photo IKLAN_zps0bd7cdbd.png

Jumat, 17 Mei 2013


 Industrialisasi dan Proteksionisme
Terdapat tiga pemikiran strategi industrialisasi yang berkembang di Indonesia, dimana ketiganya pernah diaplikasikan secara tersendiri maupun bersama- sama yakni antara lain sebagai berikut :
1.      Strategi industrialisasi yang mengembangkan industri–industri yang berspektrum luas (broad- based industry), seperti industri elektronik, tekstil, otomotif, dll. Argumentasi rasionalnya adalah bahwa Indonesia memiliki beberapa keunggulan yang memadai seperti tenaga kerja murah dan sumber daya alam, sehingga negara-negara maju tertarik untuk berinvestasi di Indonesia. Selain itu, dalam jangka panjang Indonesia mengambil pelajaran dan teknologi dari industri-industri asing tersebut.
2.      Strategi industrialisasi yang mengutamakan industri-industri berteknologi canggih berbasis impor (hi-tech industry), seperti industri pesawat terbang, industri peralatan, dan senjata militer, industri kapal, dll. Argumentasi rasionalnya adalah bahwa pendekatan ini merupakan cara agar peningkatan pertumbuhan ekonomi tetap terjaga dalam jangka panjang, karena relatif menghasilkan nilai tambah yang besar. Apabila mengandalkan sektor primer, nilai tambahnya kecil dan juga mudah disaingi oleh pihak asing.
3.      Industri hasil pertanian (agroindustry) berbasis dalam negeri dan merupakan kelanjutan pertanian. Argumentasinya adalah bahwa industrialisasi akan berjalan apabila disandarkan pada keunggulan di negara bersangkutan. Karena keunggulan Indonesia terletak di sektor pertanian, industrialisasi harusnya berpijak pada sektor tersebut. Jika tidak demikian, industrialisasi akan menimbulkan masalah ketimpangan pendapatan dan pengangguran.
Namun, kenyataan pada awal-awal pemerintahan Orde Baru menunjukkan tingkat industrialisasi yang sangat rendah. Hasil produksi manufaktur Indonesia bahkan kalah dari negara berkembang yang lebih kecil, seperti Hong Kong dan Filiphina. Sektor ”pabrik” sangat kekurangan bahan input, terutama yang berasal dari luar negeri. Keterbelakangan industrialisasi tersebut segera ditindaklanjuti dengan berbagai upaya. Namun, upaya-upaya ini memiliki kendala pada kondisi negara yang serba terbatas, baik dalam hal modal, kualitas sumber daya manusia, dan minimnya teknologi. Ini menyiratkan betapa sedikitnya alternatif yang dapat dipilih oleh pengambil kebijakan. Di satu sisi, bantuan asing sangat diharapkan kehadirannya, sedangkan di sisi lain sektor yang dikembangkan harus mengacu kepada potensi ekonomi domestik yang dapat dikerjakan oleh sebagian besar masyarakat.
Akhirnya, proses industrialisasi Indonesia ditopang oleh sejumlah besar kebijakan yang sangat proteksionis di bidang perdagangan dan industri, termasuk diantaranya penggunaan bea masuk yang tinggi, penggunaan non-tariff barriers yang meluas, dan bahkan larangan total terhadap impor. Ini memang perlu dilakukan mengingat industri-industri domestik yang masih belum efisien berproduksi. Jika persaingan dibuka, dikhawatirkan industri domestik akan kalah dan tidak mampu bertahan, dan perekonomian nasional akan kembali terjebak oleh penguasaan asing.
Dengan pola pandang tersebut, industrialisasi di Indonesia sejak awal telah menempuh strategi substitusi impor (SI). Strategi SI ini sarat dengan berbagai intervensi negara untuk melindungi kegiatan ekonomi nasional dari pihak asing, sehingga sering pula disebut ”rezim proteksionalisme”. Strategi ini memang telah benar diterapkan pada tahap awal industrialisasi di Indonesia. Secara internal, strategi ini dapat memperkuat struktur industri domestik dan secara eksternal mencegak pihak asing melakukan penetrasi terhadap ekonomi nasional.
Fase-fase Industrialisasi
Ada tiga fase dengan penekanan kebijakan yang berbeda-beda dalam pengerjaan proyek industrialisasi selama Orde Baru, yaitu :
1.      Strategi substitusi impor tahap pertama, yaitu di awal 1970an sampai akhir 1970an, yang didukung oleh sejumlah besar kebijakan tarif bea masuk dan pajak penjualan barang impor yang dibebankan sekaligus.
