Industrialisasi dan
Proteksionisme
Terdapat tiga pemikiran strategi
industrialisasi yang berkembang di Indonesia, dimana ketiganya pernah
diaplikasikan secara tersendiri maupun bersama- sama yakni antara lain sebagai
berikut :
1. Strategi
industrialisasi yang mengembangkan industri–industri yang berspektrum luas
(broad- based industry), seperti industri elektronik, tekstil, otomotif, dll.
Argumentasi rasionalnya adalah bahwa Indonesia memiliki beberapa keunggulan
yang memadai seperti tenaga kerja murah dan sumber daya alam, sehingga
negara-negara maju tertarik untuk berinvestasi di Indonesia. Selain itu, dalam
jangka panjang Indonesia mengambil pelajaran dan teknologi dari
industri-industri asing tersebut.
2. Strategi
industrialisasi yang mengutamakan industri-industri berteknologi canggih
berbasis impor (hi-tech industry), seperti industri pesawat terbang, industri
peralatan, dan senjata militer, industri kapal, dll. Argumentasi rasionalnya
adalah bahwa pendekatan ini merupakan cara agar peningkatan pertumbuhan ekonomi
tetap terjaga dalam jangka panjang, karena relatif menghasilkan nilai tambah
yang besar. Apabila mengandalkan sektor primer, nilai tambahnya kecil dan juga
mudah disaingi oleh pihak asing.
3. Industri
hasil pertanian (agroindustry) berbasis dalam negeri dan merupakan kelanjutan
pertanian. Argumentasinya adalah bahwa industrialisasi akan berjalan apabila
disandarkan pada keunggulan di negara bersangkutan. Karena keunggulan Indonesia
terletak di sektor pertanian, industrialisasi harusnya berpijak pada sektor
tersebut. Jika tidak demikian, industrialisasi akan menimbulkan masalah
ketimpangan pendapatan dan pengangguran.
Namun, kenyataan pada awal-awal
pemerintahan Orde Baru menunjukkan tingkat industrialisasi yang sangat rendah.
Hasil produksi manufaktur Indonesia bahkan kalah dari negara berkembang yang
lebih kecil, seperti Hong Kong dan Filiphina. Sektor ”pabrik” sangat kekurangan
bahan input, terutama yang berasal dari luar negeri. Keterbelakangan
industrialisasi tersebut segera ditindaklanjuti dengan berbagai upaya. Namun,
upaya-upaya ini memiliki kendala pada kondisi negara yang serba terbatas, baik
dalam hal modal, kualitas sumber daya manusia, dan minimnya teknologi. Ini
menyiratkan betapa sedikitnya alternatif yang dapat dipilih oleh pengambil
kebijakan. Di satu sisi, bantuan asing sangat diharapkan kehadirannya,
sedangkan di sisi lain sektor yang dikembangkan harus mengacu kepada potensi
ekonomi domestik yang dapat dikerjakan oleh sebagian besar masyarakat.
Akhirnya, proses industrialisasi
Indonesia ditopang oleh sejumlah besar kebijakan yang sangat proteksionis di
bidang perdagangan dan industri, termasuk diantaranya penggunaan bea masuk yang
tinggi, penggunaan non-tariff barriers yang meluas, dan bahkan larangan total
terhadap impor. Ini memang perlu dilakukan mengingat industri-industri domestik
yang masih belum efisien berproduksi. Jika persaingan dibuka, dikhawatirkan
industri domestik akan kalah dan tidak mampu bertahan, dan perekonomian
nasional akan kembali terjebak oleh penguasaan asing.
Dengan pola pandang tersebut,
industrialisasi di Indonesia sejak awal telah menempuh strategi substitusi
impor (SI). Strategi SI ini sarat dengan berbagai intervensi negara untuk
melindungi kegiatan ekonomi nasional dari pihak asing, sehingga sering pula
disebut ”rezim proteksionalisme”. Strategi ini memang telah benar diterapkan
pada tahap awal industrialisasi di Indonesia. Secara internal, strategi ini
dapat memperkuat struktur industri domestik dan secara eksternal mencegak pihak
asing melakukan penetrasi terhadap ekonomi nasional.
Fase-fase
Industrialisasi
Ada tiga fase dengan penekanan
kebijakan yang berbeda-beda dalam pengerjaan proyek industrialisasi selama Orde
Baru, yaitu :
1. Strategi
substitusi impor tahap pertama, yaitu di awal 1970an sampai akhir 1970an, yang
didukung oleh sejumlah besar kebijakan tarif bea masuk dan pajak penjualan
barang impor yang dibebankan sekaligus.
2. Substitusi
impor tahap kedua, dengan menggalakkan pengembangan industri-industri hulu,
terutama industri dasar pengolahan sumber daya seperti industri baja dan
industri aluminium.. Untuk mendorong proses ini, pemerintah mulai melakukan
non-tariff barriers, terutama pembatasan impor kuantitatif dan program-program
penghapusan.
3. Dengan
momentum kemerosotan harga minyak pada tahun 1982, ditempuh kebijakan
pengembangan sektor industri manufaktur yang berorientasi ekspor.
Fase-fase industrialisasi yang
ditempuh Indoensia sebetulnya mirip dengan yang dilakukan negara-negara
berkembang lain seperti Taiwan, Korea Selatan, dan Hongkong. Sektor pertanian
diletakkan sebagai pondasi pembangunan sejalan dengan keyakinan bahwa
peningkatan sektor pertanian merupakan prasyarat keberhasilan industrialisasi.
Skenarionya adalah, peningkatan sektor pertanian akan meningkatkan permintaan
awal (input) bagi barang-barang industri. Sedangkan proses industrialisasi
sangat membutuhkan bahan mentah maupun setengah jadi dari komoditas primer, khusunya
produk pertanian.
Namun, di Indonesia jenis
industri yang dikembangkan sangat beraneka sehingga tidak mudah untuk
dianalisis. Jenis industri manufaktur di Indonesia terdiri dari :
1. Industri
padat karya, dengan ciri-ciri : penyerapan tenga kerja tinggi, berorientasi
ekspor, sebagian besar dimiliki swasta, dan tingkat konsentrasi yang rendah.
2. Industri
padat modal dan tenaga trampil, dengan ciri-ciri : berorientasi pasar domestik,
sebagian besar kendali ada di pemerintah atau PMA, dan tingkat konsentrasi yang
tinggi.
3. Industri
padat sumber daya alam, dengan ciri-ciri : orientasi ekspor yang tinggi,
sebagian besar kepemilikan di tangan swasta, dan tingkat konsentrasi yang
rendah.
4. Industri
padat teknologi, dengan ciri-ciri : semakin berorientasi ekspor, kepemilikan
ada di tangan asing dan swasta, kandungan impor dan tingkat konsentrasi yang
tinggi.
Dalam kurun waktu tidak lama,
tujuan transformasi ekonomi memang segera menunjukkan hasil. Pada tahun 1971,
kontribusi sektor pertanian (termasuk kehutanan, perikanan, dan peternakan)
dalam pembentukan PDB mencapai 44,8%. Namun pada tahun 1980 menurun menjadi
24,8% dan pada tahun 2001 tinggal 17%. Sebaliknya, sektor pengolahan pada tahun
1971 hanya menyumbang 8,4% dalam PDB. Pada tahun 1980 dan 2001 meningkat menjadi
masing-masing 11,6% dan 25%. Pola yang sama juga terjadi pada sektor bangunan
dan perdagangan yang semakin meningkat peranannya. Sementara itu, perkembangan
data yang lebih baru dan lengkap menunjukkan tahun 2005 sektor pertanian hanya
menyumbang 13,41% terhadap PDB dan sektor indusri 28,05%.
Salah satu analisis
mendeskripsikan bahwa dalam banyak hal Indonesia tidak mengalami pendalaman
yang berarti dalam industrialisasi. Negara-negara yang telah mapan melakukan
industrialisasi biasanya ditandai bukan hanya oleh pergeseran sektor ekonomi
dengan lebih bertumpu pada sektor industri, melainkan juga dengan semakin
intensifnya proses manufacturing dalam sektor yang bersangkutan. Negara-negara
seperti Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, dan Singapura yang memulai proses
industrialisasi hampir bersamaan dengan Indonesia memiliki struktur industri
yang lebih padat pemrosesan (manufacturing) dan enjiniring. Dengan demikian,
penguasaan teknologi dan nilai tambah produk menjadi memungkinkan. Sebaliknya,
di Indonesia sebagian besar industri yang berjalan masih tergantung pada
pola-pola yang tidak membutuhkan pemrosesan.
Peta Industrialisasi
di Indonesia
Sebelum Indonesia mengkaji
fenomena ekspornya, hal penting yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi
arah strategi pengembangan industri dan mendiagnosa struktur pasar ekonomi
Indonesia. Ini perlu dilakukan karena tujuan pembangunan ekonomi Indonesia
adalah menciptakan terjadinya transformasi ekonomi. Dari titik inilah muncul
tiga persoalan struktural dalam ekonomi Indonesia, yakni :
1. Belum
dirumuskannya jenis industri dan produk yang hendak dikembangkan dan dijadikan
andalan di masa depan secara tuntas. Selama ini, perdebatan mengenai kedua hal
tersebut masih dilakukan secara kurang transparan dan melibatkan banyak elemen
masyarakat. Akibatnya, strategi industrialisasi lebih banyak didekati dengan
subjektivitas daripada mempertimbangkan aspek-aspek rasional sesuai cerminan
kebutuhan ekonomi nasional.
2. Sistem
produksi dan distribusi ekonomi nasional masih mengandalkan pola proteksionisme
sehingga menimbulkan distorsi pasar. Ini erat kaitannya dengan kebijakan
pemerintah Orde Baru, yaitu substitusi impor. Dalam perkembangannya, strategi
SI justru menyebabkan iklim monopoli dalam pasar ekonomi Indonesia. Strategi SI
tidak direncanakan secara selektif, sehingga banyak yang memanfaatkan kebijakan
tersebut untuk mengeruk keuntungan secara berlebih tanpa proses usaha yang
efisien. Apalgi kebijakan-kebijakan khas rezim SI tidak segera direvisi ketika
industri menunjukkan prestasi yang tidak sesuai.
3. Keberadaan
sektor pertanian di Indonesia sangat memperihatinkan, dimana disamping
kontribusinya terhadap pendapatan nasional telah sangat kecil, juga tidak
menunjukkan adanya proses modernisasi dan keterkaitan dengan proyek
industrialisasi yang dikerjakan. Ini diakibatkan adanya perbenturan ide tentang
strategi industrialisasi yang akan dijalankan dan perbedaan kepentingan politik
antara pengambil kebijakan (penguasa) dengan pelaku dunia usaha (pengusaha).
Sebenarnya, Indonesia telah
memiliki informasi akurat (melalui data neraca perdagangan) mengenai
identifikasi jenis teknologi dan produk apa yang bisa diprioritaskan. Yang
pasti, unsur teknologi dalam pembangunan ekonomi saat ini tidak perlu lagi
dipertanyakan, karena merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Hal yang harus
dipikirkan adalah pada sektor apa teknologi tersebut harus dikonsentrasikan dan
pada level mana jenis teknologi harus diproduksi dan dikembangkan. Perdagangan
sektor industri manufaktur Indonesia selama ini selalu defisit. Padahal, total
neraca perdagangan Indonesia selalu menunjukan angka surplus yang berarti.
Selain itu, dari identifikasi pemakaian jenis teknologi diketahui bahwa
industri manufaktur yang memakai teknologi tinggi dan menengah menyumbangkan
defisit terbesar. Sebaliknya, industri berteknologi rendah justru selalu
surplus dan menutupi kekurangan pada industri lainnya. Besarnya defisit
industri berteknologi ini dikarenakan besarnya kandungan impor dan dominasi
asing.
Jika dilihat dari kontribusi
ekspor Indonesia, sektor industri pengolahan memberikan sumbangan yang paling
besar, disusul oleh sektor pertambangan dan pertanian. Namun, sumbangan
terbesar pada sektor industri pengolahan dan pertambangan dilakukan oleh usaha
skala besar, sebaliknya di sektor pertanian dilakukan oleh usaha kecil dan
menengah. Ini menunjukkan bahwa kontribusi ekspor sektor industri dan
pertambangan hanya dinikmati oleh segelintir pelaku ekonomi skala besar, tetapi
di sektor pertanian yang menikmati adalah pelaku ekonomi skala kecil dan
menengah. Artinya, selama ini pelaku ekonomi skala kecil dan menengah di sektor
industri pengolahan hanya berorientasi ke pasar domestik, dimana ini mungkin
sebagai akibat dari keterbatasan akses informasi dan permodalan. Pemerintah
harus segera mengupayakan agar pelaku usaha kecil dan menengah, khususnya di
sektor industri pengolahan juga turut menyumbangkan ekspor produk-produk
manufaktur.
Sektor Pertanian
(dalam arti luas) Dalam Pembangunan Nasional
Pelaksanaan
dari amanat tersebut sudah tergambar dalam fakta empiris yang tercermin pada
sumbangan sektor pertanian pada PDB dan banyaknya masyarakat yang bergantung
dan bergerak di sektor pertanian. Selain
itu, masih banyaknya sebgaian besar masyarakat yang berada di bawah garis
kemiskinan semakin mempertegas dasar kita untuk menjadikan sektor pertanian
sebagai penggerak perekonomian nasional.
Peranan
dalam pembentukan produk domestik bruto (PDB). Pada tahun 1996, PDB sektor pertanian, termasuk
pula kehutanan dan perikanan, adalah sebesar Rp 63,8 triliun. Nilai ini terus
meningkat menjadi Rp 66,4 triliun pada tahun 2000. Besarnya PDB pertanian
tersebut memberikan kontribusi sekitar 17 persen terhadap PDB nasional. Bila
dibandingkan dengan sektor lain, maka kontribusi PDB pertanian menduduki urutan
kedua setelah sektor industri manufaktur.
Di samping kontribusi langsung terhadap PDB yang cukup signifikan,
sektor pertanian juga telah menunjukkan ketangguhan dalam menjaga stabilitas
ekonomi pada masa krisis perekonomian nasional. Ketangguhan sektor ini ditunjukkan oleh kemampuannya untuk tetap tumbuh secara positif pada masa (1998) sementara
perekonomian nasional secara agregat mengalami kontraksi yang sangat hebat,
yaitu sebesar 13,7 persen.
Dalam penyerapan tenaga
kerja, sektor
pertanian berikut sistem agribisnisnya sangat dominan perannya dalam penyerapan tenaga kerja, yang mampu
menyerap 45,0 persen dari total penyerapan tenaga kerja nasional, atau
menempati urutan pertama dalam penyerapan tenaga kerja.
Apalagi jika
kita menyimak struktur ketenagakerjaan pedesaan, maka peran strategis sektor
pertanian bahkan lebih tak terbantahkan. Dalam tahun 1997 struktur kesempatan
kerja pedesaan secara agregat menunjukkan bahwa peranan sektor pertanian
memegang 58,8 persen dari kesempatan kerja pedesaan, yang secara absolut
besarnya 57,5 juta orang. Peran sektor pertanian di luar Jawa juga lebih besar
yaitu sebesar 66,9 persen dibandingkan dengan di Jawa yang besarnya 50,65%.
Sebaliknya, sektor non-pertanian di Jawa hanya menyumbang 33,1% dan di luar
Jawa menyumbang 49,4% kesempatan kerja, yang pada umumnya berupa jasa
perdagangan, jasa kemasyarakatan, bangunan, dan jasa pengangkutan. Keadaan ini menunjukkan masih tetap dominannya
peran sektor pertanian dalam perekonomian rumah tangga pedesaan, baik di Jawa
maupun di luar Jawa. Dan kegiatan di luar sektor pertanian masih relatif kecil
dan sedang bertumbuh, serta tidak bisa dilepaskan keterkaitannya kegiatan di
pertanian. Selanjutnya, selama masa
kontraksi ekonomi nasional akibat krisis pada tahun 1998, yang secara
penyerapan tenaga kerja nasional menurun sebesar 2,13 persen, atau sebesar 6,4
juta orang di semua sektor ekonomi (kecuali listrik), maka sektor agribisnis
justru mampu meningkatkan kapasitas penyerapan tenaga kerja sebanyak 0,4 juta
orang. Fakta empiris ini menunjukkan
bahwa sektor agribisnis masih merupakan sektor yang paling tangguh dalam
menghadapi krisis dan paling berjasa dalam menampung pengangguran sebagai
akibat krisis ekonomi.
Peranan
sebagai penghasil devisa. Kontribusi agribisnis dalam total nilai ekspor Indonesia pada tahun
1990 mencapai 43 persen, dan meningkat menjadi sekitar 49 persen pada tahun
1995. Sementara itu impor Indonesia, pangsa impor sektor agribisnis relatif
kecil dan cenderung menurun. Pada tahun 1990 pangsa impor sektor agribisnis
hanya sekitar 24 persen dan menurun menjadi sekitar 16 persen pada tahun 1995.
Selanjutnya, selama masa krisis, ekspor
produk pertanian juga mengalami peningkatan yang cukup besar. Pada tahun 1998
ekspor pertanian tahun 1998 naik sebesar 26,5 persen dibanding. Peningkatan
ekspor pertanian selama masa krisis (1991-1998) jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan rata-rata sebelum krisis yakni hanya sebesar 4,5 persen per tahun
(1982-1997). Sebaliknya ekspor produk manufaktur turun sebesar 4,2 persen
selama tahun 1997-1998. Hampir semua ekspor produk industri berbahan baku impor
turun kecuali semen. Namun ekspor produk agroindustri yang berbasis pada sumber
daya lokal seperti minyak atsiri, asam lemak, barang anyaman (kecuali minyak
sawit) mengalami peningkatan. Meskipun sebagian dari kenaikan ini disebabkan
oleh meningkatnya nilai mata uang dolar, namun dengan rendah atau hampir tidak
adanya komponen impor di sektor pertanian, maka kenaikan tersebut masih merupakan
suatu bukti empiris pembangunan ekonomi dengan menggunakan sektor pertanian
sebagai penggerak utama akan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi,
meningkatkan kesempatan kerja dan berusaha dan peningkatan devisa negara.
Peran sektor pertanian lain yang juga
sangat penting adalah dalam meningkatkan pembangunan ekonomi daerah. Sesuai
tujuan pokok dari pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana dimaksud dalam UU No.
22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 25 tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, adalah
untuk mempercepat perkembangan ekonomi daerah. Cara yang efektif dan efisien
untuk membangun ekonomi daerah adalah melalui pendayagunaan berbagai sumber
daya ekonomi yang dimiliki daerah. Pada saat ini sumber daya ekonomi yang
dimiliki dan siap didayagunakan untuk pembangunan ekonomi daerah adalah sumber
daya agribisnis seperti sumber daya alam (lahan, air, keragaman hayati,
agro-klimat), sumber daya manusia di bidang agribisnis, dan teknologi di bidang
agribisnis. Selain itu, sektor agribisnis adalah penyumbang terbesar dalam
produk domestik regional bruto (PDRB) dan ekspor daerah. Dalam penyerapan
tenaga kerja, kesempatan berusaha di setiap daerah, sebagian besar juga
disumbang oleh sektor agribisnis. Oleh
karena itu, pembangunan agribisnis untuk mempercepat pembangunan ekonomi daerah
merupakan pilihan yang paling rasional. Dengan kata lain, pembangunan
agribisnis perlu dijadikan sebagai pilar pembangunan ekonomi wilayah.
Peranan
dalam pelestarian lingkungan hidup. Dewasa
ini, keprihatinan akan kemerosotan mutu lingkungan hidup bukan lagi sebatas isu
lokal suatu negara melainkan sudah
menjadi keprihatinan masyarakat internasional. Kemerosotan mutu lingkungan
hidup saat ini telah sampai pada tingkat yang dapat mengancam kelangsungan
hidup manusia tidak hanya di sekitarnya namun juga seluruh manusia di muka
bumi. Pembangunan agribisnis mempunyai potensi untuk dapat mencegah dan
memperbaiki kemerosotan mutu lingkungan hidup melalui beberapa cara. Pertama, pembangunan agribisnis akan
membuka kesempatan-kesempatan ekonomi yang luas di setiap daerah (ruang).
Kesempatan ekonomi tersebut akan menarik penyebaran penduduk beserta
aktivitasnya, sehingga tekanan penduduk pada suatu ruang tertentu dapat
dikurangi; Kedua, pembangunan
agribisnis yang pada dasarnya mendayagunakan keragaman hayati, dapat
mempertahankan keberadaan keanekaragaman hayati; Ketiga, pembangunan agribisnis yang antara lain mendayagunakan
pertumbuhan keragaman tumbuhan, pada dasarnya merupakan “perkebunan karbon”
yang efektif dalam mengurangi emisi gas karbon atmosfir yang menjadi salah satu
penyebab pemanasan global; Keempat,
pembangunan agribisnis akan menghasilkan produk-produk yang bersfiat biodegradable yang dapat terurai secara
alamiah. Produk agribisnis yang biodegradable
ini akan dapat mengurangi penggunaan produk-produk petrokimia yang non-biodegradable; dan Kelima, pembangunan agribisnis yang
bergerak dari factor-driven ke capital driven dan kemudian kepada innovation-driven dalam menghasilkan
nilai tambah dapat mengurangi tekanan terhadap sumber daya alam dan lingkungan
hidup.
Meskipun ada
sebagian orang yang juga berpendapat bahwa pemanfaatan hutan, pembukaan lahan
perkebunan, dan penangkapan hasil laut justru berkompetisi dengan pelestarian
lingkungan, namun kemajuan teknologi pertanian saat ini telah dapat menciptakan
dan menerapkan berbagai jenis teknologi akrab lingkungan. Berbagai jenis
teknologi sistem usahatani akrab lingkungan telah tersedia dan siap untuk
diterapkan di lapangan, yaitu: (a) Sistem usahatani berwawasan konservasi tanah
yang meliputi pembuatan teras, pengelolaan bahan organik, tanaman lorong (alley cropping), rehabilitasi lahan
melalui penutup tanah di mana komoditas pertanian sebagai bagian dari subsistem;
(b) Sistem pertanian berkelanjutan dengan masukan rendah (low input sustainable agriculture), yaitu melalui efisiensi
penggunaan pupuk yang mudah hilang (nitrogen) dan pengunaan pupuk hijau; dan (c) Wanatani (agroforestry),
yaitu melalui pengendalian erosi, melestarikan keanekaragaman hayati dan
mengkonservasi carbon (C)-organik, dan pengembalian unsur-unsur hara secara
berimbang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar