- Komoditas/produk
apakah yang selama ini mendapatkan proteksi pemerintah? Mengapa? Bagaimana
bentuk proteksinya? Apakah sebenarnya yang dilindungi? Masyarakat, petani, atau
kepentingan politis?
Komoditas yang sering diproteksi adalah beras, gula, jagung, dan
kedelai.
Studi kasus:
Mempertimbangkan
Kembali Kebijakan Proteksi
Pro dan kontra terhadap konsep proteksi memang memiliki logikanya
masingmasing. Mereka yang pro menilai bahwa negara harus melindungi rakyatnya
dari berbagai ancaman termasuk ancaman produkproduk asing. Biasanya kebijakan
proteksi ini mencuat ketika negara tengah dilanda krisis, maka tidak aneh jika
proteksi diidentikkan dengan intervensi atau campur tangan negara terhadap
pasar.
Dalam konsep proteksi, negara versus pasar memang sulit
dihindari.Pasar sangat sensitif atas semua langkah yang diambil negara.
Mekanisme pasar bebas percaya bahwa semakin kecil peran negara akan semakin
baik bagi pasar. Karena itu proteksi bagi pasar dianggap sebagai bentuk
distorsi. Terlebih lagi ketika dunia sepakat bahwa perdagangan bebas sudah
tidak bisa ditunda lagi, maka bentuk-bentuk proteksionisme menjadi ilegal.
Dan kini paradoks global menjadi sulit dihindari. Kebijakan
proteksi yang dianggap ‘barang haram’ justru marak ketika banyak negara mulai
mengadopsi liberalisasi perdagangan. Dalam pertemuan informal para pemimpin
APEC pada akhir tahun 2009 misalnya, isu proteksi dibahas secara khusus. Mereka
khawatir munculnya fenomena proteksionisme yang bersifat global. Kekhawatiran
semakin menjadi ketika dunia mengalami krisis ekonomi.
Dalam sidang G-7 di Roma, Italia, para pemimpin negara-negara maju
kembali menyerukan agar krisis ekonomi yang tengah melanda tidak membuat mereka
tergoda melakukan langkah proteksi. Bahkan dalam pertemuan G20 di Seoul,
Kanselir Jerman Angela Merkel mengatakan bahwa sistem proteksi perdagangan akan
menimbulkan ancaman terbesar bagi pemulihan ekonomi global.
Seruan Merkel memang jelas arahnya, karena ditujukan bukan untuk
mereka tetapi untuk negaranegara berkembang. Namun kenyataan yang terjadi
sebaliknya. Menurut Wakil Menteri Perdagangan, Mahendra Siregar, dalam 3 -5
tahun mendatang negara-negara maju sudah tidak dapat diandalkan menjadi
pendorong perekonomian global. Bahkan, terdapat kecenderungan bahwa mereka
melakukan proteksi dan menerapkan kebijakan yang tidak rasional. Negara-negara
maju seperti tengah menerapkan standar ganda. Di luar mereka berteriak
menentang proteksi, tetapi ke dalam mereka menerapkannya.
2.
Pemikiran-pemikiran tentang dibangungnya mekanisme
perdagangan bebas global mulai ramai dibicarakan sejak akhir tahun 90an dan
kemudian diimplementasikan dengan terbentuknya lembaga resmi dunia WTO (World
Trade Organization) pada tahun 1994 yang (diharapkan) menangani masalah ini.
a)
Apakah argumentasi utama
yang dijanjikan para akhli pendukung perdagangan bebas sehingga yakin bahwa
mekanisme tersebut bisa mensejahterakan seluruh umat manusia di dunia?
b)
Apakah kehawatiran utama
negara-negara berkembang yang bersikukuh untuk tidak membukakan pasar
domestiknya terhadap perdagangan bebas, termasuk Indonesia yang mempertahankan
pasar pangan berasnya yang tertutup
a.
WTO
WTO sendiri pun
tidak lepas dari kegagalan-kegagalan yang seharusnya dihindari oleh WTO. Malah
bisa dibilang WTO bukan hanya gagal, tapi menunjukan adanya kepentingan
negara-negara industri dalam keberadaannya hingga saat ini, terutama Amerika
Serikat dan negara-negara Eropa. Dari awal pun posisi tawar menawar antara
negara maju dan negara berkembang pun tidak seimbang. Juga rapat-rapat WTO
hanya diikuti oleh 30an negara, yang berarti ada 100an negara yang tidak ikut
dalam mengambil keputusan rapat. Hal itu menunjukan bahwa negara-negara selain
negara maju tidak mendapat peran yang lebih dalam mengambil kebijakan-kebijakan
WTO.
Kebijakan-kebijakan
yang dihasilkan oleh WTO sendiri banyak menuai kontroversi bagi negara-negara
berkembang. Kebijakan-kebijakan tersebut utamanya antara lain: TRIPs,
Sanitation and Phytosanitation Standards (SAPS), Agreement on Agriculture
(AoA), General Agreement on Trade Services (GATS).
TRIPs adalah
kebijakan dari WTO yang mengatur akan pematenan hak kekayaan intelektual. Hal
yang mendasari ini adalah dorongan keuntungan ekonomi dan penguasaan pasar oleh
negara-negara industri maju. Melalui TRIPs, negara-negara maju berupaya untuk
mengendalikan penguasaan perdagangan internasional melalui pematenan
produk-produk mereka. Hal ini ternyata dapat berdampak buruk bagi negara-negara
berkembang karena dengan kebijakan-kebijakan seperti ini akan mengakibatkan
tidak adanya transfer teknologi karena apa yang mau ditransfer tersebut sudah
menjadi hak dari negara maju yang mematenkan. Juga sekali lagi dapat menjadi
bumerang bagi negara berkembang karena pematenan hanya pada skala industri,
tidak pada skala pertanian juga. Artinya proses-proses bioteknologi yang
sekarang berhasil menghasilkan bibit-bibit unggul itu tidak dapat dipatenkan
juga. Hal ini dimanfaatkan oleh negara-negara industri maju untuk melakukan
transfer teknologi dan pengetahuan untuk pertaniannya, yang dimana pada
sebaliknya negara-negara berkembang susah untuk mengakses transfer teknologi
pada skala industri.
SAPS, adalah
perjanjian yang membatasi kebijakan pemerintah dalam hal keamanan makanan
(kontaminasi bakteri, pestisida, pemeriksaan dan pelabelan) dan kesehatan
binatang dan tanaman (impor wabah dan penyakit). Perjanjian ini merugikan
karena dapat melemahkan Precautionary Principle (Prinsip Pencegahan) pada
negara-negara yang belum melakukan penelitian ilmiah untuk menunjukkan bukti
tuduhan. Kebijakan ini sebenarnya baik maksudnya, tapi dapat menimbulkan
terlambatnya negara yang diimpor untuk mencegah wabah atau penyakit dari binatang
ataupun tanaman yang masuk ke negara mereka.
Agreement on
Agriculture (AoA), perjanjian yang dihasilkan dari
putaran Uruguay ini, mengatur perdagangan pangan secara internasional
dan dalam negeri. Aturan-aturan ini memacu laju konsentrasi pertanian ke
agribisnis dan dapat melemahkan kemampuan negara-negara miskin untuk mencukupi
kebutuhan swadaya pangan dengan cara bertani subsistens (bahan pokok penyambung
hidup). Hal ini menyebabkan rendahnya harga komoditas mereka atas jumlah ekspor
mereka yang juga terbatas.
GATS adalah
perjanjian yang dimaksudkan untuk menjadi tata perdagangan bebas dalam bidang
jasa. Perjanjian ini bertujuan untuk meliberalisasi perdagangan jasa dengan
menghilangkan hambatan, kontrol dan regulasi atas penyediaan jasa. Hal yang menakutkan
adalah GATS didasarkan pada prinsip yang memrioraritaskan nilai ekonomis
dibandingkan nilai sosial dari penyediaan jasa. Situasi ini mengarah pada
komersialisasi jasa yangberjalan bersamaan dengan liberalisasi ekonomi
yang membatasi peran negara atau badan publik. Hal ini berimplikasi pada
privatisasi pada sektor-sektor penting seperti air, komunikasi, kesehatan, dan
pendidikan. Pengalihan kewenangan pada swasta juga akan kemudian menimbulkan
kesenjangan kekuasaan antara korporasi dan konsumen/publik. Pengelolaan secara
arbitreri oleh swasta juga akan menimbulkan naiknya tarif layanannya.
Pada WTO sendiri
terdapat juga standar ganda dalam perdagangan internasional, dimana
negara-negara industri maju melibatkan kepentingan mereka dalam WTO Standar ganda
yang dimaksud adalah saat negara-negara maju menggunakan posisi tawar mereka
termasuk di arena WTO dan memaksakannya pada negara-negara lainnya. Contoh yang
kentara dari standar ganda perdagangan internasional ini adalah kasus Common
Agricultural Policy yang diberlakukan ole Uni Eropa.
Common Agricultural
Policy (CAP) adalah kebijakan pertanian yang dirancang oleh Eropa pada tahun
1950-an. Kondisi Eropa pada tahun tersebut berbeda sekali dengan kondisi
sekarang. CAP muncul dari trauma dan kelaparan akibat perang, sehingga tidak
mengherankan jika CAP mempunyai tujuan menjadikan Eropa dapat mencukupi
kebutuhan pangannya sendiri, menjamin kelayakan hidup petani dan menentukan
harga yang layak bagi konsumen. Akan tetapi lama-lama peningkatan maupun
penurunan pertanian bukanlah masalah bagi orang Eropa karena mereka sudah
mempunyai industri yang maju dan segala bentuk proteksi sosial. Padahal
pertanian hanya sebesar 4% di Uni Eropa dan sebesar 1% di Inggris. Berbeda
dengan negara-negara berkembang sepertiIndonesia yang 60% merupakan
pertanian, yang menjadikan eratnya pertumbuhan pertanian dengan pengurangan
kemiskinan pada negara-negara tersebut. Negara-negara berkembang dirugikan
dengan murahnya produk-produk pertanian dari Uni Eropa. CAP telah melukai para
petani di negara-negara berkembang dengan dua cara, yaitu menghancurkan
produsen-produsen di negara berkembang dengan dumping dengan menyubsidi
barang-barang di pasar lokal mereka dan mengurangi potensi ekspor pertanian ke
negara-negara berkembang baik ke negara-negara Eropa maupun pasar-pasar pada
negara ketiga. Dampak dari subsidi tersebut menjadikan 75% keuntungan
produsen ekspor di UE berasal dari CAP, bukan dari pasar.
Berdirinya WTO
menghendaki adanya sebuah keterbukaan antar pihak-pihak yang terlibat dalam
perdagangan internasional, sehingga akan dapat dihindari perilaku-perilaku
curang diantara mereka. Akan tetapi, pada kenyataannya, pendirian WTO justru
sekedar dimanfaatkan oleh segelintir kelompok dan negara saja. WTO terlalu
didominasi oleh kepentingan korporasi-korporasi besar dan Negara-negara Maju,
untuk menekan Negara-negara Dunia Ketiga. Hal ini berakibat pada terjadinya
kesenjangan yang teramat curam antara Negara Maju dan Negara Berkembang.
Segelintir Negara Maju menjadi sangat kaya raya, sedangkan banyak Negara
Berkembang semakin terjerumus ke jurang kemiskinan dan kesengsaraan yang
memilukan. Negara-negara Maju sebagai pendukung utama WTO, secara terus-menerus
memelintir realitas sosial, demi melegitimasi dan mengokohkan berbagai
kepentingan kekuasaan mereka. Upaya ini dilakukan dengan menyodorkan berbagai
macam agenda pembicaraan pada setiap pertemuan WTO, dengan dalih untuk
memperbaiki sistem yang dikatakan telah berlaku tidak adil. Selanjutnya, hasil
perundingan tersebut mereka bungkus dengan suatu perjanjian yang mempunyai
kekuatan hukum mengikat. Mereka—Negara Maju, dengan lantang juga memberikan
berbagai pernyataan kepada publik, yang memberikan basis legitimit bagi
bangunan-bangunan teoritik tawaran mereka. Mulai dari perbaikan kesejahteraan,
pengentasan kemiskinan, keadilan dalam perdagangan, dll. Padahal, mayoritas
dari tawaran tersebut adalah sebuah keniscayaan dan berisi serangkain janji
keadilan yang semu belaka.
b.Penciptaan perdagangan bebas dan pasar bebas tidak
hanya mendapat hambatan dari perekonomian negara berkembang saja, melainkan
juga dari seluruh bentuk perekonomian negara konvensional. Kekhawatiran negara
terhadap pelaksanaan pasar bebas adalah terkikisnya kedaulatan negara hingga
titik minimum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar