1.
Sistem
Kerja Laku
Sistim kerja LAKU mulai dilaksanakan pada tahun 1979 yang diintrodusir
oleh proyek NFCEP (National Food Crops Extension Project) atau proyek
Penu\yuluhan Pertanian Tanaman Pangan Nasional, kemudian dilanjutkan oleh
Proyek NAEP (National Agricultural Extension Project) atau proyek Penyuluhan
Pertanian Nasional tahap I dan II sampai dengan 1992.
Sistim kerja LAKU mempunyai organisasi hierarkhis penyuluhan pertanian
yang jelas, dimana seorang PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) akan mengunjungi
16 Wikel (wilayah kelompok) secara teratur dan berkesinambungan dengan jadwal
kunjungan dua minggu sekali. Dengan melakukan kunjungan ini seorang PPL
diharapkan dapat melayani 20orang kontak tani dan petani maju. Selanjutnya
setiap kontak tani dan petani maju dari setiap Wikel tersebut akan menyampaikan
informasi yang diterimanya dari PPL kepada masing-masing 5 orang petani melalui
kelompok domisili. Sehingga secara keseluruhan seorang PPL akan dapat melayani
1.600 keluarga tani.
Selanjutnya PPL di WKBPP (Wilayah Kerja Balai Penyuluhan Pertanian)
sebanyak 10 – 20 orang akan di supervisi oleh seorang PPM (Penyuluh Pertanian Madya)
Supervisor. Di samping tu di setiap BPP akan ada seorang PPM Programer yang
tugasnya menyusun programa Penyuluhan
Pertanian WKBPP dan melaksanakan pelatihan PPL di BPP dua minggu sekali.
Di setiap propinsi ada PPS (Penyuluh Pertanian Spesialis) yang akan
menjadi manajer penyuluhan pertanian untuk wilayah propinsi. Dan di setiap
Karesidenan ada seorang PPS yang menjadi manajer penyuluhan pertanian untuk
wilayah karesidenan. Ia bertanggungjawab kepada PPS Provinsi.
Di setiap kabupaten ada beberapa orang PPS sesuai dengan spesialisasi
yang dominan di kabupaten tersebut, dan bertugas membantu memecahkan masalah
petani yang tidak dapat dipecahkan oleh PPL. PPS kabupaten juga bertugas untuk
melatih PPL dalam latihan dua minggu sekali di BPP sesuai dengan bidang
keahliannya.
Sistem kerja ini diberlakukan dengan SK Menteri Pertanian No.
240/Kpts/Um/4/1999 tanggal 2 April 1979. Dengan adanya sistem kerja LAKU
dirasakan bahwa pengelolaan penyuluhan pertanian dan pengembangan organisasi
penyuluhan pertanian menjadi lebih baik. Para petani merasa puas karena secara
fisik petani merasakan dapat bertemu PPL secara teratur dua minggu sekali, pada
hari yang telah sepakati. Dan mereka merasa mudah juga untuk bertemu penyuluh
di luar jadwal pertemuan tersebut karena pada umumnya PPL tinggal di desa
wilayah kerjanya. Sehingga dengan penerapan sistem ini terasa adanya
peningkatan efektivitas penyuluhan pertanian terutama di areal irigasi. Secara
nyata terlihat bahwa sistem kerja LAKU mampu menyumbang peningkatan produksi
pangan pada saat itu.
Kelemahan pokok dari sistem ini
adalah penyuluhan yang sentralistik (dari atas ke bawah) yang diberlakukan
secara seragam di seluruh wilayah Indonesia, sehingga sering tidak sesuai
dengan kondisi setempat, misalnya kondisi pedesaan di pulau Jawa akan berbeda
dengan di Nusa Tenggara Timur atau Maluku. Di samping itu dengan sistem
ini penyuluh pertanian dianggap hanya sebagai “tukang pos” yang bertugas
mengalihkan pesan dari lembaga penelitian ke petani, sehingga mematikan
inisiatif dan kreativitas mereka.
2.
Sekolah Lapangan
Sekolah lapangan mulai
dilaksanakan pada tahun 1993 melalui proyek PHT (pengendalian hama terpadu)
atau IPM (Integrated Pest Management) sampai tahun 1999. Semenjak
terjadi explosi hama wereng coklat di Indonesia pada tahun 1985 maka
dikeluarkanlah Inpres Nomor 3 Tahun 1986 yang melarang penggunaan 57 jenis
pestisida untuk padi sawah. Dan sebagai gantinya digunakan PHT sebagai strategi
perlindungan tanaman untuk padi sawah, palawija dan sayuran. Oleh karena itu
PHT perlu dimasyarakatkan agar petani menjadi ahli PHT di lahan usahanya
masing-masing, melalui sekolah lapangan PHT (SL-PHT).
Sekolah lapangan PHT dilaksanakan dengan
tujuan untuk memasyarakatkan PHT dengan pendekatan ekologis. Ada 4 prinsip yang
harus dilakukan petani dalam melaksanakan pengendalian hama dan penyakit
tanaman yang ramah lingkungan yaitu : 1. Budidaya tanaman sehat, 2. Pemanfaatan
musuh alami, 3. Pengamatan mingguan, dan 4. Petani ahli PHT.
Untuk memasyarakatkan PHT
tersebut dilakukan pertemuan mingguan selama 1 musim pertanaman (biasanya 12
kali pertemuan) selama 4 jam. Pertemuan mingguan ini dilakukan di lahan usaha
dengan urutan kegiatan : 1) pengamatan lahan, 2) diskusi kelompok hasil
pengamatan, 3) menyusun laporan hasil pengamatan dalam bentuk gambar-gambar dan
simbul, 4) presentasi pleno hasil kelompok, dan 5) penarikan kesimpulan
tindakan yang akan diambil bersama oleh kelompok untuk waktu seminggu ke depan
dalam rangka pengendalian hama dan penyakit tanaman.
Pertemuan mingguan dipandu
oleh tim yang terdiri dari PHP (pengamat hama dan penyakit tanaman) dan PPL.
Teknik kepemanduan yang digunakan adalah penerapan dari teknik-teknik adragogi
(pendidikan orang dewasa).
Ciri SL-PHT adalah : 1. Lahan usaha adalah
sarana utama kegiatan belajar, 2. cara belajar lewat pengalaman, 3. pengkajian
agro-ekosistem, 4. metode dan bahan bersifat praktis dan tepat guna, 5.
kurikulum berdasarkan kebutuhan petani, dan 6. belajar selama satu musim.
Dengan SL-PHT selama satu
musim ini diharapkan petani menjadi ahli PHT yaitu menerapkan prinsip-prinsip
PHT dalam usaha taninya masing-masing dan mengajarkan kepada petani lain.
Dengan demikian mereka melaksanakan pengendalian hama dan penyakit tanaman yang
ramah lingkungan. SL-PHT dimulai dengan diadakannya TOT (Training of the
Trainer) bagi PHP dan PPL sebagai tim pemandu. Lalu dilakukan SL-PHT oleh
petugas (PHP dan PPL), kemudian SL-PHT oleh petani pemandu. Petani pemandu
berasal dari alumni SL_PHT oleh petugas yang dipilih dan dipersiapkan khusus
melalui TOT petani pemandu.
Pemasyarakatan PHT selanjutnya
dilakukan melalui pengembangan komunitas yaitu dengan membentuk desa PHT yang
kemudian diharapkan berkembang menjadi kecamatan PHT. Proses penguatan
juga dilakukan antara lain melalui pembentukan forum petani PHT, pembentukan
asosiasi/paguyuban/organisasi petani PHT dan pembuatan media petani. Contoh
berbagai forum petani PHT adalah musyawarah petani, seminar petani, pertemuan
teknis petani, dan forum studi petani. Contoh berbagai media yang dibuat petani
PHT adalah surat kabar, buletin, majalah dinding, leaflet dan poster.
Kelebihan dari model ini adalah pada
proses kepemanduannya, yaitu petani dipandu untuk dapat belajar sendiri di alam
yang nyata untuk menentukan jawaban terhadap masalah yang dihadapi, dan mereka
diharapkan mampu mengambil keputusan bersama tindakan apa yang harus mereka
lakukan di hari-hari berikutnya dalam mengelola usahanya.
Kelemahannya adalah
terjadinya proses kejenuhan dalam belajar, karena rutinisme pertemuan mingguan.
Kelemahan kedua adalah belum mulusnya proses pembelajaran oleh team teaching
sehingga sering hasilnya kurang efektif.
3.
FMA (Farmers
Managed Extension Activities)
FMA mulai dilaksanakan pada
tahun 2000 melalui proyek DAFEP (Decentralized agricultural and forestry
extension project) atau proyek penyuluhan pertanian dan kehutanan
desentralisasi di 9 propinsi (16 kabupaten) lokasi proyek. Sampai saat ini
proyek DAFEP tersebut masih berjalan. Dengan FMA dapat digalang petani untuk membuat
sendiri RK (Rencana Keluarga), RUK (Rencana Usaha Keluarga), RU kelompok dan RU
desa melalui teknik PRA ( participatory rural appraisal). Setelah itu baru
disusun RKPD (Rencana Kerja Penyuluhan Desa).
Rencana Keluarga (RK) adalah upaya
untuk memutuskan apa yang mereka dapat lakukan dengan cara mengenal diri
keluarga, latar belakang, jumlah keluarga, potensi yang dimiliki, mereka bisa apa
dan mereka sudah biasa apa.
Rencana Usaha Keluarga (RUK)
adalah rencana usaha yang disusun dengan cara melihat potensi yang dimiliki
tadi, mereka mau mengembangkan usaha apa, misalnya beternak itik. Setelah
diputuskan usaha yang akan dijalankan lalu dilakukan analisis usahanya sesuai
potensi yang mereka miliki untuk memperkirakan besarnya pendapatan yang akan
diperoleh.
Rencana Usaha Kelompok (RU
kelompok) adalah penggabungan dari RUK tersebut di atas dan rencana usaha desa
(RU desa) adalah kumpulan dari RU kelompok di desa tertentu. Dari RU desa akan
dapat dipilahkan masalah-masalah apa yang dapat mereka pecahkan sendiri, dan
masalah apa yang pemecahannya memerlukan fasilitasi dari penyuluh pertanian.
Berdasarkan maslah yang perlu dipecahkan dengan fasilitasi penyuluh pertanian
tersebut kemudian disusun rencana kegiatan penyuluhan desa (RKPD). Waktu
pertemuan penyuluh dan kelompok usaha tidak ditentukan perminggu sekali atau
dua minggu sekali, tetapi sesuai dengan komitmen mereka.
Kelebihan dari model ini
adalah partisipasi petani sangat besar. Mereka difasilitasi untuk dapat
mengenali keluarga mereka sendiri, potensinya, lalu memutuskan usaha yang akan
mereka lakukan. Mereka juga bebas memilih kelompok usaha dan menyusun RU
kelompok yang selanjutnya akan menyusun Rencana Usaha Desa. Satu desa
berpeluang besar untuk menonjolkan usaha yang paling diunggulkan (one village
one product). Mereka juga bebas menentukan perlu tidaknya penyuluhan dan
apabila diperlukan maka kegiatan penyuluhan akan dilaksanakan berdasarkan
kesepakatan dengan penyuluh pertanian.
Adapun kelemahan adalah
tingkat kematangan (maturity level) petani kita tidak semuanya sudah memenuhi
syarat untuk melakukan ini. Apabila petani belum matang maka hasilnya lebih
banyak artificial yang dipaksakan bukannya alamiah, sehingga penyuluhan yang
kita laksanakan tidak memecahkan masalah yang sebenarya. Proses belajar yang
seharusnya berlangsung dalam kegiatan penyuluhan adalah proses pendidikan yang
diterapkan dalam pendidikan orang dewasa (adult education/andragogie).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar