photo IKLAN_zps0bd7cdbd.png

Jumat, 17 Mei 2013

Studi Kasus PWNA di Bidang Agribsinis



Konflik Agraria Bayangi Petani
 (Jumat, 24 September 2010 | 13:52 WIB)SEMARANG, KOMPAS - Konflik agraria masih membayangi petanidi Jawa Tengah karena belum adanya kepastian hak atas tanah. Untuk itu, Pemerintah Provinsi Jateng didesak untuk melaksanakan reforma agraria dan membuat kebijakan yang menjamin hak petani atas lahan pertanian. Tuntutan itu disampaikan para perwakilan pengunjuk rasa yang tergabung dalam Gerakan Petani Menggugat di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jateng, Kota Semarang, Kamis (23/9). Unjuk rasa dalam rangka memperingati Hari Tani Nasional. "Banyak petani yang terkendala soal tanah sehingga akhirnya menjadi buruh tani. Selama ini, konflik terjadi karena kepemilikan tanah sering kali didominasi perkebunan swasta dan negara," ujar koordinator aksi, Muhnur. Terbitnya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 hingga saat ini belum dapat menjamin kesejahteraan petani. Munculnya konflik agraria umumnya karena banyak petani yang menggarap lahan secara turun-temurun atau lahan timbul, tetapi kemudian lahan itu diambil alih karena tidak bersertifikat. Konflik ini dapat berujung pada kriminalisasi petani. Muhnur menegaskan, pemerintah semestinya membatalkan hak gunausaha (HGU) terhadap lahan di perkebunan swasta dan negara yang bermasalah. Umumnya, petani dikriminalisasi karena menggarap lahan perusahaan yang memiliki HGU tanpa sepengetahuan mereka. Berdasarkan data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, padatahun 2009 terdapat 68 kasus tanah yang umumnya merupakan sengketadengan perkebunan. Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun 2008,sebanyak 41 kasus dan tersebar di 18 kabupaten/kota dengan jumlah korba nmencapai 7.414 keluarga. Purwanto dari Serikat Paguyuban Petani Qoriyah Thayyibah Salatigamengatakan, selama ini petani tidak punya akses terhadap lahan-lahan yang bersengketa. Padahal, banyak lahan perkebunan telantar yang semestinya bisa jadi produktif jika ditanami. Maraknya alih fungsi lahan juga menjadi ancaman petani sehingga persawahan terus menyusut. Merujuk data LBH Semarang, dari 990.459 hektar lahan pertanian di Jateng, sekitar 270 hektar di antaranya telah hilangdan berubah fungsi menjadi permukiman, pabrik, atau waduk. Ketua Komisi B DPRD Jateng Moch Wasiman mengatakan, pihaknya tengah membahas peraturan daerah mengenai Perlindungan Lahan Pertanian yang berfungsi untuk mempertahankan luasan lahan pertanian di Jateng.Adanya alih fungsi lahan pertanian untuk kepentingan umum maupun pabrik harus diikuti dengan penggantian lahan yang sama fungsinya. "Perda ini diperkirakan dapat selesai pada 2011 mendatang," kata Wasiman.Wasiman juga menambahkan, konflik agraria yang sering kali menimpa petani semestinya dapat diselesaikan melalui proses mediasi. "Jika sampai lahan petani dirampas, kami siap ikut membela," katanya. (ILO),

Analisis Kasus
Dari kasus tersebut, dapat disimpulkan bahwa konflik yang terjadi merupakan dampak yang dihasilkan dari adanya penggunaan lahan perkebunan swasta dan negara yang digarap oleh petani sekitar. Hal itu terjadi karena selama ini petani melakukan penggarapan pada lahan secara turun-temurun namun dimabil alih karena tidak bersertifikat. Kondisi ini mendorong petani melakukan aksi unjuk rasa untuk menyuarakan aspirasinya. Mereka menuntut pemerintah untuk melaksanakan reforma agraria dan membuat kebijakan yang menjamin hak petani atas lahanpertanian. Untuk menyelesaikan masalah ini, Komisi B DPRD akan membahas peraturan daerah mengenai Perlindungan Lahan Pertanian yang berfungsi untuk mempertahankan luasan lahan pertanian di Jateng. Peraturan ini berisikan bahwa setiap pengalihfungsian lahan harus disertani dengan penggantian lahan yang memiliki fungsi yang sama. Kasus tersebut merupakan salah satu contoh kasus yang menggunakan pola negosiasi moving against (pushing), yaitu melakukan unjuk rasa untuk menuntut apa yang dirasa menjadi hak para petani. Dalam unjuk rasa, mereka menentang adanya pengambilalihan lahan yang dilakukan oleh perkebunan. Berdasarkan teori negosiasi, kasus ini termasuk ke dalam Conflict ResolutionTheory yang pada proses penyelesaiannya ditambah dengan pihak lain yangmemiliki opini netral terhadap subjek tersebut, yaitu Komisi B DPRD,dimana metode yang diterapkan adalah mediasi, yaitu pihak ketiga bertindak sebagai penasehat. Dengan begitu diharapkan hasil yang dihasilkan dari negosiasi adalah win-win solution

Tidak ada komentar:

Posting Komentar