Karakteristik
Usahatani Berskala Kecil
Berikut ini adalah ciri-ciri utama usahatani dengan
modal kecil adalah ;
1) Skala usaha kecil, unit
produksi tidak ekonomis
2) Tujuan utama untuk pendapatan keluarga (subsisten atau setengah
subsisten)
3) Perluasan lahan
dilakukan dengan modal
kerja terbatas
4) Lahan relative kecil
< 0,5 ha
5) Status lahan yang
diusahakan biasanya milik sendiri / menggarap lahan pihak lain
6) Modal terbatas
7) Daya beli rendah
sehingga kehilangan potongan harga yang seharusnya diterima bila membeli faktor
produksi dalam jumlah besar
8) Teknologi yang digunakan
konvensional (tradisional) karena memiliki keterbatasan modal untuk mengadopsi
teknologi baru yang canggih
9) Pengelolaan bersifat apa adanya (sederhana)
10) Tenaga kerjanya berasal
dari keluarga sehingga upahnya tidak dibayarkan namun terkadang hanya
diperhitungkan
11) Cara perhitungan
produksi dan Biaya usahatani: subsisten jumlah
produksi dinyatakan secara fisik
(kg, ton,dll) tanah dan modal milik sendiri tidak dihitung bunganya
12) Tingkat pendidikan
pekerjanya masih tergolong rendah
13) Berusahatani dalam lingkungan
tekanan penduduk lokal yang meningkat
14) Pendapatan usahataninya
rendah tapi relatuf stabil
15) Sangat sensitive
terhadap keadaan alam
16) Umumnya menanam suatu komoditas
dengan pola monokultur dan dilakukan secara berkeanjutan
Masalah-Masalah dalam
Usahatani Berskala Kecil di Indonesia
Berikut ini adalah
beberapa pandangan ahli (menurut Fadholi (1991), Soekartawi, Syukuriwantoro (2009)) mengenai
masalah-masaah dalam usahatani :
1. Langkanya permodalan
untuk pembiayaan usahatani. Hal ini diakibatkan oleh
keterbatasan akses petani terhadap permodalan dan
masih tingginya suku bunga usahatani. Permodalan merupakan
salah satu faktor produksi penting dalam usaha pertanian. Namun, dalam
operasional usahanya tidak semua petani memiliki modal yang cukup.
Aksesibilitas petani terhadap sumber-sumber permodalan masih sangat terbatas,
terutama bagi petani-petani yang menguasai lahan sempit yang merupakan
komunitas terbesar dari masyarakat pedesaan. Dengan demikian, tidak jarang
ditemui bahwa kekurangan biaya merupakan kendala yang menjadi penghambat bagi
petani dalam mengelola dan mengembangkan usaha tani.
Dengan terbatasnya
modal, maka penyediaan fasilitas kerja berupa alat-alat usahatani semakin sulit
dipenuhi. Akibatnya intensitas penggunaan kerja menjadi semakin menurun.
Ketergantungan keluarga akan modal menyebabkan petani terjerat sistem yang
dapat merugikan diri sendiri dan keluarganya, seperti adanya sistem ijon, dsb.
Sebagai akibat langkanya
modal usahatani, kredit menjadi penting. Dalam hal ini pemerintah perlu
menyediakan fasilitas kredit kepada petani dengan syarat mudah dicapai. Keadaan
yang demikian belum sepenuhnya ada. Demikian pula dengan prosedur mudah dan
suku bunga yang relatif rendah. Dengan demikian terbuka pemilik modal swasta
mengulurkan tangan, sambil membunuh secara perlahan kepada petani, melalui
sistem yang dikenal dengan sistem ijon. Alasan petani untuk tidak menggunakan
fasilitas kredit yang disediakan pemerintah adalah belum tahu caranya, tidak
ada jaminan, serta bunganya dianggap terlalu besar.
2. Kurang rangsangan. Masalah kurang
rangsangan karena sikap puas diri para petani yang umumnya petani kecil. Ada
semacam kejenuhan dan putus asa karena sulitnya meningkatkan taraf hidup dan
pemenuhan kebutuhan keluarganya. Akibat berikutnya akan berpengaruh terhadap
kemampuan untuk meningkatkan pendidikan dan tersedianya dana yang cukup untuk
biaya operasional usahataninya. Rendahnya tingkat pendidikan akan berpulang
kepada rendahnya adopsi teknologi, apalagi kurangnya dana tadi akan sulit untuk
membeli teknologi. Selain itu karena masih kurang memikirkan
tujuan komersialisasi untuk mendapatkan profit.
3. Aspek teknologi. Para petani kecil pada
umumnya sulit menerima setiap teknik atau metode baru (innovation) dan masih menggunakan
alat-alat pertanian yang konvensiona (tradisional). Selain itu, setiap penerapan teknologi
membutuhkan modal yang lebih besar untuk pengadan dan penguasaan teknologi
tersebut. Lemah
tingkat teknologinya identik dengan kelompok Late Majority.
Yaitu kelompok yang lambat dalam hal menerima informasi ataupun teknologi
terbaru. Sehingga mereka tetap berada di situ saja. Tidak berjalan ke depan.
Tetapi kelompok ini lebih skeptic dan lambat dalam hal mengadoptir sesuatu hal
baru yang asing bagi mereka, meskipun mereka punya kemauan untuk mengadopsi
atau menerapkan suatu teknologi
tersebut. Mereka hanya mengikuti teknologi yang baru jika telah disetujui oleh
pendapat umum dan telah diterapkan oleh kebanyakan orang.
4. Kualitas Sumber Daya
Manusia (SDM) yang kurang kompeten. Sebagian besar usahatani kecil tumbuh secara
tradisional dan merupakan usaha keluarga yang turun temurun. Keterbatasan
kualitas SDM usaha kecil baik dari segi pendidikan formal maupun pengetahuan
dan keterampilannya sangat berpengaruh terhadap manajemen pengelolaan usahanya,
sehingga usaha tersebut sulit untuk berkembang dengan optimal. Disamping itu
dengan keterbatasan kualitas SDM-nya, unit usaha tersebut relatif sulit untuk
mengadopsi perkembangan teknologi baru untuk meningkatkan daya saing produk
yang dihasilkannya.
5. Lahan usahatani sempit
sehingga luasan usahanya dianggap yang tidak
menguntungkan. Dengan lahan usahatani
yang sempit, akan membatasi petani berbuat pada rencana yang lebih lapang.
Keadaan yang demikian akan membuat petani serba salah, bahkan menjurus kepada
keputusasaan. Tanah yang sempit dengan kualitas tanah yang kurang baik akan
menjadi beban bagi petani pengelola usaha tani.
Akibat lanjutan dari
sempitnya luasan lahan usahatani adalah rendahnya tingkat pendapatan petani.
Besarnya jumlah anggota yang akan menggunakan pendapatan yang sedikit tadi,
akan berakibat rendahnya tingkat konsumsi. Dan ini berpengaruh terhadap
produktivitas kerja dan kecerdasan anak, menurunnya kemampuan berinvestasi, dan
upaya pemupukan modal.
6. Sistem
penghitungan/analisis usahataninya tidak jelas. Hal itu disebabkan
karena petani kecil umumnya tidak begitu memperhitungkan biaya produksi apa
saja yang digunakan, misal lahan yang dimiliki sendiri jika dimasukkan dalam
biaya produksi nantinya akan mendatangkan profit, jumah upah tenaga kerja yang
digunakan tidak dibayarkan bahkan terkadang tidak diperhitungkan karena berasal
dari keluarga,dll.
7. Sulitnya akses terhadap kredit. Karena rumitnya prosedur
dan syarat agunan, membuat petani mengandalkan pinjaman dari tengkulak atau
pengijon dengan bunga sangat tinggi. Misalnya, pinjaman Rp. 1 juta harus
dikembalikan Rp. 1,5 juta selama 1,5 – 3 bulan (Widodo, 2004). Selian itu, pihak lembaga
pembiayaan juga enggan memberikan pinjaman kepada petani kecil karena dianggap
tidak dapat memberikan keuntugan akibat skala usahanya yang kecil dan usahatani
sangat rentan terhadap keadaan alam sehingga dianggap beresiko.
8. Daya saing produknya
rendah karena belum mengenal manfaat standar
produk usahatani.
9. Lemahnya Jaringan Usaha
dan Kemampuan Penetrasi Pasar. Usahatani kecil yang pada umumnya
merupakan unit usaha keluarga, mempunyai jaringan usaha yang sangat terbatas
dan kemampuan penetrasi pasar yang rendah, ditambah lagi produk yang dihasilkan
jumlahnya sangat terbatas dan mempunyai kualitas yang kurang kompetitif.
Berbeda dengan usaha besar yang telah mempunyai jaringan yang sudah solid serta
didukung dengan teknologi yang dapat menjangkau internasional dan promosi yang
baik.
10. Lemahnya sistem
perbenihan perbibitan nasional yang digunakan petani
kecil. Hal ini terjadi karena umumnya petani
kecil hanya menggunakan bibit / benih yang sudah ada / yang kualitasnya biasa
akibat harga yang sulit dijangkau untuk membeli benih / bibit yang
bersertifikat.
11. Sulitnya memperoleh pupuk sesuai
waktu, jumlah maupun jenis yang tepat serta harga yang terjangkau. Hal itu disebabkan
karena mahalnya harga pupuk, selain itu program subsidi yang diberikan
pemerintah kepada petani kecil terkadang salah sasaran yang justru didapatkan
pelaku usahatani yang berskala besar akibat adanya disparitas harga dan
kesalahan dalam saluran distribusi (tataniaga) pupuk bersubsidi, serta lokasi
yang sulit dijangkau pemerintah untuk memberikan pupuk bersubsidi karena
daerahnya merupakan daerah terisolir.
12. Masalah transformasi dan
komunikasi. Upaya pembangunan
termasuk membuka isolasi yang menutup terbukanya komunikasi dan langkanya
transportasi. Hal itu menyulitkan petani untuk menyerap inovasi baru dan bahkan
untuk memasarkan hasil usahataninya. Isolasi ini akan menutup setiap informasi
harga yang sebetulnya sangat diperlukan oleh petani.
13. Kurangnya informasi
harga. Aspek-aspek pemasaran
merupakan masalah diluar usahatani yang perlu diperhatikan. Seperti kita
ketahui petani yang serba terbatas ini berada pada posisi yang lemah dalam
penawaran persaingan, terutama yang menyangkut penjualan hasil dan pembelian
bahan-bahan pertanian. Penentu harga produk tidak pada petani. Petani harus
terpaksa menerima apa yang menrjadi kehendak dari pembeli dan penjual. Makin ia
maju, ketergantungan akan dunia luar akan semakin besar. Tengkulak memegang
peranan yang besar pada aspek penjualan hasil usahatani.
14. Rendahnya nilai tukar
petani hasil
panen komoditas palawija (kedele, kacang tanah dan jagung langsung dijual pada
tengkulak atau penebas dengan alasan tidak tahan disimpan lama).
15. Meningkatnya kesadaran
kesehatan oleh masyarakat yang
berdampak terhadap pemilihan kualiatas produk pertanian. Pada umumnya petani
kecil mengusahakan pertaniannya secara konvensional, yang menggunakan pupuk dan pestisida kimia,
sementara itu masyarakat sekarang mulai memperhatikan makanan yang akan mereka
konsumsi apakah tercemar residu kimia atau tidak sehingga mereka lebih memilih
produk organik dari pada produk yang dihasilkan oleh petani kecil. Hal ini tentu
saja akan mengakibatkan kerugian pada diri petani karena produknya tidak
diminati konsumen.
16. Terbatasnya ketersediaan
infrastruktur, sarana prasarana lahan dan air. Infrastruktur pedesaan
pendukung usahatani yang belum memadai, merupakan salah satu masalah utama
usahatani. Salah satu infrastruktur yang sangat diperlukan oleh petani adalah
jalan usahatani. Pada saat ini tidak tersedia jalan usahatani untuk menuju ke
lahan sawah yang letaknya agak jauh dari pemukiman. Untuk menuju ke sawahnya
petani harus melewati galangan atau lahan sawah petani lainnya. Sering kali
mereka tidak diizinkan untuk melintasi galangan atau lahan sawah petani lainnya
karena dapat merusak galangan atau tanaman yang telah ada. Hal ini kadang
menjadi pemicu perselisihan diantara mereka. Ketiadaan jalan usahatani ini
membuat petani mengalami kesulitan dalam mengangkut saprodi dan hasil usahatani
sehingga menambah biaya produksi.
17. Status dan luas
kepemilikan lahan (9,55
juta KK, luas lahannya <0,5 ha)
Indonesia dengan jumlah penduduk nomor empat terbesar di dunia mempunyai lahan pertanian yang terbatas. Kondisi tersebut diperparah oleh tingginya laju peningkatan penduduk, alih fungsi lahan sawah untuk keperluan industri dan infra struktur, konversi lahan pertanaman padi menjadi lahan pertanaman komoditas lain yang bernilai jual lebih tinggi, serta menurunnya investasi pemerintah dalam pencetakan sawah baru, pembangunan sarana irigasi, dan menurunnya dana yang tersedia untuk memelihara jaringan irigasi yang sudah dibangun.
Indonesia dengan jumlah penduduk nomor empat terbesar di dunia mempunyai lahan pertanian yang terbatas. Kondisi tersebut diperparah oleh tingginya laju peningkatan penduduk, alih fungsi lahan sawah untuk keperluan industri dan infra struktur, konversi lahan pertanaman padi menjadi lahan pertanaman komoditas lain yang bernilai jual lebih tinggi, serta menurunnya investasi pemerintah dalam pencetakan sawah baru, pembangunan sarana irigasi, dan menurunnya dana yang tersedia untuk memelihara jaringan irigasi yang sudah dibangun.
18. Belum berjalannya
difersifikasi pangan dengan baik. Kebanyakan petani
menanam suatu komoditas dengan pola monokultur, dan dilakukan secara
terus-menerus, sehingga apabila panen raya tiba harga komoditas tersebut jatuh
sehingga menyebabkan petani rugi.
19. Belum padunya antar sector
dalam menunjang pembangunan pertanian
penanganan panen dan pasca panen belum didukung oleh penggunaan alsintan; belum semua petani melaksanakan rekomendasi pemupukan (baru 60 %); hasil panen komoditas palawija (kedele, kacang tanah dan jagung langsung dijual pada tengkulak atau penebas dengan alasan tidak tahan disimpan lama).
penanganan panen dan pasca panen belum didukung oleh penggunaan alsintan; belum semua petani melaksanakan rekomendasi pemupukan (baru 60 %); hasil panen komoditas palawija (kedele, kacang tanah dan jagung langsung dijual pada tengkulak atau penebas dengan alasan tidak tahan disimpan lama).
20. Kurang optimalnya
kinerja dan pelayanan birokrasi pertanian.Para pekerja birokrasi pertanian umumnya jarang untuk terjun
langsung ke lapang untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi oleh
petani. Sehingga para petani menyelesaikan masalah dengan cara mereka sendiri
yang terkadang justru merugikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar