photo IKLAN_zps0bd7cdbd.png

Rabu, 15 Mei 2013

PEMBANGUNAN PERTANIAN SEBAGAI BASIS PERTUMBUHAN EKONOMI



PEMBANGUNAN PERTANIAN SEBAGAI BASIS PERTUMBUHAN EKONOMI

BAB I
PENDAHULUAN

Menurunnya kontribusi sektor pertanian terhadap struktur perekonomian nasional tidak terlepas dari adanya beberapa titik lemah dalam kebijakan dan implementasi yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi (termasuk pertanian). Pemerintah telah melakukan berbagai pendekatan pembangunan sektor pertanian seperti pembangunan pertanian terpadu, pembangunan pertanian berwawasan lingkungan, dan pembangunan pertanian berwawasan agroindustri, namun upaya tersebut sampai saat ini belum menghasilkan pencapaian yang menggembirakan. Menempatkan pembangunan pertanian sebagai penggerak utama pembangunan ekonomi nasional (agricultural-led development) dengan segala tantangan yang harus dihadap,i baik yang sifatnya internal maupun eksterna,l diharapkan mampu memecahkan persoalan ekonomi melalui pertumbuhan ekonomi dengan perluasan kesempatan kerja dan berusaha, peningkatan devisa, pemerataan, percepatan pembangunan ekonomi daerah, membangun ketahanan pangan dan pelestarian lingkungan hidup. Sejalan dengan kemajuan ilmu dan teknologi yang mempengaruhi corak berpikir petani, konsumen dan pelaku pembangunan pertanian yang lain, maka konsep klasik Mosher perlu disesuaikan, termasuk didalamnya reorientasi peran pemerintah.

 Peranan Pertanian Dalam pembangunan Perekonomian Indonesia
Pembangunan Pertanian di Indonesia tetap dianggap terpenting dari keseluruhan pembangunan ekonomi, apalagi semenjak sektor pertanian ini menjadi penyelamat perekonomian nasional karena justru pertumbuhannya meningkat, sementara sektor lain pertumbuhannya negatif. Beberapa alas an yang mendasari pentingnya pertanian di Indonesia:
(1) potensi sumberdayanya yang besar dan beragam,
(2) pangsa terhadap pendapatan nasional cukup besar,
(3) besarnya penduduk yang menggantungkan hidupnya pada sektor ini dan
(4) menjadi basis pertumbuhan di pedesaan
Potensi pertanian yang besar namun sebagian besar dari petani banyak yang termasuk golongan miskin adalah sangat ironis terjadi di Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah bukan saja kurang memberdayakan petani tetapi sektor pertanian keseluruhan. Disisi lain adanya peningkatan investasi dalam pertanian yang dilakukan oleh investor PMA dan PMDN yang berorientasi pada pasar ekspor umumnya padat modal dan perananya kecil dalam penyerapan tenaga kerja atau lebih banyak menciptakan buruh tani.
Berdasarkan latar belakang tersebut ditambah dengan kenyataan justru kuatnya aksesibilitas pada investor asing /swasta besar dibandingkan dengan petani kecil dalam pemanfaatan sumberdaya pertanian di Indonesia, maka dipandang perlu adanya grand strategy pembangunan pertanian melalui pemberdayaan petani kecil. Melalui konsepsi tersebut, maka diharapkan mampu menumbuhkan sektor pertanian, sehingga pada gilirannya mampu menjadi sumber pertumbuhan baru bagi perekonomian Indonesia, khususnya dalam hal pencapaian sasaran :
(1) mensejahterkan petani,
(2) menyediakan pangan,
(3) sebagai wahana pemerataan pembangunan untuk mengatasi kesenjangan pendapatan antar masyarakat maupun kesenjangan antar wilayah,
(4) merupakan pasar input bagi pengembangan agroindustri,
(5) menghasilkan devisa,
(6) menyediakan lapangan pekerjaan,
(7) peningkatan pendapatan nasional, dan
(8) tetap mempertahankan kelestarian sumberdaya.

POTENSI AGRIBISNIS INDONESIA
Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar dalam pengembangan agribisnis bahkan dimungkinkan akan menjadi leading sector dalam pembangunan nasional. Potensi agribisnis tersebut diuraikan sebagai berikut :
1. Dalam Pembentukan Produk Domestik bruto , sektor agribisnis merupakan penyumbang nilai tambah (value added) terbesar dalam perekonomian nasional, diperkirakan sebesar 45 persen total nilai tambah.
2. Sektor agrbisnis merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja terbesar diperkirakan sebesar 74 persen total penyerapan tenaga kerja nasional.
3. Sektor agribisnis juga berperan dalam penyediaan pangan masyarakat. Keberhasilan dalam pemenuhan kebutuhan pangan pokok beras telah berperan secara strategis dalam penciptaan ketahanan pangan nasional (food security) yang sangat erat kaitannya dengan ketahanan social (socio security), stabilitas ekonomi, stabilitas politik, dan keamanan atau
ketahanan nasional (national security).
4. Kegiatan agribisnis umumnya bersifat resource based industry. Tidak ada satupun negara di dunia seperti Indonesia yang kaya dan beraneka sumberdaya pertanian secara alami (endowment factor). Kenyataan telah menunjukkan bahwa di pasar internasional hanya industri yang berbasiskan sumberdaya yang mempunyai keunggulan komparatif dan mempunyai konstribusi terhadap ekspor terbesar, maka dengan demikian pengembangan agribisnis di Indonesia lebih menjamin perdagangan yang lebih kompetitif.
5. Kegiatan agribisnis mempunyai keterkaitan ke depan dan kebelakang yang sangat besar (backward dan forward linkages) yang sangat besar. Kegiatan agribisnis (dengan besarnya keterkaitan ke depan dan ke belakang) jika dampaknya dihitung berdasarkan impact multilier secara langsung dan tidak langsung terhadap perekonomian diramalkan akan sangat besar.
6. Dalam era globalisasi perubahan selera konsumen terhadap barangbarang konsumsi pangan diramalkan akan berubah menjadi cepat saji dan pasar untuk produksi hasil pertanian diramalkan pula terjadi pergeseran dari pasar tradisional menjadi model Kentucky. Dengan demikian agroindustri akan menjadi kegiatan bisnis yang paling attraktif.
7. Produk agroindustri umumnya mempunyai elastisitas yang tinggi, sehingga makin tinggi pendapatan seseorang makin terbuka pasar bagi produk agroindustri.
8. Kegiatan agribisnis umumnya menggunakan input yang bersifat renewable, sehingga pengembangannya melalui agroindustri tidak hanya memberikan nilai tambah namun juga dapat menghindari pengurasan sumberdaya sehingga lebih menjamin sustainability.
9. Teknologi agribisnis sangat fleksibel yang dapat dikembangkan dalam padat modal ataupun padat tenaga kerja, dari manejement sederhana sampai canggih, dari skala kecil sampai besar. Sehingga Indonesia yang penduduknya sangat banyak dan padat, maka dalam pengembangannya dimungkinkan oleh berbagai segmen usaha.
10. Indonesia punya sumberdaya pertanian yang sangat besar, namun produk pertanian umumnya mudah busuk, banyak makan tempat, dan musiman. Sehingga dalam era globalisasi dimana konsumen umumnya cenderung mengkonsumsi nabati alami setiap saat, dengan kualitas tinggi dan tidak busuk dan makan tempat, maka peranan agroindustri akan dominant.
Mengapa Pertanian ?
Studi komprehensif dari berbagai disiplin keilmuan membuktikan betapa proses perkembangan ekonomi-baik dalam arti sempit industrialisasi maupun arti luas modernisasi yang terjadi sejak Revolusi Industri di Inggris telah menimbulkan kemerosotan peranan masyarakat tradisional (golongan petani di perdesaan) yang makin bertambah cepat. Sebagai akibatnya, ketika terjadi pertumbuhan ekonomi, peranan golongan petani semakin menciut, dan sebagai gantinya, peranan masyarakat modern semakin meningkat. Sejajar dengan itu maka peranan golongan buruh industri, pedagang, pengusaha-pokoknya semua golongan masyarakat kota-juga semakin meningkat.
Ditinjau dari struktur perekonomian nasional, sektor pertanian menempati posisi yang penting dalam kontribusinya terhadap PDB. Pada saat krisis, sumbangan sektor pertanian terhadap PDB mengalami peningkatan paling besar dibanding sektor lainnya. Dari segi penyerapan tenaga kerja, pada tahun 2003 sektor pertanian mampu menyerap sekitar 46 persen, paling tinggi di antara sektor-sektor lain (Yudhoyono, 2004). Disisi lain kita perlu mencermati menurunnya kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian nasional dimana mulai tahun 1969-1973 atau Pelita I kontribusi sektor pertanian sebesar 33,69 %) sedangkan pada akhir tahun 2004 tercatat kontribusi sektor pertanian terhadap struktur perekonomian nasional sebesar 15,39% (Berita Resmi Statistik-BPS, 2004). Menurunya kontribusi sektor pertanian terhadap struktur perekonomian nasional tidak terlepas dari adanya beberapa titik lemah dalam kebijakan dan implementasi yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi (termasuk pertanian) antara lain:
1. Ketimpangan kebijakan makro dan mikro ekonomi. Perhatian pada kepentingan non pertanian khususnya industri (pertanian menjadi residual) jauh lebih besar dan melecehkan pemenuhan kebutuhan penduduk serta kesejahteraan petani sering kali terabaikan, sehingga potensi sektor pertanian secara luas belum dikelola secara optimal.
2. Pembangunan pertanian bias perkotaan. Selama ini pembangunan pertanian cenderung lebih bias perkotaan (menguntungkan penduduk kota dan nilai tambahnya lebih banyak dinikmati penduduk kota) dan nyaris mengabaikan tujuan kesejahteraan masyarakat pertanian yang sebagian besar tinggal di perdesaan (pertanian dan perdesaan termajinalkan).
3. Bias pembangunan pertanian pada beras. Pembangunan pertanian masa lalu amat bias pada padi dan beras. Sebagian besar upaya inovasi dan pembangunan teknologi program pertanian masa lalu difokuskan pada padi dan beras, sehingga inovasi dan pengembangan teknologi bagi produk pertanian lainnya berjalan sangat lamban bahkan tertinggal. Akibatnya ketika kebijakan diversifikasi konsumsi pangan digalakkan untuk mengurangi ketergantungan pada beras, kemampuan untuk menyediakan produk pangan non-beras Indonesia tidak memadai sehingga kesempatan ini diisi oleh aneka pangan impor.
4. Lemahnya kelompok pendukung kebijakan. Kebijakan lahir antara lain karena desakan masyarakat kepada policy makers. Kebijakan akan berjalan dengan baik bila didukung oleh pemerintah yang memahami tentang makna dan tujuan kebijakan tersebut disertai kelompok pendukung kebijakan tersebut baik kelompok formal (Partai dan Ormas) maupun non-formal di masyarakat. Lemahnya peran kelompok pendukung kebijakan pertanian untuk mengingatkan ‘penguasa’ menyebabkan kebijakan diresidualkan bahkan disimpangkan implementasinya. Paper ini dimulai dengan pertanyaan mengapa pertanian dikarenakan selain alasan di atas, juga mengingat bahwa lokasi geografis Indonesia yang terletak secara strategis di garis ekuator seharusnya menjadikan Indonesia sebagai negara agraris yang ijo royo-royo gemah ripah loh jinawi, sektor pertanian juga mendorong kesempatan berusaha untuk sektor yang lain (penyedia material untuk industri non pertanian) dan juga penghasil devisa dari hasil eksport.

Pembangunan Pertanian
Pembangunan adalah kelanjutan dan peningkatan. Jika terdapat pandangan bahwa pembangunan ekonomi itu suatu proses untuk merubah suatu perekonomian dari yang menghasilkan barang-barang pertanian menjadi menghasilkan barang-barang industri dan jasa, maka akan terjadi banyak penafsiran yang salah terhadap teori tahapan pertumbuhan yang dikemukakan Rostow (1960). Memahami kritik-kritik yang dikemukakan  sehubungan dengan teori pertumbuhan Rostow maka negara Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 220 jutaan paling tidak, harus tetap dapat berswasembada pangan untuk memenuhi konsumsi penduduknya. Sekarang tinggal bagaimana merencanakan dan melaksanakan pembangunan pertanian yang berkualitas. Di masa lalu, dengan orientasi pada peningkatan produksi, maka yang menjadi motor penggerak sektor pertanian adalah usahatani dimana hasil usahatani menentukan perkembangan agribisnis hilir dan hulu. Hal ini memang sesuai pada masa itu, karena target pembangunan sektor pertanian masih diorientasikan untuk mencapai tingkat produksi semaksimal mungkin. Selain itu, konsumen juga belum demanding demand pada atribut-atribut produk yang lebih rinci dan lengkap. Dewasa ini, dan terlebih lagi di masa yang akan datang, orientasi sektor pertanian telah berubah kepada orientasi pasar. Dengan berlangsungnya perubahan preferensi konsumen yang makin menuntut atribut produk yang lebih rinci dan lengkap serta adanya preferensi konsumen akan produk olahan, maka motor penggerak sektor pertanian harus berubah dari usahatani tradisional menuju pertanian yang modern. Dalam hal ini, untuk mengembangkan sektor pertanian yang moderen dan berdaya saing, agroindustri harus menjadi lokomotif dan sekaligus penentu kegiatan sub-sektor usahatani dan selanjutnya akan menentukan sub-sektor agribisnis hulu. Memang diakui bahwa tidak mudah membangun sektor pertanian di Indonesia, mengingat petani yang jumlahnya jutaan dengan luas lahan yang relatif sempit. Bahkan ada lokasi lahan pertanian yang terpencar-pencar sehingga menyulitkan konsolidasi dan pembinaan, sarana dan prasarana yang tersedia tidak dimanfaatkan secara baik, sarana transportasi, terutama di luar Jawa, yang kurang mendukung menyebabkan biaya produksi menjadi mahal, dan masih banyak contoh yang lain. Disamping itu pertanian juga tidak terlepas dari decreasing returns in production karena dibatasi oleh ketersediaan lahan. Pemerintah memang telah bekerja keras untuk membangun sektor pertanian. Berbagai pendekatan pembangunan sektor pertanian telah dicoba seperti pembangunan pertanian terpadu, pembangunan pertanian berwawasan lingkungan, dan pembangunan pertanian berwawasan agroindustri. Kalau diperhatikan secara baik maka upaya pendekatan pembangunan pertanian pada dasarnya berupaya untuk:
1. tetap menjaga dan memperhatikan prinsip keunggulan komparatif sehingga
produk pertanian mampu berkompetisi;
2. terus meningkatkan keterampilan petani (masyarakat tani) sehingga mampu
meningkatkan produktivitas pertanian;
3. terus mengupayakan sarana produksi yang mencukupi setiap saat diperlukan
dengan tingkat harga yang terjangkau;
4. menyediakan dan meningkatkan fasilitas kredit bagi petani guna proses
produksinya;
5. Penyediaan infrastruktur dan institusi/kelembagaan yang dapat meningkatkan
nilai tambah hasil produksi pertanian.
Penampilan sektor pertanian memang bukan saja dipengaruhi oleh faktor internal
tetapi faktor eksternal juga tidak kalah penting pengaruhnya pada penampilan sektor
pertanian.
 Faktor eksternal ini, antara lain:
1. kebijakan makro ekonomi yang kadang-kadang kurang mendukung pembangunan
pertanian;
2. krisis ekonomi yang berkepanjangan di Asia ini termasuk di Indonesia;
3. proteksi di sektor pertanian di negara maju;
4. adanya peraturan internasional yang dikemas dalam berbagai organisasi, di mana Indonesia menjadi anggotanya seperti Asian Free Trade Area (AFTA) dan World Trade Organization (WTO). Bahkan kesepatan bilateral atau multilateral seperti perjanjian dengan International Monetary Fund (IMF) terkadang juga kurang mendukung sektor pertanian. Namun untuk mendukung pertanian, pemerintah dapat melakukan subsidi tidak langsung berupa pembangunan infrastruktur yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha tani, institusi/kelembagaan yang menunjang sistem usahatani dari proses penyediaan input, pasca panen dan pengolahan hasil, dan akses terhadap informasi pasar. Meskipun Indonesia berhasil menjadi salah satu produsen terbesar pada beberapa komoditas pertanian dunia tetapi Indonesia belum memiliki kemampuan bersaing di pasar internasional. Selain itu, nilai tambah yang kita raih dari pemanfaatan keunggulankomparatif tersebut masih relatif kecil, sehingga tingkat pendapatan masyarakat tetap rendah. Belajar dari pengalaman masa lalu, pendekatan pembangunan pertanian dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi dapat ditempuh melalui pendayagunaan keunggulan komparatif menjadi keunggulan bersaing dengan merancang pembangunan pertanian yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri dan sistem agribisnis di mana pertanian, industri hulu pertanian, industri hilir pertanian serta sektor yang menyediakan jasa yang diperlukan, dikembangkan secara simultan dan harmonis. Dengan perkataan lain, dengan menempatkan pembangunan pertanian sebagai penggerak utama pembangunan ekonomi nasional (agricultural-led development) maka persoalan ekonomi Indonesia saat ini seperti pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja dan berusaha, peningkatan devisa, pemerataan, percepatan pembangunan ekonomi daerah, membangun ketahanan pangan dan pelestarian lingkungan hidup, akan dapat dipecahkan sekaligus dan berkelanjutan. Kedepan pembangunan pertanian tidak cukup hanya melalui dorongan pemerintah dalam upaya peningkatan produksi, pembukaan lahan pertanian, tetapi lebih kearah pembangunan yang hasilnya tidak dapat dirasakan pada waktu singkat yaitu perubahan perilaku (baca: sikap mental dan budaya masyarakat pertanian) dalam berusahatani. Dan sependapat dengan paparan Pakpahan dalam Rekonstruksi dan Restrukturiasasi Pertanian (2004) bahwa dalam rangka membangun pertanian dalam arti seluas-luasnya sebagai alternatif solusi masa depan Indonesia maka perlu dicermati, dipahami dan ditindaklanjuti terhadap beberapa hal berikut:
1. Kekuatan itu terletak dalam diri kita. Dalam era global, saling ketergantungan hanyadapatterwujud apabila didahului oleh kemandirian, tanpa kemandirian yang terjadi adalah ketergantungan.
2. Potensi besar hasil investasi petani. Dari karya nyata yang sudah ada tidak dapat dipungkiri bahwa petani dengan berbagai jenis tanaman dengan luasan jutaan hektar berada pada barisan terdepan sebagai investor utama negeri Indonesia. Kalau
 pertanian tidak berkembang, penyebabnya bukan kesalahan petani, tetapi kekeliruan dari pengambil kebijakan dan pelaku ekonomi lainnya yang tak dapat mensyukuri, memberdayakan dan melanjutkan hasil petani tersebut. Kekuatan besar pertanian dewasa ini tersumbat atau mencari jalan sendiri-sendiri dalam kosmologinya.
3. Membalik arus dan gelombang sejarah. Jeff Sachd dalam Pakpahan (2004) mengemukakan bahwa terjadi kesenjangan yang makin lebar antara pendapatan per kapita negara-negara berkembang yang pada umumnya berada pada daerah tropika dengan negara maju yang pada umumnya berada di daerah dengan iklim temperate. Barang yang kita hasilkan langsung masuk ke “lautan pasar” tanpa kita olah dulu. Yang mengolah adalah pihak lain yang menguasai “bendungan-bendungan” berupa storage dan industri pengolahannya. Akibatnya flow yang lebih besar dan bernilai tinggi ada disana, di negara yang sudah maju. Arus ini harus dibalik, sehingga kita tidak hanya menghasilkan barang mentah berdasarkan comparative advantage tapi kita juga mampu meningkatkan keunggulan daya saing berdasarkan keunikan tanaman yang hanya dapat tumbuh di daerah tropis. Pada akhirnya sejarah nantinya yang menjawab apakah negara agraris mampu membalik sejarah.
4. Menggeser trend harga riil menurun menjadi sejajar. Dalam perjalanannya makin tampak bahwa organisasi perdagangan internasional seperti WTO tidak sepenuhnya dapat menjadi harapan bagi negara-negara berkembang untuk dapat menyelesaikan dan hidup dalam perdangangan global. Perdanganan kedepan harus mampu menggeser kurva harga-harga komoditas primer pertanian yang terus menurun, menjadi sejajar dengan produk olahannya.
5. Kekuatan bargaining petani sebagi instrumen menggeser kurva; Tidak ada cara lain untuk mengatasi over supply dan struktur pasar monopoli saat petani menjual produknya kecuali dengan membangun kelembagaan (a set of working rules of going concern) yang dapat meningkatkan bargaining bagi petani. Institusi petani yang kuat, besarnya perhatian serta dukungan pemerintah terhadap petani dan pertanian akan memberikan kekuatan bargaining petani.
6. Reinvestasi, Rekapitalisasi Social Capital dan Sumber Pertumbuhan Mendatang.
Diperlukan reinvestasi baru terhadap investasi yang telah ditanamkan oleh pertanian, sekaligus melakukan rekapitalisasi Social Capital, mengingat kedua hal dimaksud

 merupakan syarat untuk membangun sumber-sumber pertumbuhan dan kesejahteraan
di masa mendatang. Kiranya masih relevan apa yang disarankan oleh A.T. Mosher pada tahun 1960-an yang mengingatkan tentang perlunya penguasaan teknologi baru (Mosher, 1974). Pembangunan pertanian tidak bisa lepas dari penggunaan teknologi baru mengingat dinamika perubahan preferensi konsumen akan produk pertanian yang cepat berubah. Bahkan saat itu A.T. Mosher mengingatkan untuk memperhatikan lima faktor pokok yang senantiasa perlu dipenuhi, yaitu:
• Adanya pasar produk pertanian
• Adanya teknologi yang selalu berubah yang dikuasai petani
• Adanya atau tersedia sarana produksi secara lokal
• Adanya insentif produksi bagi petani
• Adanya transpor yang memadai.
Hanya saja sejalan dengan kemajuan ilmu dan teknologi yang mempengaruhi corak berpikir petani, konsumen dan pelaku pembangunan pertanian yang lain, maka konsep klasik Mosher tersebut perlu disesuaikan dengan memperhatikan empat faktor di bawah ini, yaitu:
• Pemanfaatan sumberdaya dengan tanpa harus merusak lingkungannya (resource
endowment)
• Pemanfaatan teknologi yang senantiasa berubah (technological endowment)
• Pemanfaatan institusi atau kelembagaan yang saling menguntungkan
pembangunan pertanian (institutional endowment)
• Pemanfaatan budaya untuk keberhasilan pembangunan pertanian (cultural
endowment)
Semenjak krisis, sektor pertanian menjadi tempat pelarian tenaga kerja dari sektorsektor lainnya yang ambruk diterpa krisis. Sementara pertanian yang dihadapkan pada decreasing returns in production karena dibatasi oleh ketersediaan lahan selama ini kurang mendapat perhatian yang serius dari pemerintah, maka dapat dibayangkan semakin rendahnya produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian pada masa-masa krisis tersebut. Keadaan ini makin diperburuk dengan adanya kecenderungan penurunan ketersediaan lahan sebagai akibat terjadinya alih fungsi (konversi) lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian (untuk keperluan manufaktur dan perumahan). Untuk itu diperlukan peran pemerintah yang berpihak pada pertanian dengan tetap menopang tumbuhnya gairah investasi swasta untuk dapat mulai menampung tenaga kerja yang berlebihan dari sektor pertanian.
Kaitan Pembangunan Pertanian dan Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi ada dua bentuk: extensively yaitu dengan penggunaan banyak sumberdaya (seperti fisik, manusia atau natural capital) atau intensively yaitu dengan penggunaan sejumlah sumberdaya yang lebih efisien (lebih produktif). Ketika pertumbuhan ekonomi dicapai dengan menggunakan banyak tenaga kerja, hal tersebut tidak menghasilkan pertumbuhan pendapatan per kapita. Namun ketika pertumbuhan ekonomi dicapai melalui penggunaan sumberdaya yang lebih produktif, termasuk tenaga kerja, hal tersebut menghasilkan pendapatan per kapita yang lebih tinggi dan meningkatkan standar hidup rata-rata masyarakat. Indonesia memasuki tahun 1998 dalam kondisi ekonomi yang sulit dan inflasi yang melambung menjadi 11,05. Pergantian kepala pemerintahan dari Suharto ke B.J.
Habibie, pada tanggal 21 Mei 1998 tidak cukup kuat menahan jatuhnya rupiah. Di tahun tersebut rupiah mengalami depresiasi hampir 80 % dan inflasi melonjak menjadi 77.63%. Kondisi ini mengakibatkan hampir seluruh kegiatan ekonomi terhenti dan laju pertumbuhan ekonomi berada pada –13,13%. Salah satu sektor produksi yang mengalami kemerosotan paling dalam adalah industri pengolahan, yang sebelumnya dijadikan andalan ekspor nonmigas yang memiliki laju pertumbuhan per tahun sedikitnya 10%. Penyebab merosotnya industri pengolahan adalah rendahnya kemampuan belanja masyarakat dan kegiatan ekonomi yang lesu yang akhirnya mengakibatkan permintaan terhadap hasil produk ini berkurang. Disamping itu tingginya suku bunga pinjaman, dana kredit dari perbankan nasional yang terbatas dan harga bahan baku impor yang melonjak tinggi akibat dari rendahnya nilai rupiah serta penolakan bank-bank luar negeri terhadap surat pemberitahuan kredit dari bank nasional
menghambat kegiatan industri. Pada akhirnya banyak perusahan yang harus tutup usaha dan mengakibatkan tingginya angka pemutusan hubungan kerja. Kondisi ini
mengakibatkan sebagian besar masyarakat kehilangan pekerjaan dan pendapatan serta secara langsung meningkatkan jumlah penduduk miskin yang tidak mampu menjangkau kebutuhan pokoknya. Pada saat krisis, sumbangan sektor pertanian terhadap PDB mengalami peningkatan paling besar dibanding sektor lainnya. Dari segi penyerapan tenaga kerja, pada tahun 2003 sektor pertanian mampu menyerap sekitar 46 persen, paling tinggi di antara sektor-sektor lain. Kesemua upaya dalam membangun pertanian dalam menggerakkan sektor lainnya dan peran pemerintah yang pada akhirnya secara bersama-sama mampu menjadi penggerak dalam pertumbuhan ekonomi, digambarkan secara baik oleh Yudhoyono (2004) dalam disertasinya dengan menggunakan Model Ekonomi-Politik Perekonomian Indonesia. Dari hasil simulasi terhadap kebijakan yang dilakukan (melalui kebijakan fiskal) terkait dengan masalah pertanian, diperoleh hasil bahwa peningkatan pengeluaran pemerintah untuk pertanian sebesar 15% akan meningkatkan PDB, kemudian direspon dengan peningkatan permintaan tenaga kerja sehingga proporsibpengangguran dapat ditekan sebesar 4,9%. Pada giliriannya peningkatan PDB dan pengurangan pengangguran ini akan menurunkan angka kemiskinan baik di perkotaan maupun di perdesaan. Kedepan diperlukan investasi yang serentak di sektor pertanian dan sektor industri dalam perekonomian. Untuk pertumbuhan berimbang dapat digambarkan dengan model perekonomian dual (The dual economy model) yang dikemukakan Fei dan Ranis (Hayami, 2001).
Suatu strategi pertumbuhan ekonomi yang dimotori oleh sektor pertanian dan lapangan kerja menurut Mellor (1987) mempunyai tiga unsur. Pertama, laju pertumbuhan pertanian harus dipercepat meskipun luas tanah yang tersedia tetap. Dengan perubahan teknologi dalam pertanian maka masalah tersebut akan dapat diatasi. Kedua, permintaan domestik akan hasil pertanian harus tumbuh cepat meskipun permintaan itu tidak elastis. Ketiga, permintaan akan barang dan jasa yang ditimbulkan oleh proses-proses padat modal yang masih rendah harus dinaikkan. Ketiga unsur dimaksud secara terus menerus akan saling berinteraksi dan bersinergi sehingga strategi pertumbuhan ekonomi yang didasarkan pada pertanian akan mencapai tujuan dan sasarannya. Kombinasi skenario kebijakan yang dikemukakan Yudhoyono (2004) dalam disertasinya selalu menunjukkan angka penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian yang relatif kecil dibandingkan sektor lainnya, hal ini diberikan alasan karena sektor pertanian saat ini telah menyerap tenaga kerja melebihi kapasitasnya (relatif sudah tinggi, yaitu sekitar 46% dari total tenaga kerja) sehingga peningkatan tenaga kerja yang besar ke sektor pertanian akan semakin menurunkan produktivitas tenaga kerja di sektor
pertanian. Berdasarkan analisis yang ada ditunjukkan bahwa peningkatan PDB sektor pertanian, tentunya melalui pembangunan pertanian, sebesar 7% akan mendorong peningkatan PDB sektor lainnya sebesar 7,6% dan mendorong peningkatan total PDB sebesar 7,4%. Dari hasil tersebut dapat dinyatakan bawa sektor pertanian mampu mendorong pertumbuhan sektor-sektor lainnya secara significant. Oleh karena itu tidak berlebihan bila saat ini kita menjadikan Sektor Pertanian sebagai Basis Pertumbuhan Ekonomi. Dan untuk itu semua diperlukan kemauan politik, khususnya peran pemerintah, yang memposisikan sektor pertanian menjasi sektor andalan. Petani dan Pertanian dalam menghadapai Globalisasi Dengan diratifikasinya beberapa kesepakatan internasional (GATT/WTO) dan regional (APEC, AFTA, MEE, NAFTA) serta blok-blok lainnya, maka pasar di dalam negeri terintegrasi kuat dengan pasar regional/internasional. Setiap negara mempunyai kesempatan untuk perluasan akses pasar (market access), pengurangan dukungan
domestik (domestic support) yang dapat mendistorsi pasar dan pengurangan subsidi ekspor (export subsidy). Beberapa implikasi dari dinamika lingkungan internasional tersebut, adalah: (i) Setiap negara harus meningkatkan dayasaing produknya agar dapat berperan dalam perdagangan dunia,
(ii) Dengan terbukanya informasi yang didorong oleh revolusi transportasi dan telekomunikasi menyebabkan kebijakan yang bersifat distorsi seperti kebijakan stabilisasi harga semakin sulit dilaksanakan pemerintah, karena dinamika harga internasional akan secara cepat langsung mempengaruhi kebijakan dalam negeri, (iii) Globalisasi akan mempengaruhi pola konsumsi masyarakat dalam hal keragaman, mutu dan keamanan produk pangan. Permintaan akan berubah dari komoditas ke produk dengan memperhatikan aspek keamanan dan kesehatan produk, (iv) Meningkatnya kepedulian terhadap kelestarian lingkungan telah mempengaruhi pasar produk pertanian, sehingga proses produksi pertanian harus didasarkan pada kaidah-kaidah konservasi sumberdaya alam, dan (v) Peningkatan kepedulian juga terjadi pada aspek hak asasi manusia (HAM) dan gender serta perlindungan hak atas kekayaan intelektual (HAKI) dan merek dagang. Tantangan pembangunan pertanian dilingkungan domestik berkaitan dengan pendayagunaan sumberdaya pertanian secara berkelanjutan, peningkatan effisiensi dan dayasaing produk pertanian; pelaksanaan good governance dan penerapan otonomi daerah.

Permintaan terhadap produk pertanian terus meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk dan peningkatan kesejahteraannya, sementara dari sisi penyediaannya (supply) dihadapkan kelangkaan sumberdaya lahan dan air. Meningkatnya penduduk dan sektor di luar pertanian telah meningkatkan permintaan akan lahan dan air yang berakibat terjadinya konversi lahan pertanian produktif dan degradasi sumberdaya lahan dan air. Pada bagian usaha pertanian sebagian besar dilakukan oleh petani gurem yang mempunyai skala pengusahaan yang sangat kecil. Kondisi ini menyulitkan upaya peningkatan efisiensi usaha agribisnis. Keberhasilan pembangunan pertanian juga dihadapkan kepada kendala masih besarnya ketergantungan terhadap iklim. Soekartawi (2004) mengemukakan delapan aspek yang perlu diantisipasi pada era global sekarang ini dan masa mendatang khususnya dalam bidang pertanian, yaitu:
1. Pentingnya penguasaan teknologi dan informasi.
Aspek ini berjalan begitu cepat dan pengaruhnya dapat dilihat di berbagai segi kehidupan. Oleh karena itu, sektor pertanian perlu dibangun dengan memanfaatkan teknologi (dan informasi) guna menuju pertanian modern. Berhubung pertanian Indonesia sifatnya adalah dual yang diciptakan oleh Belanda di jaman kolonialisme dahulu maka pertanian di Indonesia bisa dicirikan menjadi pertanian skala besar (modern) seperti perkebunan dan pertanian skala kecil yang dicirikan oleh pertanian konvensional atau pertanian rakyat. Perbedaan pertanian skala sempit (konvensional) dan skala besar (modern) disajikan di Tabel 2.
2. Meningkatnya jumlah key players di sektor pertanian.
Hal ini mengakibatkan sektor pertanian bukan menjadi sektor yang ditangani oleh Departemen Pertanian tetapi oleh banyak Departemen, seperti Departemen Perdagangan, Pekerjaan Umum, Perhubungan, dan Keuangan. Disini diperlukan koordinasi yang baik di antara lembaga tersebut. Di tingkat bawah juga demikian. Urusan pertanian bukan hanya menjadi urusan petani saja tetapi juga memerlukan partisipasi pedagang, Pemerintah Daerah, instansi yang menyalurkan sarana produksi, yang mengatur irigasi, yang membeli produk pertanian. Dengan makin majunya teknologi dan informasi dan makin modernnya sektor pertanian maka dinamika koordinasi/kerjasama antar lembaga dan produsen menjadi faktor kritis.
3. Meningkatnya perubahan preferensi konsumen pada produk-produk pertanian.
Perubahaan preferensi konsumen perlu diantisipasi secara cepat. Dahulu, Konsumen dahulu menyenangi buah-buahan yang manis, kini mereka menyukai buah-buahan yang kurang manis. Contoh lain, konsumen di dalam negeri yang berpendapatan relatif tinggi cenderung mengkonsumsi buah-buahan impor.
4. Perubahan harga yang cepat karena munculnya key players baru di perdagangan
produk-produk pertanian.
Kini banyak negara yang dahulu kurang tertarik mengembangkan sektor pertanian mulai melirik sektor pertanian untuk meningkatkan product domestic bruto (PDB) nya. Misalnya, Vietnam dan China kini, menjadi menjadi aktor perdagangan produk pertanian yang berkembang pesat di Asia. Vietnam menjadi negara pengekspor beras dan ikan, China negara pengekspor the, Australia memproduksi dan mengekspor produk merupakan pertanian tropis seperti mangga, dan nanas.
5. Meningkatnya kesadaran kesehatan menyebabkan perubahan kualitas produk pertanian.
Dengan semakin sadarnya konsumen akan aspek kesehatan maka produk pertanian harus bisa mengantisipasi dan menyesuaikan dengan perubahan preferensi konsumen ini. Karena faktor kesehatan ini maka produk pertanian yang bebas pestisida kini banyak diminati konsumen walaupun harganya relatif mahal.
6. Perubahan iklim yang kini mulai sulit diprediksi.
7. Pembiayaan usahatani yang sudah terlanjur mahal karena ekonomi biaya tinggi.
8. Menyempitnya lahan pertanian.
Di Indonesia, lahan pertanian semakin lama semakin sempit. Oleh karena itu pemerintah membuat program pencetakan sawah dan membuka lahan pertanian baru. Walaupun demikian, karena jumlah penduduk yang berjalan melebihi kecepatan pembukaan lahan pertanian baru maka tetap saja luas lahan pertanian menjadi sempit. Di sisi lain, pulau Jawa yang luas daratannya yang hanya sekitar 7% dari total luas Indonesia, dapat menghasilkan 60% lebih kebutuhan pangan, khususnya beras. Jumlah petani kecil (petani yang menguasai kurang dari 0,5 ha) menjadi semakin bertambah. Selama dekade 1990-an jumlah petani gurem yang mengusahakan lahan <0,5 ha meningkat dengan laju 1,5 % dan jumlah buruh tani meningkat dengan laju hampir 5,0 % per tahun. Di lain pihak, 5 perusahaan perkebunan swasta besar menguasai lebih dari satu juta ha lahan perkebunan. Semua nilai tambah jatuh pada perusahaan besar di Jakarta, sedangkan masyarakat lainnya di daerah hanya menerima UMR dan pemerintah daerah menerima PBB yang sangat rendah. Kebijakan ini merupakan kesalahan strategi pembangunan, yang harus diubah dengan memberikan penguasaan dan pengelolaan sumberdaya domestik pada petani dan masyarakat pedesaan secara berkeadilan. Pertumbuhan pertanian mulai menurun yang mencapai puncaknya ketika impor beras menjadi 6 juta ton tahun 1998 (25 % beras yang ada di pasar dunia) terbesar dalam sejarah.
Dari kenyataan ini dan bila dihubungkan dengan dengan tiga variabel untuk mampu berkompetisi di pasar global (kualitas sumberdaya, penguasaan teknologi, dan penguasaan manajemen) maka kesiapan petani kita di era global memang relatif berat. Oleh karena itu diperlukan kebijakan atau upaya yang memihak kepada petani agar mampu meningkatkan daya kompetisi untuk meningkatkan produktivitas pertanian.
Implikasi Kebijakan
Mengingat peran sektor pertanian masih menjadi andalan sebagain besar penduduk Indonesia dan terbukti tidak hanya mampu menahan badai krisis ekonomi tetapai juga dapat menyerap limpahan tenaga kerja yang tidak tertampung diluar sektor
pertanian, mendorong munculnya kesempatan berusaha untuk sektor yang lain (penyedia material untuk industri non-pertanian), dan juga penghasil devisa dari hasil ekspor. Seiring dengan terjadinya transformasi struktural maka sektor pertanian perlu dibangun dengan menyesuaikan perubahan struktural tersebut. Perubahan struktural ini, antara lain perubahan pembuat kebijakan sektor pertanian sehubungan dengan otonomi daerah, pangsa sektor pertanian terhadap PDB yang terus menurun, penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian yang selalu lebih rendah dari kenaikan produksi rata-rata (marginal produktivitas tenaga kerja yang semakin mendekati angka 0), keterkaitan sektor pertanian dan sektor ekonomi lain yang semakin tinggi, ketergantungan pangan yang sebagian besar (60%) ada di Jawa dengan luas tanah hanya 7% dari luas Indonesia sementara lahan di Jawa tidak mungkin bertambah luas lahan pertaniannya, penghasil devisa di sektor pertanian untuk beberapa produk perkebunan dan perubahan preferensi konsumsi masyarakat yang begitu cepat. Selanjutnya, kemampuan menguasai teknologi dan informasi diperlukan untuk mengantisipasi pertanian masa depan khususnya setelah diberlakukannya AFTA dan WTO. Tujuannya agar produk pertanian kita mampu berkompetisi di pasar global. Untuk itu pertanian yang masih dicirikan dengan lahan yang sempit pengelolaannya harus diarahkan dengan mengikuti cara modern. Jenis tanamannya dipilih tanaman yang produksinya mempunyai nilai tambah yang tinggi dan mempunyai prospek pasar. Ketergantungan struktural perlu dikurangi, antara lain dengan mengarahkan pembangunan pertanian ke luar Jawa, oriensi ekspor tidak pada negara tertentu saja, dan melebarkan atau meningkatkan produk yang mempunyai elastisitas permintaan tinggi. Upaya membangun pertanian berdasarkan produk unggulan terpadu yang pernah dicoba perlu digali dan diteruskan untuk mencari produk yang mempunyai elastisitas permintaan tinggi. Sementara itu, aspek manajerial diperlukan bukan saja untuk membina petani tetapi juga para pelaku pembangunan pertanian yang lain. Aspek koordinasi, pembinaan kelembagaan di pedesaan seperti kelembagaan keuangan Bank atau Non-Bank, penyuluh pertanian, penyalur sarana produksi, dan koperasi perlu ditingkatkan. Menciptakan petani yang mempunyai kemampuan manajerial yang tinggi atau petani yang mempunyai enterpreneurship (jiwa wiraswasta) perlu terus dikembangkan agar mereka mampu menggerakkan pembangunan pertanian di berbagai tempat. Sayangnya, produsen atau utamanya petani kita sebagian besar (79,7%) adalah tamat atau tidak tamat Sekolah Dasar. Dengan demikian diperlukan kebijakan yang selalu memihak pada kepentingan petani tetapi tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang telah disepakati dalam perjanjian WTO.

Dalam mengatasi masalah lahan pertanian, kedepan semakin diperlukan langkah komprehensif untuk menjamin ketersediaan lahan pertanian dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional. Hal ini mengingat, saat ini yang terjadi bukan perluasan areal tetapi justru pengurangan (konversi lahan pertanian produktif untuk nonpertanian sekitar 187.720 hektar per tahun, sekitar 30%-nya berada di pulau Jawa). Dari seluruh areal sawah yang ada saat ini yaitu sekitar 8,9 juta hektar dimana 42,9 persen diantaranya berada di pulau Jawa, pulau Bali 2,1 persen, di pulau Sumatera 22,4 persen, pulau Sulawesi 11,1 persen, Nusa Tenggara dan Maluku 6,4 persen, pulau Kalimantan 14,0 persen dan Papua 0,32 persen. Dengan memperhatikan daya dukung lahan dan produktivitas lahan di Jawa yang semakin menurun, maka perluasan areal pertanian di luar Jawa, khusunya wilayah Sumatera dan Kawasan Timur Indonesia merupakan suat upaya yang bijak untuk segera dilaksanakan dengan didukung oleh insentif yang menarik, baik berupa jaringan infrastruktur yang memadai maupun insentif bagi para pelaku usaha tani di areal pertanian yang baru dibuka. Pada akhirnya keberhasilan pembangunan pertanian akan sangat tergantung dari komitmen seluruh stakeholders dan pihak-pihak yang terkait dalam pembangunan pertanian.

KESIMPULAN

Pembangunan pertanian dapat didefinisikan sebagai suatu proses perubahan sosial. Implementasinya tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan status dan kesejahteraan petani semata, tetapi sekaligus juga dimaksudkan untuk mengembangkan potensi sumberdaya manusia baik secara ekonomi, sosial, politik, budaya, lingkungan, maupun melalui perbaikan (improvement), pertumbuhan (growth) dan perubahan (change) (Iqbal dan Sudaryanto, 2008).

Pentingnya peran sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi suatu negara juga dikemukakan oleh Meier (1995) sebagai berikut: (1) dengan mensuplai makanan pokok dan bahan baku bagi sektor lain dalam ekonomi yang berkembang, (2) dengan menyediakan surplus yang dapat diinvestasikan dari tabungan dan pajak untuk mendukung investasi pada sektor lain yang berkembang, (3) dengan membeli barang konsumsi dari sektor lain, sehingga akan meningkatkan permintaan dari penduduk perdesaan untuk produk dari sektor yang berkembang, dan (4) dengan menghapuskan kendala devisa melalui penerimaan devisa dengan ekspor atau dengan menabung devisa melalui substitusi impor

Peran penting sektor pertanian telah terbukti dari keberhasilan sektor pertanian pada saat krisis ekonomi dalam menyediakan kebutuhan pangan pokok dalam jumlah yang memadai dan tingkat pertumbuhannya yang positif dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Keadaan ini menjadi pertimbangan utama dirumuskannya kebijakan yang memiliki keberpihakan terhadap sektor pertanian dalam memperluas lapangan kerja, menghapus kemiskinan dan mendorong pembangunan ekonomi yang lebih luas (Sudaryanto dan Munif, 2005). Secara lebih rinci, beberapa pertimbangan tentang pentingnya mengakselerasi sektor pertanian di Indonesia dikemukakan oleh Simatupang (1997) sebagai berikut:
1. Sektor pertanian masih tetap sebagai penyerap tenaga kerja, sehingga akselerasi pembangunan sektor pertanian akan membantu mengatasi masalah pengangguran.
2. Sektor pertanian merupakan penopang utama perekonomian desa dimana sebagian besar penduduk berada. Oleh karena itu, akselerasi pembangunan pertanian paling tepat untuk mendorong perekonomian desa dalam rangka meningkatkan pendapatan sebagian besar penduduk Indonesia dan sekaligus pengentasan kemiskinan.
3. Sektor pertanian sebagai penghasil makanan pokok penduduk, sehingga dengan akselerasi pembangunan pertanian maka penyediaan pangan dapat terjamin. Langkah ini penting untuk mengurangi ketergantungan pangan pada pasar dunia.

4. Harga produk pertanian memiliki bobot yang besar dalam indeks harga konsumen, sehingga dinamikanya amat berpengaruh terhadap laju inflasi. Oleh karena itu, akselerasi pembangunan pertanian akan membantu menjaga stabilitas perekonomian Indonesia.
5. Akselerasi pembangunan pertanian sangatlah penting dalam rangka mendorong ekspor dan mengurangi impor produk pertanian, sehingga dalam hal ini dapat membantu menjaga keseimbangan neraca pembayaran.
6. Akselerasi pembangunan pertanian mampu meningkatkan kinerja sektor industri. Hal ini karena terdapat keterkaitan yang erat antara sektor pertanian dengan sektor industri yang meliputi keterkaitan produk, konsumsi dan investasi.


Terdapat beberapa alasan mengapa sektor pertanian yang kuat sangat esensial dalam suatu proses industrialisasi pertanian. Beberapa alasan tersebut antara lain sebagai berikut (Tambunan, 2001):
1. Sektor pertanian yang kuat berarti ketahanan pangan terjamin dan ini merupakan salah satu prasyarat penting agar proses industrialisasi pertanian pada khususnya dan pembangunan ekonomi pada umumnya bisa berlangsung dengan baik. Ketahanan pangan berarti tidak ada kelaparan dan ini menjamin kestabilan sosial dan politik.
2. Dari sisi permintaan agregat, pembangunan sektor pertanian yang kuat membuat tingkat pendapatan riil per kapita di sektor tersebut tinggi yang merupakan salah satu sumber permintaan terhadap barang-barang nonfood, khususnya manufaktur (keterkaitan konsumsi atau pendapatan). Khususnya di Indonesia, dimana sebagian besar penduduk berada di perdesaan dan mempunyai sumber pendapatan langsung maupun tidak langsung dari kegiatan
pertanian, jelas sektor ini merupakan motor utama penggerak industrialisasi.Selain melalui keterkaitan pendapatan, sektor pertanian juga berfungsi sebagai sumber pertumbuhan di sektor industri manufaktur melalui intermediate demand effect atau keterkaitan produksi: output dari industri menjadi input bagi pertanian.
3. Dari sisi penawaran, sektor pertanian merupakan salah satu sumber input bagi sektor industri pertanian yang mana Indonesia memiliki keunggulan komparatif, misalnya industri makanan dan minuman, industri tekstil dan pakaian jadi, industri kulit, dan sebagainya.
4. Masih dari sisi penawaran, pembangunan yang baik di sektor pertanian bisa menghasilkan surplus di sektor tersebut dan ini bisa menjadi sumber investasi di sektor industri, khususnya industri skala kecil di perdesaan (keterkaitan investasi).

2 komentar: