Peranan
Psikologi Dalam Kegiatan Penyuluhan Pertanian
è
Peranan Psikologi Terhadap Pengembangan Materi
Penyuluhan
Kajian psikologi dalam kaitannya terhadap
pengembangan materi penyuluhan, memiliki kaitan erat dengan pemahaman
aspek-aspek perubahan perilaku petani. Terlepas dari berbagai aliran psikologi
yang mewarnai dalam sistem pengajaran. Kajian psikologi terhadap bidang
penyuluhan telah memberikan peran terhadap input, proses dan output dari suatu
kegiatan penyuluhan agar dapat berjalan dengan baik.
Dari
tinjauan ilmu psikologi, setiap manusia dipandang sebagai pribadi yang khas
atau unik. Maka kajian psikologi dalam pengembangan kurikulum materi
penyuluhan, seyogyanya memperhatikan keunikan yang dimiliki oleh setiap pribadi
petani. Baik ditinjau dari segi tingkat kecerdasan, kemampuan, sikap, motivasi,
perasaaan serta karakterisktik-karakteristik lainnya. Materi yang disajikan
dalam kegiatan penyuluhan harus mampu memberikan kesempatan kepada setiap
petani, untuk berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Bukan hanya
dalam hal subject matter (materi) saja. Dalam metode penyampaiannya pun, setiap
kegiatan penyuluhan harus mampu merespon kemampuan setiap petani, agar dapat
berkembang secara independen.
Dalam
pengembangan materi penyuluhan pertanian, kajian psikologi berhubungan erat
dengan proses pembelajaran petani diantaranya: (1) dalam hal pencapaian
kemampuan petani untuk melakukan sesuatu dalam berbagai konteks kebutuhan; (2)
dalam hal proses penciptaan pengalaman belajar bagi petani; (3) dalam hal
menciptakan ouput hasil belajar (learning outcomes) yang sesuai dengan tujuan,
dan (4) dalam hal penentuan kualifikasi kemampuan dan keahlian (skill) petani
dalam melakukan suatu tindakan.
2.3.2 Penyuluhan dalam
Sistematika Filsafat Ilmu
Filsafat
beserta cabang-cabangnya secara sederhana terbagi menjadi tiga macam yang
menjadi lahan kerja filsafat, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Ketiga dari lahan garapan filsafat tersebut termuat dalam tiga pertanyaan
dimana dalam ontologi bertanya tentang apa. Pertanyaan apa tersebut merupakan
pertanyaan dasar dari sesuatu. Sedangkan dalam epistemologi, mengenalinya
dengan menggunakan pertanyaan mengapa. Sedangkan untuk aksiologi merupakan
kelanjutan dari dari epistemologi dengan menggunakan pertanyaan bagaimana.
Pertanyaan bagaimana tersebut merupakan kelanjutan dari setelah mengetahui dan
cara mengetahuinya diteruskan dengan bagaimanakah sikap kita selanjutnya.
Sistematika dalam filsafat mencakup dengan tiga pertanyaan apa yang dapat saya
ketahui, apa yang dapat saya harapkan, apa yang dapat saya lakukan.
Suatu
paradigma ilmu termasuk penyuluhan pada hakekatnya mengharuskan ilmuwan untuk
mencari jawaban atas suatu pertanyaan mendasar yaitu bagaimana, apa dan untuk
apa. Tiga pertanyaan di atas dirumuskan menjadi beberapa dimensi yaitu :
-
Dimensi ontologis yaitu apa sebenarnya hakikat dari
sesuatu kejadian alam dan sosial ekonomi masyarakat yang dapat diketahuinya
atau apa hakikat dari setiap kejadian di penyuluhan selama ini ditinjau sebagai
ilmu; mengapa kita melakukan penyuluhan; bagaimana hubungan sumberdaya
alam/manusia dengan sistem nilai penyuluhan dan sistem nilai suatu kebijakan
pembangunan; bagaimana sektor peternakan di Indonesia dinilai terpinggirkan
ketimbang kebijakan industrimanufaktur, sehingga terjadi transformasi
struktural semu dan sebagainya.
-
Dimensi epistemologis yaitu apa sebenarnya hakikat
hubungan antara pencari ilmu khususnya di bidang penyuluhan peternakan dengan
fenomena obyek yang ditemukannya; bagaimana prosedurnya; hal-hal apa yang
seharusnya diperhatikan untuk memperoleh pengetahuan tentang penyuluhan
peternakan yang benar; apa kriteria benar itu; model, metode dan pendekatan apa
dilakukan untuk mendapatkan pengetahuan penyuluhan peternakan sebagai suatu
ilmu.
-
Dimensi axiologis yaitu seberapa jauh peran sistem
nilai dalam suatu penelitian tentang penyuluhan peternakan; untuk apa
mengetahui penyuluhan peternakan; bagaimana menentukan obyek dan teknik
prosedural suatu telaahan penyuluhan peternakan dengan mempertimbangkan kaidah
moral atau profesional.
Terkait dengan pengembangan penyuluhan,
tiga dimensi yang telah dipaparkan diatas selayaknya ditambahkan dua dimensi
untuk melengkapinya yaitu :
-
Dimensi retorik yaitu apa bahasa yang digunakan dalam
penyuluhan peternakan untuk meningkatkan adopsi teknologi pakan; bagaimana
dengan bahasa yang dipakai sebagai alat berpikir dan sekaligus menjadi alat
komunikasi yang berfungsi untuk menyampaikan jalan pikirannya kepada orang
lain; bahasa yang dipakai seharusnya sebagai sarana ilmiah dan tentunya
obyektif namun menafikan kecenderungan sifat emotif dan afektif;
-
Dimensi metodologis yaitu bagaimana cara atau
metodologi yang dipakai dalam menemukan kebenaran suatu ilmu pengetahuan
penyuluhan peternakan kaitannya dengan fenomena adopsi teknologi misalnya;
apakah deduktif atau induktif; monodisiplin, multidisiplin dan interdisiplin;
kuantitatif atau kualitatif atau kombinasi keduanya; penelitian dasar atau
terapan. Berkaitan pula dengan penyuluhan peternakan, khususnya bagi yang
berminat dalam kegiatan penelitian, diperlukan penerapan metodologi dalam
program penelitian.
2.3.3 Taksonomi pada Penyuluhan Afektif
Ringness
(1975) menyatakan bahwa taksonomi diharapkan dapat membantu para Penyuluh untuk
mengklarifikasi pemahaman mereka tentang bagaimana mengajar untuk meningkatkan perkembangan afektif peserta
penyuluhan. Sebagai contoh, jika seorang Penyuluh menerangkan sebuah polusi
maka hal itu akan berguna untuk menyadarkan bahwadengan hanya sebuah kesadaran
dan kepedulian pada polusi sebagai suatu masalah membuatmereka tidak penting
untuk membangun kemauan untuk mengambil tindakan.Pada tingkat yang lebih tinggi
dari taksonomi menyuguhkan cara untuk mengembangkan komitmen peserta penyuluhan
pada nilai-nilai dan kepercayaan. Pada awalnya, para peserta penyuluhan hanya
memverbalkan posisi para Penyuluh, tetapi ketikamereka menjadi ingin untuk
menyampaikan dan mempertahankan posisinya di hadapan publik.
Pada level ketiga dari taksonomy, para
peserta penyuluhan mulai menginternalisasi keyakinan dalam diri mereka, sebagai
contoh mereka menerima kebutuhan untuk mengelola lingkungan, sehingga mereka
tidak lagi dikontrol oleh opini dari yang lainnya. Peserta penyuluhan setelah
itu dapat mengintegrasikan keyakinannya tentang lingkungan dengankeyakinan yang
lainya dan bahkan mungkin menggeneralisasikan lebih jauh dan menjadi kesadaran
yang menyatu dan berhubungan atau dengan sukarela memberikan waktu untuk
masalah-masalah lingkungan.
2.2 Studi Kasus
Faktor-faktor Komunikasi
Interpersonal Pengusaha Tani Sukses
(Pendekatan Studi Kasus Di
Perusahaan Mitra Tani Bantul)
Pendidikan yang rendah
bukanlah sebuah masalah dalam berbisnis, terbukti pendidikan seorang pengusaha
tani yang rendah malah menjadikannya mudah bergaul dengan semua kalangan.
Petani dan karyawan menjadi lebih mudah dalam berkomunikasi, karena bahasa yang
digunakan adalah bahasa yang mereka pahami. Jalinan hubungan interpersonalpun
menjadi lebih mudah dilakukan, karena timbul pengertian dan pemahaman satu sama
lain. Keluwesan dan toleransi tinggi dalam kegagalan panen dan bencana alam
yang ditunjukkan pengusaha juga membuat petani senang untuk mengikuti program
tanam, sehingga kontinuitas kerjasama dapat terjaga.
Pengalaman dalam
berwirausaha dibeberapa bidang menjadikan seorang pengusaha memiliki kemampuan
konseptual yang baik, sehingga menjadikannya cerdas dalam menentukan
kebijakan-kebijakan perusahaan, hal tersebut juga akan berpengaruh terhadap
cara menjalin hubungan baik dengan orang lain, apa yang membuat orang lain
merasa senang, dan bagaimana menjaga kepercayaan mitra bisnis. Pada akhirnya
pengalaman tersebut melahirkan sifat-sifat yang khas pada diri seorang
pengusaha tani, seperti kedisiplinan, kejujuran, keuletan, dan kecerdasan dalam
bekerja. Pengalaman menjabat sebagai pamong desa dan hidup dilingkungan
masyarakat petani tradisional menjadikan seorang pengusaha tani memahami dengan
benar kelebihan dan kekurangan petani, sehingga mempermudahnya dalam memahami
konteks komunikasi.
Pengalaman menjabat
sebagai pamong desa secara otomatis telah memberikan pengetahuan bagi pengusaha
tani tentang konteks komunikasi yang dihadapinya, sehingga pendekatan awal
(ketika memulai usaha dibidang pembenihan jagung hibrida) yang dilakukan
bisa tepat sasaran. Arus penyebaran informasi yang berlaku dalam masyarakat
petani tradisional umumnya menggunakan jalur informasi dari mulut ke mulut,
pendekatan awal dengan cara memperlihatkan contoh tanam dan percobaan langsung
sangat tepat sasaran, serta lebih mudah dicerna dan dipahami oleh masyarakat
petani tradisional, karena hasilnya akan terlihat dengan jelas.
Analisis :
Dalam kaitannya penyuluhan sebagai proses
komunikasi, maka seorang penyuluh diwajibkan untuk bisa berkomunikasi dengan baik
dalam penyampaian materi penyuluhan. Ternyata petani juga tidak hanya menampung
informasi penyuluhan yang diterimanya untuk dirinya sendiri tetapi disebarluaskan
kembali kepada rekan-rekan yang belum mengetahuinya sehingga petani pun
dituntut untuk bisa mengkomunikasikannya dengan baik pula. Pada kasus diatas,
petani tersebut bisa menjadi inspirasi untuk kita. Bahwa untuk menjalin
komunikasi yang baik ternyata dia tempuh dengan cara mudah bergaul dengan semua
kalangan. Bahasa yang digunakan bahasa yang mereka pahami. Jalinan
interpersonalnya menjadi lebih mudah karena timbul pengertian dan pemahaman
satu sama lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar