photo IKLAN_zps0bd7cdbd.png

Minggu, 06 Oktober 2013

Usahatani Berskala Kecil

 Karakteristik Usahatani Berskala Kecil
Berikut ini adalah ciri-ciri  utama usahatani dengan modal kecil adalah ;
1)      Skala usaha kecil, unit produksi tidak ekonomis
2)      Tujuan utama untuk pendapatan keluarga (subsisten atau setengah subsisten)
3)      Perluasan lahan dilakukan dengan  modal kerja terbatas
4)      Lahan relative kecil < 0,5 ha
5)      Status lahan yang diusahakan biasanya milik sendiri / menggarap lahan pihak lain
6)      Modal terbatas
7)      Daya beli rendah sehingga kehilangan potongan harga yang seharusnya diterima bila membeli faktor produksi dalam jumlah besar
8)      Teknologi yang digunakan konvensional (tradisional) karena memiliki keterbatasan modal untuk mengadopsi teknologi baru yang canggih
9)      Pengelolaan bersifat apa adanya (sederhana)
10)  Tenaga kerjanya berasal dari keluarga sehingga upahnya tidak dibayarkan namun terkadang hanya diperhitungkan
11)  Cara perhitungan produksi dan Biaya usahatani: subsisten jumlah produksi      dinyatakan secara fisik (kg, ton,dll) tanah dan modal milik sendiri tidak dihitung bunganya
12)  Tingkat pendidikan pekerjanya masih tergolong rendah
13)  Berusahatani dalam lingkungan tekanan penduduk lokal yang meningkat
14)  Pendapatan usahataninya rendah tapi relatuf stabil
15)  Sangat sensitive terhadap keadaan alam
16)  Umumnya menanam suatu komoditas dengan pola monokultur dan dilakukan secara berkeanjutan

Masalah-Masalah dalam Usahatani Berskala Kecil di Indonesia
Berikut ini adalah beberapa pandangan ahli (menurut Fadholi (1991), Soekartawi, Syukuriwantoro (2009)) mengenai masalah-masaah dalam usahatani :
1.       Langkanya permodalan untuk pembiayaan usahatani. Hal ini diakibatkan oleh keterbatasan akses petani terhadap permodalan dan masih tingginya suku bunga usahatani. Permodalan merupakan salah satu faktor produksi penting dalam usaha pertanian. Namun, dalam operasional usahanya tidak semua petani memiliki modal yang cukup. Aksesibilitas petani terhadap sumber-sumber permodalan masih sangat terbatas, terutama bagi petani-petani yang menguasai lahan sempit yang merupakan komunitas terbesar dari masyarakat pedesaan. Dengan demikian, tidak jarang ditemui bahwa kekurangan biaya merupakan kendala yang menjadi penghambat bagi petani dalam mengelola dan mengembangkan usaha tani.
Dengan terbatasnya modal, maka penyediaan fasilitas kerja berupa alat-alat usahatani semakin sulit dipenuhi. Akibatnya intensitas penggunaan kerja menjadi semakin menurun. Ketergantungan keluarga akan modal menyebabkan petani terjerat sistem yang dapat merugikan diri sendiri dan keluarganya, seperti adanya sistem ijon, dsb.
Sebagai akibat langkanya modal usahatani, kredit menjadi penting. Dalam hal ini pemerintah perlu menyediakan fasilitas kredit kepada petani dengan syarat mudah dicapai. Keadaan yang demikian belum sepenuhnya ada. Demikian pula dengan prosedur mudah dan suku bunga yang relatif rendah. Dengan demikian terbuka pemilik modal swasta mengulurkan tangan, sambil membunuh secara perlahan kepada petani, melalui sistem yang dikenal dengan sistem ijon. Alasan petani untuk tidak menggunakan fasilitas kredit yang disediakan pemerintah adalah belum tahu caranya, tidak ada jaminan, serta bunganya dianggap terlalu besar.
2.      Kurang rangsangan. Masalah kurang rangsangan karena sikap puas diri para petani yang umumnya petani kecil. Ada semacam kejenuhan dan putus asa karena sulitnya meningkatkan taraf hidup dan pemenuhan kebutuhan keluarganya. Akibat berikutnya akan berpengaruh terhadap kemampuan untuk meningkatkan pendidikan dan tersedianya dana yang cukup untuk biaya operasional usahataninya. Rendahnya tingkat pendidikan akan berpulang kepada rendahnya adopsi teknologi, apalagi kurangnya dana tadi akan sulit untuk membeli teknologi. Selain itu karena masih kurang memikirkan tujuan komersialisasi untuk mendapatkan profit.
3.       Aspek teknologi. Para petani kecil pada umumnya sulit menerima setiap teknik atau metode baru (innovation) dan masih menggunakan alat-alat pertanian yang konvensiona (tradisional). Selain itu, setiap penerapan teknologi membutuhkan modal yang lebih besar untuk pengadan dan penguasaan teknologi tersebut. Lemah tingkat teknologinya identik dengan kelompok Late Majority. Yaitu kelompok yang lambat dalam hal menerima informasi ataupun teknologi terbaru. Sehingga mereka tetap berada di situ saja. Tidak berjalan ke depan. Tetapi kelompok ini lebih skeptic dan lambat dalam hal mengadoptir sesuatu hal baru yang asing bagi mereka, meskipun mereka punya kemauan untuk mengadopsi atau menerapkan suatu teknologi tersebut. Mereka hanya mengikuti teknologi yang baru jika telah disetujui oleh pendapat umum dan telah diterapkan oleh kebanyakan orang.
4.      Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang kurang kompeten. Sebagian besar usahatani kecil tumbuh secara tradisional dan merupakan usaha keluarga yang turun temurun. Keterbatasan kualitas SDM usaha kecil baik dari segi pendidikan formal maupun pengetahuan dan keterampilannya sangat berpengaruh terhadap manajemen pengelolaan usahanya, sehingga usaha tersebut sulit untuk berkembang dengan optimal. Disamping itu dengan keterbatasan kualitas SDM-nya, unit usaha tersebut relatif sulit untuk mengadopsi perkembangan teknologi baru untuk meningkatkan daya saing produk yang dihasilkannya.
5.       Lahan usahatani sempit sehingga luasan usahanya dianggap  yang tidak menguntungkan. Dengan lahan usahatani yang sempit, akan membatasi petani berbuat pada rencana yang lebih lapang. Keadaan yang demikian akan membuat petani serba salah, bahkan menjurus kepada keputusasaan. Tanah yang sempit dengan kualitas tanah yang kurang baik akan menjadi beban bagi petani pengelola usaha tani.
Akibat lanjutan dari sempitnya luasan lahan usahatani adalah rendahnya tingkat pendapatan petani. Besarnya jumlah anggota yang akan menggunakan pendapatan yang sedikit tadi, akan berakibat rendahnya tingkat konsumsi. Dan ini berpengaruh terhadap produktivitas kerja dan kecerdasan anak, menurunnya kemampuan berinvestasi, dan upaya pemupukan modal.
6.       Sistem penghitungan/analisis usahataninya tidak jelas. Hal itu disebabkan karena petani kecil umumnya tidak begitu memperhitungkan biaya produksi apa saja yang digunakan, misal lahan yang dimiliki sendiri jika dimasukkan dalam biaya produksi nantinya akan mendatangkan profit, jumah upah tenaga kerja yang digunakan tidak dibayarkan bahkan terkadang tidak diperhitungkan karena berasal dari keluarga,dll.
7.      Sulitnya akses terhadap kredit. Karena rumitnya prosedur dan syarat agunan, membuat petani mengandalkan pinjaman dari tengkulak atau pengijon dengan bunga sangat tinggi. Misalnya, pinjaman Rp. 1 juta harus dikembalikan Rp. 1,5 juta selama 1,5 – 3 bulan (Widodo, 2004). Selian itu, pihak lembaga pembiayaan juga enggan memberikan pinjaman kepada petani kecil karena dianggap tidak dapat memberikan keuntugan akibat skala usahanya yang kecil dan usahatani sangat rentan terhadap keadaan alam sehingga dianggap beresiko.
8.      Daya saing produknya rendah karena belum mengenal manfaat standar produk usahatani.
9.        Lemahnya Jaringan Usaha dan Kemampuan Penetrasi Pasar. Usahatani kecil yang pada umumnya merupakan unit usaha keluarga, mempunyai jaringan usaha yang sangat terbatas dan kemampuan penetrasi pasar yang rendah, ditambah lagi produk yang dihasilkan jumlahnya sangat terbatas dan mempunyai kualitas yang kurang kompetitif. Berbeda dengan usaha besar yang telah mempunyai jaringan yang sudah solid serta didukung dengan teknologi yang dapat menjangkau internasional dan promosi yang baik.
10.        Lemahnya sistem perbenihan perbibitan nasional yang digunakan petani kecil. Hal ini terjadi karena umumnya petani kecil hanya menggunakan bibit / benih yang sudah ada / yang kualitasnya biasa akibat harga yang sulit dijangkau untuk membeli benih / bibit yang bersertifikat.
11.      Sulitnya memperoleh pupuk sesuai waktu, jumlah maupun jenis yang tepat serta harga yang terjangkau. Hal itu disebabkan karena mahalnya harga pupuk, selain itu program subsidi yang diberikan pemerintah kepada petani kecil terkadang salah sasaran yang justru didapatkan pelaku usahatani yang berskala besar akibat adanya disparitas harga dan kesalahan dalam saluran distribusi (tataniaga) pupuk bersubsidi, serta lokasi yang sulit dijangkau pemerintah untuk memberikan pupuk bersubsidi karena daerahnya merupakan daerah terisolir.
12.        Masalah transformasi dan komunikasi. Upaya pembangunan termasuk membuka isolasi yang menutup terbukanya komunikasi dan langkanya transportasi. Hal itu menyulitkan petani untuk menyerap inovasi baru dan bahkan untuk memasarkan hasil usahataninya. Isolasi ini akan menutup setiap informasi harga yang sebetulnya sangat diperlukan oleh petani.
13.    Kurangnya informasi harga. Aspek-aspek pemasaran merupakan masalah diluar usahatani yang perlu diperhatikan. Seperti kita ketahui petani yang serba terbatas ini berada pada posisi yang lemah dalam penawaran persaingan, terutama yang menyangkut penjualan hasil dan pembelian bahan-bahan pertanian. Penentu harga produk tidak pada petani. Petani harus terpaksa menerima apa yang menrjadi kehendak dari pembeli dan penjual. Makin ia maju, ketergantungan akan dunia luar akan semakin besar. Tengkulak memegang peranan yang besar pada aspek penjualan hasil usahatani.
14.      Rendahnya nilai tukar petani hasil panen komoditas palawija (kedele, kacang tanah dan jagung langsung dijual pada tengkulak atau penebas dengan alasan tidak tahan disimpan lama).
15.      Meningkatnya kesadaran kesehatan oleh masyarakat yang berdampak terhadap pemilihan kualiatas produk pertanian. Pada umumnya petani kecil mengusahakan pertaniannya secara konvensional, yang menggunakan pupuk dan pestisida kimia, sementara itu masyarakat sekarang mulai memperhatikan makanan yang akan mereka konsumsi apakah tercemar residu kimia atau tidak sehingga mereka lebih memilih produk organik dari pada produk yang dihasilkan oleh petani kecil. Hal ini tentu saja akan mengakibatkan kerugian pada diri petani karena produknya tidak diminati konsumen.
16.      Terbatasnya ketersediaan infrastruktur, sarana prasarana lahan dan air. Infrastruktur pedesaan pendukung usahatani yang belum memadai, merupakan salah satu masalah utama usahatani. Salah satu infrastruktur yang sangat diperlukan oleh petani adalah jalan usahatani. Pada saat ini tidak tersedia jalan usahatani untuk menuju ke lahan sawah yang letaknya agak jauh dari pemukiman. Untuk menuju ke sawahnya petani harus melewati galangan atau lahan sawah petani lainnya. Sering kali mereka tidak diizinkan untuk melintasi galangan atau lahan sawah petani lainnya karena dapat merusak galangan atau tanaman yang telah ada. Hal ini kadang menjadi pemicu perselisihan diantara mereka. Ketiadaan jalan usahatani ini membuat petani mengalami kesulitan dalam mengangkut saprodi dan hasil usahatani sehingga menambah biaya produksi.
17.      Status dan luas kepemilikan lahan (9,55 juta KK, luas lahannya <0,5 ha)
Indonesia dengan jumlah penduduk nomor empat terbesar di dunia mempunyai lahan pertanian yang terbatas. Kondisi tersebut diperparah oleh tingginya laju peningkatan penduduk, alih fungsi lahan sawah untuk keperluan industri dan infra struktur, konversi lahan pertanaman padi menjadi lahan pertanaman komoditas lain yang bernilai jual lebih tinggi, serta menurunnya investasi pemerintah dalam pencetakan sawah baru, pembangunan sarana irigasi, dan menurunnya dana yang tersedia untuk memelihara jaringan irigasi yang sudah dibangun.
18.        Belum berjalannya difersifikasi pangan dengan baik. Kebanyakan petani menanam suatu komoditas dengan pola monokultur, dan dilakukan secara terus-menerus, sehingga apabila panen raya tiba harga komoditas tersebut jatuh sehingga menyebabkan petani rugi.
19.       Belum padunya antar sector dalam menunjang pembangunan pertanian
penanganan panen dan pasca panen belum didukung oleh penggunaan alsintan
; belum semua petani melaksanakan rekomendasi pemupukan (baru 60 %); hasil panen komoditas palawija (kedele, kacang tanah dan jagung langsung dijual pada tengkulak atau penebas dengan alasan tidak tahan disimpan lama).
20.        Kurang optimalnya kinerja dan pelayanan birokrasi pertanian.Para pekerja birokrasi pertanian umumnya jarang untuk terjun langsung ke lapang untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi oleh petani. Sehingga para petani menyelesaikan masalah dengan cara mereka sendiri yang terkadang justru merugikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar