photo IKLAN_zps0bd7cdbd.png

Rabu, 19 Juni 2013

Keterkaitan Antar Penyuluhan dengan Teori Terkait lainnya

  Peranan Psikologi Dalam Kegiatan Penyuluhan Pertanian
è Peranan Psikologi Terhadap Pengembangan Materi Penyuluhan
Kajian psikologi dalam kaitannya terhadap pengembangan materi penyuluhan, memiliki kaitan erat dengan pemahaman aspek-aspek perubahan perilaku petani. Terlepas dari berbagai aliran psikologi yang mewarnai dalam sistem pengajaran. Kajian psikologi terhadap bidang penyuluhan telah memberikan peran terhadap input, proses dan output dari suatu kegiatan penyuluhan agar dapat berjalan dengan baik.
            Dari tinjauan ilmu psikologi, setiap manusia dipandang sebagai pribadi yang khas atau unik. Maka kajian psikologi dalam pengembangan kurikulum materi penyuluhan, seyogyanya memperhatikan keunikan yang dimiliki oleh setiap pribadi petani. Baik ditinjau dari segi tingkat kecerdasan, kemampuan, sikap, motivasi, perasaaan serta karakterisktik-karakteristik lainnya. Materi yang disajikan dalam kegiatan penyuluhan harus mampu memberikan kesempatan kepada setiap petani, untuk berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Bukan hanya dalam hal subject matter (materi) saja. Dalam metode penyampaiannya pun, setiap kegiatan penyuluhan harus mampu merespon kemampuan setiap petani, agar dapat berkembang secara independen.
            Dalam pengembangan materi penyuluhan pertanian, kajian psikologi berhubungan erat dengan proses pembelajaran petani diantaranya: (1) dalam hal pencapaian kemampuan petani untuk melakukan sesuatu dalam berbagai konteks kebutuhan; (2) dalam hal proses penciptaan pengalaman belajar bagi petani; (3) dalam hal menciptakan ouput hasil belajar (learning outcomes) yang sesuai dengan tujuan, dan (4) dalam hal penentuan kualifikasi kemampuan dan keahlian (skill) petani dalam melakukan suatu tindakan. 

2.3.2 Penyuluhan dalam Sistematika Filsafat Ilmu
            Filsafat beserta cabang-cabangnya secara sederhana terbagi menjadi tiga macam yang menjadi lahan kerja filsafat, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ketiga dari lahan garapan filsafat tersebut termuat dalam tiga pertanyaan dimana dalam ontologi bertanya tentang apa. Pertanyaan apa tersebut merupakan pertanyaan dasar dari sesuatu. Sedangkan dalam epistemologi, mengenalinya dengan menggunakan pertanyaan mengapa. Sedangkan untuk aksiologi merupakan kelanjutan dari dari epistemologi dengan menggunakan pertanyaan bagaimana. Pertanyaan bagaimana tersebut merupakan kelanjutan dari setelah mengetahui dan cara mengetahuinya diteruskan dengan bagaimanakah sikap kita selanjutnya. Sistematika dalam filsafat mencakup dengan tiga pertanyaan apa yang dapat saya ketahui, apa yang dapat saya harapkan, apa yang dapat saya lakukan.
            Suatu paradigma ilmu termasuk penyuluhan pada hakekatnya mengharuskan ilmuwan untuk mencari jawaban atas suatu pertanyaan mendasar yaitu bagaimana, apa dan untuk apa. Tiga pertanyaan di atas dirumuskan menjadi beberapa dimensi yaitu :
-            Dimensi ontologis yaitu apa sebenarnya hakikat dari sesuatu kejadian alam dan sosial ekonomi masyarakat yang dapat diketahuinya atau apa hakikat dari setiap kejadian di penyuluhan selama ini ditinjau sebagai ilmu; mengapa kita melakukan penyuluhan; bagaimana hubungan sumberdaya alam/manusia dengan sistem nilai penyuluhan dan sistem nilai suatu kebijakan pembangunan; bagaimana sektor peternakan di Indonesia dinilai terpinggirkan ketimbang kebijakan industrimanufaktur, sehingga terjadi transformasi struktural semu dan sebagainya.
-            Dimensi epistemologis yaitu apa sebenarnya hakikat hubungan antara pencari ilmu khususnya di bidang penyuluhan peternakan dengan fenomena obyek yang ditemukannya; bagaimana prosedurnya; hal-hal apa yang seharusnya diperhatikan untuk memperoleh pengetahuan tentang penyuluhan peternakan yang benar; apa kriteria benar itu; model, metode dan pendekatan apa dilakukan untuk mendapatkan pengetahuan penyuluhan peternakan sebagai suatu ilmu.
-            Dimensi axiologis yaitu seberapa jauh peran sistem nilai dalam suatu penelitian tentang penyuluhan peternakan; untuk apa mengetahui penyuluhan peternakan; bagaimana menentukan obyek dan teknik prosedural suatu telaahan penyuluhan peternakan dengan mempertimbangkan kaidah moral atau profesional.
Terkait dengan pengembangan penyuluhan, tiga dimensi yang telah dipaparkan diatas selayaknya ditambahkan dua dimensi untuk melengkapinya yaitu :
-            Dimensi retorik yaitu apa bahasa yang digunakan dalam penyuluhan peternakan untuk meningkatkan adopsi teknologi pakan; bagaimana dengan bahasa yang dipakai sebagai alat berpikir dan sekaligus menjadi alat komunikasi yang berfungsi untuk menyampaikan jalan pikirannya kepada orang lain; bahasa yang dipakai seharusnya sebagai sarana ilmiah dan tentunya obyektif namun menafikan kecenderungan sifat emotif dan afektif;
-            Dimensi metodologis yaitu bagaimana cara atau metodologi yang dipakai dalam menemukan kebenaran suatu ilmu pengetahuan penyuluhan peternakan kaitannya dengan fenomena adopsi teknologi misalnya; apakah deduktif atau induktif; monodisiplin, multidisiplin dan interdisiplin; kuantitatif atau kualitatif atau kombinasi keduanya; penelitian dasar atau terapan. Berkaitan pula dengan penyuluhan peternakan, khususnya bagi yang berminat dalam kegiatan penelitian, diperlukan penerapan metodologi dalam program penelitian.
2.3.3 Taksonomi pada Penyuluhan Afektif
            Ringness (1975) menyatakan bahwa taksonomi diharapkan dapat membantu para Penyuluh untuk mengklarifikasi pemahaman mereka tentang bagaimana mengajar untuk  meningkatkan perkembangan afektif peserta penyuluhan. Sebagai contoh, jika seorang Penyuluh menerangkan sebuah polusi maka hal itu akan berguna untuk menyadarkan bahwadengan hanya sebuah kesadaran dan kepedulian pada polusi sebagai suatu masalah membuatmereka tidak penting untuk membangun kemauan untuk mengambil tindakan.Pada tingkat yang lebih tinggi dari taksonomi menyuguhkan cara untuk mengembangkan komitmen peserta penyuluhan pada nilai-nilai dan kepercayaan. Pada awalnya, para peserta penyuluhan hanya memverbalkan posisi para Penyuluh, tetapi ketikamereka menjadi ingin untuk menyampaikan dan mempertahankan posisinya di hadapan publik.
Pada level ketiga dari taksonomy, para peserta penyuluhan mulai menginternalisasi keyakinan dalam diri mereka, sebagai contoh mereka menerima kebutuhan untuk mengelola lingkungan, sehingga mereka tidak lagi dikontrol oleh opini dari yang lainnya. Peserta penyuluhan setelah itu dapat mengintegrasikan keyakinannya tentang lingkungan dengankeyakinan yang lainya dan bahkan mungkin menggeneralisasikan lebih jauh dan menjadi kesadaran yang menyatu dan berhubungan atau dengan sukarela memberikan waktu untuk masalah-masalah lingkungan.
2.2  Studi Kasus
Faktor-faktor Komunikasi Interpersonal Pengusaha Tani Sukses
(Pendekatan Studi Kasus Di Perusahaan Mitra Tani Bantul)
Pendidikan yang rendah bukanlah sebuah masalah dalam berbisnis, terbukti pendidikan seorang pengusaha tani yang rendah malah menjadikannya mudah bergaul dengan semua kalangan. Petani dan karyawan menjadi lebih mudah dalam berkomunikasi, karena bahasa yang digunakan adalah bahasa yang mereka pahami. Jalinan hubungan interpersonalpun menjadi lebih mudah dilakukan, karena timbul pengertian dan pemahaman satu sama lain. Keluwesan dan toleransi tinggi dalam kegagalan panen dan bencana alam yang ditunjukkan pengusaha juga membuat petani senang untuk mengikuti program tanam, sehingga kontinuitas kerjasama dapat terjaga.
Pengalaman dalam berwirausaha dibeberapa bidang menjadikan seorang pengusaha memiliki kemampuan konseptual yang baik, sehingga menjadikannya cerdas dalam menentukan kebijakan-kebijakan perusahaan, hal tersebut juga akan berpengaruh terhadap cara menjalin hubungan baik dengan orang lain, apa yang membuat orang lain merasa senang, dan bagaimana menjaga kepercayaan mitra bisnis. Pada akhirnya pengalaman tersebut melahirkan sifat-sifat yang khas pada diri seorang pengusaha tani, seperti kedisiplinan, kejujuran, keuletan, dan kecerdasan dalam bekerja. Pengalaman menjabat sebagai pamong desa dan hidup dilingkungan masyarakat petani tradisional menjadikan seorang pengusaha tani memahami dengan benar kelebihan dan kekurangan petani, sehingga mempermudahnya dalam memahami konteks komunikasi.
Pengalaman menjabat sebagai pamong desa secara otomatis telah memberikan pengetahuan bagi pengusaha tani tentang konteks komunikasi yang dihadapinya, sehingga pendekatan awal (ketika memulai usaha dibidang pembenihan jagung hibrida) yang dilakukan bisa tepat sasaran. Arus penyebaran informasi yang berlaku dalam masyarakat petani tradisional umumnya menggunakan jalur informasi dari mulut ke mulut, pendekatan awal dengan cara memperlihatkan contoh tanam dan percobaan langsung sangat tepat sasaran, serta lebih mudah dicerna dan dipahami oleh masyarakat petani tradisional, karena hasilnya akan terlihat dengan jelas.
Analisis :
Dalam kaitannya penyuluhan sebagai proses komunikasi, maka seorang penyuluh diwajibkan untuk bisa berkomunikasi dengan baik dalam penyampaian materi penyuluhan. Ternyata petani juga tidak hanya menampung informasi penyuluhan yang diterimanya untuk dirinya sendiri tetapi disebarluaskan kembali kepada rekan-rekan yang belum mengetahuinya sehingga petani pun dituntut untuk bisa mengkomunikasikannya dengan baik pula. Pada kasus diatas, petani tersebut bisa menjadi inspirasi untuk kita. Bahwa untuk menjalin komunikasi yang baik ternyata dia tempuh dengan cara mudah bergaul dengan semua kalangan. Bahasa yang digunakan bahasa yang mereka pahami. Jalinan interpersonalnya menjadi lebih mudah karena timbul pengertian dan pemahaman satu sama lain.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar