertanian di Jateng.Adanya alih fungsi lahan
pertanian untuk kepentingan umum maupun pabrik harus diikuti dengan
penggantian lahan yang sama fungsinya. "Perda ini diperkirakan dapat
selesai pada 2011 mendatang," kata Wasiman.Wasiman juga menambahkan,
konflik agraria yang sering kali menimpa petani semestinya dapat diselesaikan
melalui proses mediasi. "Jika sampai lahan petani dirampas, kami siap ikut
membela," katanya. (ILO),
Analisis
Kasus
Dari kasus tersebut, dapat
disimpulkan bahwa konflik yang terjadi merupakan dampak yang dihasilkan dari
adanya penggunaan lahan perkebunan swasta dan negara yang digarap oleh petani
sekitar. Hal itu terjadi karena selama ini petani melakukan penggarapan pada
lahan secara turun-temurun namun dimabil alih karena tidak bersertifikat.
Kondisi ini mendorong petani melakukan aksi unjuk rasa untuk menyuarakan
aspirasinya. Mereka menuntut pemerintah untuk melaksanakan reforma agraria dan
membuat kebijakan yang menjamin hak petani atas lahanpertanian. Untuk
menyelesaikan masalah ini, Komisi B DPRD akan membahas
peraturan daerah mengenai Perlindungan Lahan Pertanian yang berfungsi
untuk mempertahankan luasan lahan pertanian di Jateng. Peraturan ini berisikan
bahwa setiap pengalihfungsian lahan harus disertani dengan penggantian lahan
yang memiliki fungsi yang sama. Kasus tersebut merupakan salah satu contoh
kasus yang menggunakan pola negosiasi moving against (pushing), yaitu
melakukan unjuk rasa untuk menuntut apa yang dirasa menjadi hak
para petani. Dalam unjuk rasa, mereka menentang
adanya pengambilalihan lahan yang dilakukan oleh perkebunan. Berdasarkan
teori negosiasi, kasus ini termasuk ke dalam Conflict ResolutionTheory
yang pada proses penyelesaiannya ditambah dengan pihak lain yangmemiliki opini
netral terhadap subjek tersebut, yaitu Komisi B DPRD,dimana metode yang
diterapkan adalah mediasi, yaitu pihak ketiga bertindak sebagai penasehat.
Dengan begitu diharapkan hasil yang dihasilkan dari negosiasi adalah win-win
solution
Tidak ada komentar:
Posting Komentar