2.      Substitusi impor tahap kedua, dengan menggalakkan pengembangan industri-industri hulu, terutama industri dasar pengolahan sumber daya seperti industri baja dan industri aluminium.. Untuk mendorong proses ini, pemerintah mulai melakukan non-tariff barriers, terutama pembatasan impor kuantitatif dan program-program penghapusan.
3.      Dengan momentum kemerosotan harga minyak pada tahun 1982, ditempuh kebijakan pengembangan sektor industri manufaktur yang berorientasi ekspor.
Fase-fase industrialisasi yang ditempuh Indoensia sebetulnya mirip dengan yang dilakukan negara-negara berkembang lain seperti Taiwan, Korea Selatan, dan Hongkong. Sektor pertanian diletakkan sebagai pondasi pembangunan sejalan dengan keyakinan bahwa peningkatan sektor pertanian merupakan prasyarat keberhasilan industrialisasi. Skenarionya adalah, peningkatan sektor pertanian akan meningkatkan permintaan awal (input) bagi barang-barang industri. Sedangkan proses industrialisasi sangat membutuhkan bahan mentah maupun setengah jadi dari komoditas primer, khusunya produk pertanian.
Namun, di Indonesia jenis industri yang dikembangkan sangat beraneka sehingga tidak mudah untuk dianalisis. Jenis industri manufaktur di Indonesia terdiri dari :
1.      Industri padat karya, dengan ciri-ciri : penyerapan tenga kerja tinggi, berorientasi ekspor, sebagian besar dimiliki swasta, dan tingkat konsentrasi yang rendah.
2.      Industri padat modal dan tenaga trampil, dengan ciri-ciri : berorientasi pasar domestik, sebagian besar kendali ada di pemerintah atau PMA, dan tingkat konsentrasi yang tinggi.
3.      Industri padat sumber daya alam, dengan ciri-ciri : orientasi ekspor yang tinggi, sebagian besar kepemilikan di tangan swasta, dan tingkat konsentrasi yang rendah.
4.      Industri padat teknologi, dengan ciri-ciri : semakin berorientasi ekspor, kepemilikan ada di tangan asing dan swasta, kandungan impor dan tingkat konsentrasi yang tinggi.
Dalam kurun waktu tidak lama, tujuan transformasi ekonomi memang segera menunjukkan hasil. Pada tahun 1971, kontribusi sektor pertanian (termasuk kehutanan, perikanan, dan peternakan) dalam pembentukan PDB mencapai 44,8%. Namun pada tahun 1980 menurun menjadi 24,8% dan pada tahun 2001 tinggal 17%. Sebaliknya, sektor pengolahan pada tahun 1971 hanya menyumbang 8,4% dalam PDB. Pada tahun 1980 dan 2001 meningkat menjadi masing-masing 11,6% dan 25%. Pola yang sama juga terjadi pada sektor bangunan dan perdagangan yang semakin meningkat peranannya. Sementara itu, perkembangan data yang lebih baru dan lengkap menunjukkan tahun 2005 sektor pertanian hanya menyumbang 13,41% terhadap PDB dan sektor indusri 28,05%.
Salah satu analisis mendeskripsikan bahwa dalam banyak hal Indonesia tidak mengalami pendalaman yang berarti dalam industrialisasi. Negara-negara yang telah mapan melakukan industrialisasi biasanya ditandai bukan hanya oleh pergeseran sektor ekonomi dengan lebih bertumpu pada sektor industri, melainkan juga dengan semakin intensifnya proses manufacturing dalam sektor yang bersangkutan. Negara-negara seperti Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, dan Singapura yang memulai proses industrialisasi hampir bersamaan dengan Indonesia memiliki struktur industri yang lebih padat pemrosesan (manufacturing) dan enjiniring. Dengan demikian, penguasaan teknologi dan nilai tambah produk menjadi memungkinkan. Sebaliknya, di Indonesia sebagian besar industri yang berjalan masih tergantung pada pola-pola yang tidak membutuhkan pemrosesan.
 Peta Industrialisasi di Indonesia
Sebelum Indonesia mengkaji fenomena ekspornya, hal penting yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi arah strategi pengembangan industri dan mendiagnosa struktur pasar ekonomi Indonesia. Ini perlu dilakukan karena tujuan pembangunan ekonomi Indonesia adalah menciptakan terjadinya transformasi ekonomi. Dari titik inilah muncul tiga persoalan struktural dalam ekonomi Indonesia, yakni :
1.      Belum dirumuskannya jenis industri dan produk yang hendak dikembangkan dan dijadikan andalan di masa depan secara tuntas. Selama ini, perdebatan mengenai kedua hal tersebut masih dilakukan secara kurang transparan dan melibatkan banyak elemen masyarakat. Akibatnya, strategi industrialisasi lebih banyak didekati dengan subjektivitas daripada mempertimbangkan aspek-aspek rasional sesuai cerminan kebutuhan ekonomi nasional.
2.      Sistem produksi dan distribusi ekonomi nasional masih mengandalkan pola proteksionisme sehingga menimbulkan distorsi pasar. Ini erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah Orde Baru, yaitu substitusi impor. Dalam perkembangannya, strategi SI justru menyebabkan iklim monopoli dalam pasar ekonomi Indonesia. Strategi SI tidak direncanakan secara selektif, sehingga banyak yang memanfaatkan kebijakan tersebut untuk mengeruk keuntungan secara berlebih tanpa proses usaha yang efisien. Apalgi kebijakan-kebijakan khas rezim SI tidak segera direvisi ketika industri menunjukkan prestasi yang tidak sesuai.
3.      Keberadaan sektor pertanian di Indonesia sangat memperihatinkan, dimana disamping kontribusinya terhadap pendapatan nasional telah sangat kecil, juga tidak menunjukkan adanya proses modernisasi dan keterkaitan dengan proyek industrialisasi yang dikerjakan. Ini diakibatkan adanya perbenturan ide tentang strategi industrialisasi yang akan dijalankan dan perbedaan kepentingan politik antara pengambil kebijakan (penguasa) dengan pelaku dunia usaha (pengusaha).
Sebenarnya, Indonesia telah memiliki informasi akurat (melalui data neraca perdagangan) mengenai identifikasi jenis teknologi dan produk apa yang bisa diprioritaskan. Yang pasti, unsur teknologi dalam pembangunan ekonomi saat ini tidak perlu lagi dipertanyakan, karena merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Hal yang harus dipikirkan adalah pada sektor apa teknologi tersebut harus dikonsentrasikan dan pada level mana jenis teknologi harus diproduksi dan dikembangkan. Perdagangan sektor industri manufaktur Indonesia selama ini selalu defisit. Padahal, total neraca perdagangan Indonesia selalu menunjukan angka surplus yang berarti. Selain itu, dari identifikasi pemakaian jenis teknologi diketahui bahwa industri manufaktur yang memakai teknologi tinggi dan menengah menyumbangkan defisit terbesar. Sebaliknya, industri berteknologi rendah justru selalu surplus dan menutupi kekurangan pada industri lainnya. Besarnya defisit industri berteknologi ini dikarenakan besarnya kandungan impor dan dominasi asing.
Jika dilihat dari kontribusi ekspor Indonesia, sektor industri pengolahan memberikan sumbangan yang paling besar, disusul oleh sektor pertambangan dan pertanian. Namun, sumbangan terbesar pada sektor industri pengolahan dan pertambangan dilakukan oleh usaha skala besar, sebaliknya di sektor pertanian dilakukan oleh usaha kecil dan menengah. Ini menunjukkan bahwa kontribusi ekspor sektor industri dan pertambangan hanya dinikmati oleh segelintir pelaku ekonomi skala besar, tetapi di sektor pertanian yang menikmati adalah pelaku ekonomi skala kecil dan menengah. Artinya, selama ini pelaku ekonomi skala kecil dan menengah di sektor industri pengolahan hanya berorientasi ke pasar domestik, dimana ini mungkin sebagai akibat dari keterbatasan akses informasi dan permodalan. Pemerintah harus segera mengupayakan agar pelaku usaha kecil dan menengah, khususnya di sektor industri pengolahan juga turut menyumbangkan ekspor produk-produk manufaktur.


Sektor Pertanian (dalam arti luas) Dalam Pembangunan Nasional
Pelaksanaan dari amanat tersebut sudah tergambar dalam fakta empiris yang tercermin pada sumbangan sektor pertanian pada PDB dan banyaknya masyarakat yang bergantung dan bergerak di sektor pertanian.  Selain itu, masih banyaknya sebgaian besar masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan semakin mempertegas dasar kita untuk menjadikan sektor pertanian sebagai penggerak perekonomian nasional.
Peranan dalam pembentukan produk domestik bruto (PDB). Pada tahun 1996, PDB sektor pertanian, termasuk pula kehutanan dan perikanan, adalah sebesar Rp 63,8 triliun. Nilai ini terus meningkat menjadi Rp 66,4 triliun pada tahun 2000. Besarnya PDB pertanian tersebut memberikan kontribusi sekitar 17 persen terhadap PDB nasional. Bila dibandingkan dengan sektor lain, maka kontribusi PDB pertanian menduduki urutan kedua setelah sektor industri manufaktur.  Di samping kontribusi langsung terhadap PDB yang cukup signifikan, sektor pertanian juga telah menunjukkan ketangguhan dalam menjaga stabilitas ekonomi pada masa krisis perekonomian nasional. Ketangguhan sektor ini ditunjukkan oleh kemampuannya untuk tetap tumbuh secara positif pada masa (1998) sementara perekonomian nasional secara agregat mengalami kontraksi yang sangat hebat, yaitu sebesar 13,7 persen.
Dalam penyerapan tenaga kerja, sektor pertanian berikut sistem agribisnisnya sangat dominan perannya  dalam penyerapan tenaga kerja, yang mampu menyerap 45,0 persen dari total penyerapan tenaga kerja nasional, atau menempati urutan pertama dalam penyerapan tenaga kerja.
Apalagi jika kita menyimak struktur ketenagakerjaan pedesaan, maka peran strategis sektor pertanian bahkan lebih tak terbantahkan. Dalam tahun 1997 struktur kesempatan kerja pedesaan secara agregat menunjukkan bahwa peranan sektor pertanian memegang 58,8 persen dari kesempatan kerja pedesaan, yang secara absolut besarnya 57,5 juta orang. Peran sektor pertanian di luar Jawa juga lebih besar yaitu sebesar 66,9 persen dibandingkan dengan di Jawa yang besarnya 50,65%. Sebaliknya, sektor non-pertanian di Jawa hanya menyumbang 33,1% dan di luar Jawa menyumbang 49,4% kesempatan kerja, yang pada umumnya berupa jasa perdagangan, jasa kemasyarakatan, bangunan, dan jasa pengangkutan.  Keadaan ini menunjukkan masih tetap dominannya peran sektor pertanian dalam perekonomian rumah tangga pedesaan, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Dan kegiatan di luar sektor pertanian masih relatif kecil dan sedang bertumbuh, serta tidak bisa dilepaskan keterkaitannya kegiatan di pertanian.  Selanjutnya, selama masa kontraksi ekonomi nasional akibat krisis pada tahun 1998, yang secara penyerapan tenaga kerja nasional menurun sebesar 2,13 persen, atau sebesar 6,4 juta orang di semua sektor ekonomi (kecuali listrik), maka sektor agribisnis justru mampu meningkatkan kapasitas penyerapan tenaga kerja sebanyak 0,4 juta orang.  Fakta empiris ini menunjukkan bahwa sektor agribisnis masih merupakan sektor yang paling tangguh dalam menghadapi krisis dan paling berjasa dalam menampung pengangguran sebagai akibat krisis ekonomi. 
Peranan sebagai penghasil devisa. Kontribusi agribisnis dalam total nilai ekspor Indonesia pada tahun 1990 mencapai 43 persen, dan meningkat menjadi sekitar 49 persen pada tahun 1995. Sementara itu impor Indonesia, pangsa impor sektor agribisnis relatif kecil dan cenderung menurun. Pada tahun 1990 pangsa impor sektor agribisnis hanya sekitar 24 persen dan menurun menjadi sekitar 16 persen pada tahun 1995. Selanjutnya, selama masa krisis,  ekspor produk pertanian juga mengalami peningkatan yang cukup besar. Pada tahun 1998 ekspor pertanian tahun 1998 naik sebesar 26,5 persen dibanding. Peningkatan ekspor pertanian selama masa krisis (1991-1998) jauh lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata sebelum krisis yakni hanya sebesar 4,5 persen per tahun (1982-1997). Sebaliknya ekspor produk manufaktur turun sebesar 4,2 persen selama tahun 1997-1998. Hampir semua ekspor produk industri berbahan baku impor turun kecuali semen. Namun ekspor produk agroindustri yang berbasis pada sumber daya lokal seperti minyak atsiri, asam lemak, barang anyaman (kecuali minyak sawit) mengalami peningkatan. Meskipun sebagian dari kenaikan ini disebabkan oleh meningkatnya nilai mata uang dolar, namun dengan rendah atau hampir tidak adanya komponen impor di sektor pertanian, maka kenaikan tersebut masih merupakan suatu bukti empiris pembangunan ekonomi dengan menggunakan sektor pertanian sebagai penggerak utama akan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesempatan kerja dan berusaha dan peningkatan devisa negara.
Peran sektor pertanian lain yang juga sangat penting adalah dalam meningkatkan pembangunan ekonomi daerah. Sesuai tujuan pokok dari pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana dimaksud dalam UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, adalah untuk mempercepat perkembangan ekonomi daerah. Cara yang efektif dan efisien untuk membangun ekonomi daerah adalah melalui pendayagunaan berbagai sumber daya ekonomi yang dimiliki daerah. Pada saat ini sumber daya ekonomi yang dimiliki dan siap didayagunakan untuk pembangunan ekonomi daerah adalah sumber daya agribisnis seperti sumber daya alam (lahan, air, keragaman hayati, agro-klimat), sumber daya manusia di bidang agribisnis, dan teknologi di bidang agribisnis. Selain itu, sektor agribisnis adalah penyumbang terbesar dalam produk domestik regional bruto (PDRB) dan ekspor daerah. Dalam penyerapan tenaga kerja, kesempatan berusaha di setiap daerah, sebagian besar juga disumbang oleh sektor agribisnis.  Oleh karena itu, pembangunan agribisnis untuk mempercepat pembangunan ekonomi daerah merupakan pilihan yang paling rasional. Dengan kata lain, pembangunan agribisnis perlu dijadikan sebagai pilar pembangunan ekonomi wilayah.
Peranan dalam pelestarian lingkungan hidup.  Dewasa ini, keprihatinan akan kemerosotan mutu lingkungan hidup bukan lagi sebatas isu lokal suatu  negara melainkan sudah menjadi keprihatinan masyarakat internasional. Kemerosotan mutu lingkungan hidup saat ini telah sampai pada tingkat yang dapat mengancam kelangsungan hidup manusia tidak hanya di sekitarnya namun juga seluruh manusia di muka bumi. Pembangunan agribisnis mempunyai potensi untuk dapat mencegah dan memperbaiki kemerosotan mutu lingkungan hidup melalui beberapa cara. Pertama, pembangunan agribisnis akan membuka kesempatan-kesempatan ekonomi yang luas di setiap daerah (ruang). Kesempatan ekonomi tersebut akan menarik penyebaran penduduk beserta aktivitasnya, sehingga tekanan penduduk pada suatu ruang tertentu dapat dikurangi; Kedua, pembangunan agribisnis yang pada dasarnya mendayagunakan keragaman hayati, dapat mempertahankan keberadaan keanekaragaman hayati; Ketiga, pembangunan agribisnis yang antara lain mendayagunakan pertumbuhan keragaman tumbuhan, pada dasarnya merupakan “perkebunan karbon” yang efektif dalam mengurangi emisi gas karbon atmosfir yang menjadi salah satu penyebab pemanasan global; Keempat, pembangunan agribisnis akan menghasilkan produk-produk yang bersfiat biodegradable yang dapat terurai secara alamiah. Produk agribisnis yang biodegradable ini akan dapat mengurangi penggunaan produk-produk petrokimia yang non-biodegradable; dan Kelima, pembangunan agribisnis yang bergerak dari factor-driven ke capital driven dan kemudian kepada innovation-driven dalam menghasilkan nilai tambah dapat mengurangi tekanan terhadap sumber daya alam dan lingkungan hidup. 
Meskipun ada sebagian orang yang juga berpendapat bahwa pemanfaatan hutan, pembukaan lahan perkebunan, dan penangkapan hasil laut justru berkompetisi dengan pelestarian lingkungan, namun kemajuan teknologi pertanian saat ini telah dapat menciptakan dan menerapkan berbagai jenis teknologi akrab lingkungan. Berbagai jenis teknologi sistem usahatani akrab lingkungan telah tersedia dan siap untuk diterapkan di lapangan, yaitu: (a) Sistem usahatani berwawasan konservasi tanah yang meliputi pembuatan teras, pengelolaan bahan organik, tanaman lorong (alley cropping), rehabilitasi lahan melalui penutup tanah di mana komoditas pertanian sebagai bagian dari subsistem; (b) Sistem pertanian berkelanjutan dengan masukan rendah (low input sustainable agriculture), yaitu melalui efisiensi penggunaan pupuk yang mudah hilang (nitrogen) dan pengunaan pupuk  hijau; dan (c) Wanatani (agroforestry), yaitu melalui pengendalian erosi, melestarikan keanekaragaman hayati dan mengkonservasi carbon (C)-organik, dan pengembalian unsur-unsur hara secara berimbang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar