photo IKLAN_zps0bd7cdbd.png

Rabu, 19 Juni 2013

Studi Kasus Komunikasi Antar Budaya (KAB) dalam Agribisnis

Perbedaan Budaya dan Adaptasi Antarbudaya dalam Relasi Kemitraan Inti-Plasma
(Studi Kasus Proyek PIR Lokal Teh Tapanuli Utara)
Proses penyuluhan pembangunan, acapkali mengalami kekurang­berhasilan hanya disebabkan oleh adanya hambatan perbedaan budaya di antara kelompok sosiologis. Salah satu contoh ketidakberhasilan itu adalah yang terjadi di dalam hubungan kemitraan antara perkebunan besar dan petani kecil. Perkebunan besar dan petani kecil merupakan dua kelompok sosiologis yang memiliki karakterististik sangat berbeda. Perbedaan ini merupakan realitas dari kehidupan ekonomi dualistik dalam sistem perke­bunan di Indonesia. Kelompok yang satu berorientasi pada kapitalisme modern, sementara kelompok lainnya berciri pra kapitalisme tradisional.
Munculnya sistem pembangunan perkebunan dengan pola Perkebunan Inti-Rakyat (PIR) pada tahun 1978/1979, merupakan upaya memadukan perkebunan besar dengan petani kecil dalam suatu proses produksi dengan analogi hubungan inti-plasma. Dalam perkembangannya, bentuk relasi kedua pihak tersebut adalah berupa relasi kemitraan antara perusahaan inti dan petani plasma. Kemitraan dirumuskan sebagai relasi kolaborasi antara dua pihak atau lebih yang dilakukan dalam sistem yang utuh untuk mencapai keuntungan bersama. Menurut Martodireso & Widodo (2002:11), relasi kemitraan dalam usaha pertanian harus didasari oleh sikap saling percaya, saling membutuhkan, saling menguntungkan, dan saling memperkuat. Dalam relasi kemitraan, harus ada proses pembinaan dan pengembangan yang berkelanjutan dari pengusaha besar terhadap mitranya yang tergolong pengusaha kecil (Sumardjo, 2004:16)
Martodireso & Widodo (2002:17), mengungkapkan perlunya para pelaku kemitraan membangun relasi sosial yang baik, seperti komunikasi interaktif, saling memberdayakan, dan tidak saling memaksa. Menurut Suroso (1994:14), dalam perkembangannya, ada masalah yang menghambat harmoni relasi tersebut. Relasi antara perusahaan inti dan petani plasma kurang harmonis karena perbedaan pola pikir, sikap, dan perilaku yang memunculkan masalah operasional. Ini menunjukkan bahwa komunikasi sebagai aktivitas simbolik tidak diikuti oleh keakuratan persepsi atas pesan kedua belah pihak. Ketidakakuratan persepsi ini disebabkan karena perusahaan inti dan petani plasma adalah dua komunitas yang memiliki perbedaan budaya.
Dalam pelaksanaan Proyek PIR Lokal Teh Tapanuli Utara terdapat masalah yang terkait dengan aspek pemeliharaan tanaman teh. Pemeliharaan tanaman teh tidak intensif karena kendala budaya penduduk setempat. Menurut Wibowo dan Dharmadi (1999:48), dalam memelihara tanaman teh secara intensif dibutuhkan tenaga kerja yang setiap hari dapat melakukan pekerjaan tersebut, tetapi kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi karena penduduk setempat terikat dengan tradisi berkumpul untuk menjalankan ritual-ritual adat. Demikian pula di Jawa Tengah, pelaksanaan Proyek PIR Lokal Teh menemui masalah yang terkait dengan tradisi penduduk setempat. Pada saat syawalan, pasokan pucuk the berkurang karena petani tidak memetik, namun setelah syawalan usai pasokan berlimpah. Akibatnya terjadi ketidaksesuaian antara kapasitas produksi pabrik dan pasokan. Keadaan ini menunjukkan bahwa aspek kegiatan industri tidak diperhatikan oleh petani.
Dalam pada itu, permasalahan yang ada pada pelaksanaan PIR Lokal Teh di Jawa Barat adalah masalah yang terkait dengan proses pembelian pucuk teh, yaitu masalah penimbangan dan pengukuran analisis pucuk teh, serta masalah penjualan pucuk teh oleh petani plasma ke luar perusahaan inti. Dalam masalah penimbangan, perusahaan sering meragukan bobot timbangan petani yang tidak akurat dalam menimbang pucuk teh. Sementara dalam pengukuran analisis pucuk teh banyak ditemukan pucuk-pucuk kasar yang dijual oleh petani, padahal perusahaan inti menghendaki pucuk teh yang halus untuk menghasilkan teh yang berkualitas bagus. Hal ini berbeda ketika petani menjual pucuk teh ke luar perusahaan inti, pihak luar tidak terlalu menekankan kualitas pucuk teh yang dijual kepadanya. Penjualan pucuk teh ke luar perusahaan dipandang tidak memenuhi kesepakatan penjualan produk yang mengharuskan petani hanya menjual produknya ke perusahaan inti (Bachriadi, 1995:137).
Dari hasil penelitian Hamidah dan Widodo (2003:88) ditemukan bahwa penjualan pucuk teh ke luar perusahaan inti disebabkan petani ingin secepatnya mendapatkan uang. Bahkan hal ini sering dipenuhi dengan sistem ijon, yakni dengan mendapat pinjaman uang di muka sebelum pucuk teh dapat dipetik. Namun disebabkan pihak luar tersebut membeli pucuk teh dengan cara insidental, yakni hanya membeli ketika membutuhkan pasokan untuk produksi teh pabriknya, maka pihak inipun tak dapat diandalkan petani untuk keamanan hidupnya. Oleh karena itu tidak ada jaminan kepastian dari pihak luar bagi keajegan pemasaran produk pucuk teh petani. Dari tulisan Wibowo dan Dharmadi (1999:42) dapat dikemukakan bahwa karena penjualan pucuk the ke luar perusahaan inti tanpa disertai pengendalian kualitas produk, maka kualitas pucuk the yang dihasilkan petani semakin rendah. Petani hanya mengejar kuantitas pucuk teh tanpa memperhatikan kualitasnya. Rendahnya kualitas pucuk teh juga disebabkan oleh makin merosotnya harga pucuk teh yang diberikan oleh perusahaan inti. Hal ini seperti yang terjadi di PIR-Lokal Teh Jawa Tengah. Pada mulanya harga the adalah RP. 650,- per kilogram untuk kategori kualitas pucuk teh rata-rata atau klas B.
Harga ini merupakan harga standar yang ditentukan oleh tiga komponen kemitraan, yakni perusahaan inti, petani plasma, dan pemerintah melalui Forum Musyawarah Produksi Pemasaran Teh (FMPPT). Namun karena jatuhnya harga teh di pasar internasional, maka terjadi perubahan harga pucuk teh menjadi Rp 500,- per kilogram. Harga ini ditentukan tanpa melalui FMPPT. Dalam pandangan petani, harga sebesar itu tidak cukup untuk membeli pupuk dan merawat tanaman teh. Padahal tanpa perawatan yang memadai, kualitas pucuk akan kian menurun. Demikian pula dengan produktivitas lahan. Keadaan ini diperparah dengan ciri upland plantation yang menghadapkan petani pada keterbatasan waktu dan tenaga kerja. Selain masalah tersebut, terungkap permasalahan yang ada pada pelaksanaan pola PIR Teh di Jawa Tengah, yaitu berupa masalah tidak dipisahkannya usaha tanaman teh petani dengan usaha tani lainnya. Selain mengusahakan tanaman teh, petani juga mengusahakan tanaman pangan. Permasalahan ini terkait dengan budaya ekonomi petani upland yang mengharuskannya melakukan kombinasi usahatani agar bisa survive dalam kehidupannya (Soedjono dan Hardiman, 1999:65).
Perbedaan pola pikir, sikap, dan perilaku tersebut menjadi suatu pertanda bahwa sebagai aktivitas simbolik, komunikasi antara perusahaan inti dan petani ditandai oleh ketidakakuratan persepsi atas pesan-pesan yang disampaikan. Masing-masing pihak dalam perspektifnya. Hal ini karena mereka dikondisikan untuk berkomunikasi sesuai cara pandang kelompoknya. Selain itu perbedaan yang tajam dalam kerangka pengalaman dan bahasa dari masing-masing pihak menyebabkan komunikasi tidak efektif. Selain itu, komunikasi yang tidak efektif juga karena adanya perbedaan dalam gaya berkomunikasi.
Dengan menggunakan cara pandang moral ekonomi dari James C. Scott (1981), petani plasma berbudaya peasant, sedangkan perusahaan inti dapat digolongkan ke dalam budaya farmer. Budaya peasant ditunjukkan oleh pertama, perilaku petani menjual pucuk teh ke luar perusahaan inti. Kedua, perilaku petani tidak mengadopsi secara serta merta teknologi yang dialihkan dari pihak perusahaan inti, dan ketiga, sikap petani yang mendahulukan kegiatan tradisi sosial budaya komunitasnya. Perilaku tersebut merefleksikan budaya petani yang disebut safety first (dahulukan selamat) dan pola piker subsisten yang berlandas pada etika subsistensi. Untuk keselamatan diri dan keluarganya, petani menjual pucuk teh ke luar inti. Sementara itu dengan pola pikir subsisten, petani mengusahakan tanaman, seperti padi dan jagung yang hasilnya untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Petani tidak memiliki orientasi pada surplus produksi untuk dijual secara komersial. Etika subsistensi juga membawa petani untuk mementingkan komunitasnya.
Hal ini dilandasi pemikiran bahwa komunitas adalah pihak awal yang akan menyelamatkan kehidupan petani dan keluarganya dari setiap risiko yang mengancam subsistensi mereka. Dengan orientasi safety first dan etika subsistensi, petani dapat mengabaikan komitmen kerjasama atau kemitraannya dengan perusahaan inti. Dalam pada itu farmer adalah petani komersial dengan budaya industri. Petani ini diperlukan dalam agroindustri atau agribisnis pada umumnya. Dengan mengambil ciri-ciri masyarakat berbudaya industrial, maka ciri-ciri farmer adalah pertama, rasional dan kreatif dalam memandang berbagai fenomena yang ada di alam sekitarnya. Kedua, memiliki komitmen yang tinggi dalam menyelesaikan masalah dengan tuntas. Ketiga, memiliki ketaatan yang tinggi pada hukum (Soetrisno, 1995:160). Peasant dapat digolongkan pula sebagai petani pra-industri. Dalam meningkatkan peran pertanian di Indonesia, petani pra-industri perlu ditransformasikan menjadi farmer. Petani farmer dalam kerangka ini memiliki peran penting dalam membawa petani praindustri menjadi petani yang berbudaya industri.
Perbedaan budaya antara perusahaan inti dan petani plasma menyebabkan studi atas jalinan komunikasi di antara dua pihak tersebut menarik dilakukan. Dalam konteks kemitraan inti-plasma, studi ini dapat memperkaya berbagai penelitian tentang relasi intiplasma.

Analisis :
Berdasarkan pada kasus diatas terdapat relasi kemitraan antara perusahaan inti dan petani plasma.  Dalam kasus tersebut relasi antara perusahaan inti dan petani plasma kurang harmonis karena perbedaan pola pikir, sikap, dan perilaku yang memunculkan masalah operasional. Ini menunjukkan bahwa komunikasi sebagai aktivitas simbolik tidak diikuti oleh keakuratan persepsi atas pesan kedua belah pihak. Ketidakakuratan persepsi ini disebabkan karena perusahaan inti dan petani plasma adalah dua komunitas yang memiliki perbedaan budaya.
Perbedaan budaya di antara komunitas perusahaan inti dan komunitas petani plasma dijelaskan dengan bertolak dari adanya pergulatan di antara dua prinsip yang disebut sebagai perekonomian dualistik. Pergulatan ini berakar dari pertentangan antara kapitalisme barat yang modern dan tradisi pra-kapitalis. Kapitalisme barat yang modern, muda, dan agresif yang dibangun di kota besar berhadapan dengan tradisi pra-kapitalis yang tua yang berada di pedesaan (Boeke, 1983:11).
Menurut Boeke (1983:11), dalam situasi dualistik terdapat dua karakteristik yang berbeda dalam konteks sosial ekonomi. Satu sisi merupakan golongan masyarakat yang memiliki ikatan sosial asli dan organis, sistem kesukuan tradisional, kebutuhan yang sifatnya terbatas dan bersahaja, serta prinsip produksi pertanian yang sifatnya subsisten. Sisi lainnya adalah masyarakat yang berorientasi keuntungan, bersaing usaha yang terorganisasikan, profesional, bertumpu pada kapitalisasi dan industri mekanis, serta memandang rendah dorongan atau motif ekonomi yang dikaitkan dengan motif sosial, etika, adat, tradisi, suku, agama, dan sebagainya. Dalam kehidupan pertanian, kapitalisme diasosiasikan dengan farmer yang berciri kota, sementara prakapitalisme diasosiasikan dengan peasant yang berciri desa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar