photo IKLAN_zps0bd7cdbd.png

Rabu, 19 Juni 2013

Model Penyuluhan Pertanian yang dilakukan di Indonesia

1.      Sistem Kerja Laku
            Sistim kerja LAKU mulai dilaksanakan pada tahun 1979 yang diintrodusir oleh proyek NFCEP (National Food Crops Extension Project) atau proyek Penu\yuluhan Pertanian Tanaman Pangan Nasional, kemudian dilanjutkan oleh Proyek NAEP (National Agricultural Extension Project) atau proyek Penyuluhan Pertanian Nasional tahap I dan II sampai dengan 1992.
            Sistim kerja LAKU mempunyai organisasi hierarkhis penyuluhan pertanian yang jelas, dimana seorang PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) akan mengunjungi 16 Wikel (wilayah kelompok) secara teratur dan berkesinambungan dengan jadwal kunjungan dua minggu sekali. Dengan melakukan kunjungan ini seorang PPL diharapkan dapat melayani 20orang kontak tani dan petani maju. Selanjutnya setiap kontak tani dan petani maju dari setiap Wikel tersebut akan menyampaikan informasi yang diterimanya dari PPL kepada masing-masing 5 orang petani melalui kelompok domisili. Sehingga secara keseluruhan seorang PPL akan dapat melayani 1.600 keluarga tani.
            Selanjutnya PPL di WKBPP (Wilayah Kerja Balai Penyuluhan Pertanian) sebanyak 10 – 20 orang akan di supervisi oleh seorang PPM (Penyuluh Pertanian Madya) Supervisor. Di samping tu di setiap BPP akan ada seorang PPM Programer yang tugasnya  menyusun programa Penyuluhan Pertanian WKBPP dan melaksanakan pelatihan PPL di BPP dua minggu sekali.
            Di setiap propinsi ada PPS (Penyuluh Pertanian Spesialis) yang akan menjadi manajer penyuluhan pertanian untuk wilayah propinsi. Dan di setiap Karesidenan ada seorang PPS yang menjadi manajer penyuluhan pertanian untuk wilayah karesidenan. Ia bertanggungjawab kepada PPS Provinsi.
            Di setiap kabupaten ada beberapa orang PPS sesuai dengan spesialisasi yang dominan di kabupaten tersebut, dan bertugas membantu memecahkan masalah petani yang tidak dapat dipecahkan oleh PPL. PPS kabupaten juga bertugas untuk melatih PPL dalam latihan dua minggu sekali di BPP sesuai dengan bidang keahliannya.
            Sistem kerja ini diberlakukan dengan SK Menteri Pertanian No. 240/Kpts/Um/4/1999 tanggal 2 April 1979.  Dengan adanya sistem kerja LAKU dirasakan bahwa pengelolaan penyuluhan pertanian dan pengembangan organisasi penyuluhan pertanian menjadi lebih baik. Para petani merasa puas karena secara fisik petani merasakan dapat bertemu PPL secara teratur dua minggu sekali, pada hari yang telah sepakati. Dan mereka merasa mudah juga untuk bertemu penyuluh di luar jadwal pertemuan tersebut karena pada umumnya PPL tinggal di desa wilayah kerjanya. Sehingga dengan penerapan sistem ini terasa adanya peningkatan efektivitas penyuluhan pertanian terutama di areal irigasi. Secara nyata terlihat bahwa sistem kerja LAKU mampu menyumbang peningkatan produksi pangan pada saat itu.
            Kelemahan pokok dari sistem ini adalah penyuluhan yang sentralistik (dari atas ke bawah) yang diberlakukan secara seragam di seluruh wilayah Indonesia, sehingga sering tidak sesuai dengan kondisi setempat, misalnya kondisi pedesaan di pulau Jawa akan berbeda dengan di Nusa Tenggara Timur atau Maluku. Di samping itu dengan sistem ini penyuluh pertanian dianggap hanya sebagai “tukang pos” yang bertugas mengalihkan pesan dari lembaga penelitian ke petani, sehingga mematikan inisiatif dan kreativitas mereka.
2.      Sekolah Lapangan
            Sekolah lapangan mulai dilaksanakan pada tahun 1993 melalui proyek PHT (pengendalian hama terpadu) atau IPM (Integrated Pest Management) sampai tahun 1999.  Semenjak terjadi explosi hama wereng coklat di Indonesia pada tahun 1985 maka dikeluarkanlah Inpres Nomor 3 Tahun 1986 yang melarang penggunaan 57 jenis pestisida untuk padi sawah. Dan sebagai gantinya digunakan PHT sebagai strategi perlindungan tanaman untuk padi sawah, palawija dan sayuran. Oleh karena itu PHT perlu dimasyarakatkan agar petani menjadi ahli PHT di lahan usahanya masing-masing, melalui sekolah lapangan PHT (SL-PHT).
Sekolah lapangan PHT dilaksanakan dengan tujuan untuk memasyarakatkan PHT dengan pendekatan ekologis. Ada 4 prinsip yang harus dilakukan petani dalam melaksanakan pengendalian hama dan penyakit tanaman yang ramah lingkungan yaitu : 1. Budidaya tanaman sehat, 2. Pemanfaatan musuh alami, 3. Pengamatan mingguan, dan 4. Petani ahli PHT.
            Untuk memasyarakatkan PHT tersebut dilakukan pertemuan mingguan selama 1 musim pertanaman (biasanya 12 kali pertemuan) selama 4 jam. Pertemuan mingguan ini dilakukan di lahan usaha dengan urutan kegiatan : 1) pengamatan lahan, 2) diskusi kelompok hasil pengamatan, 3) menyusun laporan hasil pengamatan dalam bentuk gambar-gambar dan simbul, 4) presentasi pleno hasil kelompok, dan 5) penarikan kesimpulan tindakan yang akan diambil bersama oleh kelompok untuk waktu seminggu ke depan dalam rangka pengendalian hama dan penyakit tanaman.
            Pertemuan mingguan dipandu oleh tim yang terdiri dari PHP (pengamat hama dan penyakit tanaman) dan PPL. Teknik kepemanduan yang digunakan adalah penerapan dari teknik-teknik adragogi (pendidikan orang dewasa).
Ciri SL-PHT adalah : 1. Lahan usaha adalah sarana utama kegiatan belajar, 2. cara belajar lewat pengalaman, 3. pengkajian agro-ekosistem, 4. metode dan bahan bersifat praktis dan tepat guna, 5. kurikulum berdasarkan kebutuhan petani, dan 6. belajar selama satu musim.
            Dengan SL-PHT selama satu musim ini diharapkan petani menjadi ahli PHT yaitu menerapkan prinsip-prinsip PHT dalam usaha taninya masing-masing dan mengajarkan kepada petani lain. Dengan demikian mereka melaksanakan pengendalian hama dan penyakit tanaman yang ramah lingkungan. SL-PHT dimulai dengan diadakannya TOT (Training of the Trainer) bagi PHP dan PPL sebagai tim pemandu. Lalu dilakukan SL-PHT oleh petugas (PHP dan PPL), kemudian SL-PHT oleh petani pemandu. Petani pemandu berasal dari alumni SL_PHT oleh petugas yang dipilih dan dipersiapkan khusus melalui TOT petani pemandu.
            Pemasyarakatan PHT selanjutnya dilakukan melalui pengembangan komunitas yaitu dengan membentuk desa PHT yang kemudian diharapkan berkembang menjadi kecamatan PHT. Proses penguatan juga dilakukan antara lain melalui pembentukan forum petani PHT, pembentukan asosiasi/paguyuban/organisasi petani PHT dan pembuatan media petani. Contoh berbagai forum petani PHT adalah musyawarah petani, seminar petani, pertemuan teknis petani, dan forum studi petani. Contoh berbagai media yang dibuat petani PHT adalah surat kabar, buletin, majalah dinding, leaflet dan poster.
            Kelebihan dari model ini adalah pada proses kepemanduannya, yaitu petani dipandu untuk dapat belajar sendiri di alam yang nyata untuk menentukan jawaban terhadap masalah yang dihadapi, dan mereka diharapkan mampu mengambil keputusan bersama tindakan apa yang harus mereka lakukan di hari-hari berikutnya dalam mengelola usahanya.
            Kelemahannya adalah terjadinya proses kejenuhan dalam belajar, karena rutinisme pertemuan mingguan. Kelemahan kedua adalah belum mulusnya proses pembelajaran oleh team teaching sehingga sering hasilnya kurang efektif.
3.      FMA (Farmers Managed Extension Activities)
            FMA mulai dilaksanakan pada tahun 2000 melalui proyek DAFEP (Decentralized agricultural and forestry extension project) atau proyek penyuluhan pertanian dan kehutanan desentralisasi di 9 propinsi (16 kabupaten) lokasi proyek. Sampai saat ini proyek DAFEP tersebut masih berjalan. Dengan FMA dapat digalang petani untuk membuat sendiri RK (Rencana Keluarga), RUK (Rencana Usaha Keluarga), RU kelompok dan RU desa melalui teknik PRA ( participatory rural appraisal). Setelah itu baru disusun RKPD (Rencana Kerja Penyuluhan Desa).
            Rencana Keluarga (RK) adalah upaya untuk memutuskan apa yang mereka dapat lakukan dengan cara mengenal diri keluarga, latar belakang, jumlah keluarga, potensi yang dimiliki, mereka bisa apa dan mereka sudah biasa apa.
Rencana Usaha Keluarga (RUK) adalah rencana usaha yang disusun dengan cara melihat potensi yang dimiliki tadi, mereka mau mengembangkan usaha apa, misalnya beternak itik. Setelah diputuskan usaha yang akan dijalankan lalu dilakukan analisis usahanya sesuai potensi yang mereka miliki untuk memperkirakan besarnya pendapatan yang akan diperoleh.
            Rencana Usaha Kelompok (RU kelompok) adalah penggabungan dari RUK tersebut di atas dan rencana usaha desa (RU desa) adalah kumpulan dari RU kelompok di desa tertentu. Dari RU desa akan dapat dipilahkan masalah-masalah apa yang dapat mereka pecahkan sendiri, dan masalah apa yang pemecahannya memerlukan fasilitasi dari penyuluh pertanian. Berdasarkan maslah yang perlu dipecahkan dengan fasilitasi penyuluh pertanian tersebut kemudian disusun rencana kegiatan penyuluhan desa (RKPD). Waktu pertemuan penyuluh dan kelompok usaha tidak ditentukan perminggu sekali atau dua minggu sekali, tetapi sesuai dengan komitmen mereka.
            Kelebihan dari model ini adalah partisipasi petani sangat besar. Mereka difasilitasi untuk dapat mengenali keluarga mereka sendiri, potensinya, lalu memutuskan usaha yang akan mereka lakukan. Mereka juga bebas memilih kelompok usaha dan menyusun RU kelompok yang selanjutnya akan menyusun Rencana Usaha Desa. Satu desa berpeluang besar untuk menonjolkan usaha yang paling diunggulkan (one village one product). Mereka juga bebas menentukan perlu tidaknya penyuluhan dan apabila diperlukan maka kegiatan penyuluhan akan dilaksanakan berdasarkan kesepakatan dengan penyuluh pertanian.

            Adapun kelemahan adalah tingkat kematangan (maturity level) petani kita tidak semuanya sudah memenuhi syarat untuk melakukan ini. Apabila petani belum matang maka hasilnya lebih banyak artificial yang dipaksakan bukannya alamiah, sehingga penyuluhan yang kita laksanakan tidak memecahkan masalah yang sebenarya. Proses belajar yang seharusnya berlangsung dalam kegiatan penyuluhan adalah proses pendidikan yang diterapkan dalam pendidikan orang dewasa (adult education/andragogie).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar