Dasar
hukum sistem standardisasi produk pertanian nasional sesuai dengan SK Menteri
Pertanian No. 170/Kpts/OT.210/3/2002
tentang Pelaksanaan Standardisasi Nasional di Bidang Pertanian. SK tersebut
merumuskan mengenai perumusan dan penetapan standar, penerapan standar,
akreditasi dan sertifikasi, pembinaan dan pengawasan serta saksi.
Sesuai
Permentan No. 58 / Permentan / OT.140 / 8 / 2007 tentang Sistem Standardisasi
Nasional di Bidang Pertanian bahwa untuk mendapatkan sertifikat sistem mutu,
pelaku usaha di bidang pertanian wajib memenuhi persyaratan sistem manajemen
mutu produk pangan segar atau non pangan yang ditetapkan pada standar di bidang
pertanian :
§ Menteri
Negara Riset dan Teknologi / Ketua Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
selaku Badan Standardisasi Nasional (BSN) telah menyetujui beberapa Standar
Komoditi Hasil Pertanian menjadi Standar Nasional Indonesia.
§ Jaminan mutu pangan produk pertanian harus memenuhi
sistem mutu berdasar konsepsi HACCP atau SNI 01-4852-1998, atau Sistem Pangan
Organik atau SNI 01-6729 - 2002; atau Sistem Mutu ISO 22000:2005 tentang sistem
mutu keamanan pangan.
§ Jaminan mutu non pangan produk pertanian memenuhi ISO 9001 - 2000 atau SNI 19-9001 - 2000
Standarisasi yang Ada di Pertanian meliputi Prosedur, Persyaratan, dan
Kegunaannya
Standardisasi adalah
proses merumuskan, menetapkan, menerapkan dan merevisi
standar,
yang dilaksanakan secara tertib melalui kerjasama dengan semua pihak yang
berkepentingan. Standardisasi mutu produk berkaitan
dengan appeareance/kenampakan, seperti : ukuran besar/volume, warna, kandungan
air dan sebagainya yang ditentukan oleh penjual dan pembeli. Selain itu, mutu
produk juga dikaitkan dengan masalah keamanan pangan, keamanan bagi manusia,
hewan dan tumbuhan serta lingkungan. Standar standar produksi dan pengolahan
produk pertanian semuanya disusun sebagai alat yang membantu mencegah
tersingkirnya sebuah produk dari pasar.
Standarisasi
tinkat Internasional :
1. Metode HACCP (Hazard Analysis & Critical Control Points)
HACCP merupakan suatu konsepsi manajemen mutu yang diterapkan untuk
memberikan jaminan keamanan produk pangan. Metode HACCP merupakan suatu metode untuk
melakukan risk analysis / analisa resiko
terhadap bahaya yang disebabkan oleh makanan dalam proses penyediaannya dan
setiap organisasi yang menjual produknya diwajibkan memenuhi persyaratan
tersebut. HACCP merupakan
suatu sistem jaminan mutu yang berdasarkan kepada
kesadaran bahwa hazard (bahaya) dapat timbul pada berbagai titik atau
tahap produksi tertentu, tetapi dapat dilakukan pengendaliannya untuk mengontrol
bahaya bahaya tersebut. Sistem HACCP adalah alat manajemen yang digunakan
untuk memproteksi rantai pasokan pangan dan proses produksi terhadap
kontaminasi bahaya-bahaya mikrobiologis, kimia dan fisik. Walaupun saat ini aplikasi HACCP baru dilaksanakan oleh
industri-industri besar, tapi prinsip-prinsip dasarnya dapat diterapkan untuk industri
kecil sebagai penopang industri pangan tradisional di tanah air.
v Tujuan HACCP
Tujuan
Umum: Meningkatkan kesehatan masyarakat dengan cara mencegah atau mengurangi
kasus keracunan dan penyakit melalui makanan (“Food born disease”).
Tujuan
Khusus :
•
Mengevaluasi cara produksi makanan à bahaya
•
Memperbaiki cara produksi makanan à
critical process
•
Memantau & mengevaluasi penanganan,
pengolahan, sanitasi dan meningkatkan inspeksi mandiri
HACCP
dapat diterapkan dalam rantai produksi pangan mulai dari produsen utama bahan
baku pangan (pertanian), penanganan, pengolahan, distribusi, pemasaran hingga
sampai kepada pengguna akhir. kegiatan yang perlu dilakukan untuk menjamin
dihasilkannya produk pangan yang memenuhi persyaratan mutu dan keamanan untuk
perdagangan domestik maupun global, yaitu melalui pendekatan HACCP untuk
menghasilkan produk yang aman.
- Praktek Pertanian
yang baik atau Good Agricultural Practices (GAP)
GAP/SOP adalah untuk menjadi
panduan umum dalam melaksanakan budidaya tanaman buah, sayur, biofarmaka, dan
tanaman hias secara benar dan tepat, sehingga diperoleh produktivitas tinggi,
mutu produk yang baik, keuntungan optimum, ramah lingkungan dan memperhatikan
aspek keamanan, keselamatan dan kesejahteraan petani, serta usaha produksi yang
berkelanjutan.
Departemen Pertanian (2008)
menerangkan bahwa penerapan GAP melalui Standar Operasional Prosedur (SOP) yang
spesifik lokasi, spesifik komoditas dan spesifik sasaran pasarnya, dimaksudkan
untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas produk yang dihasilkan petani
agar memenuhi kebutuhan konsumen dan memiliki daya saing tinggi dibandingkan
dengan produk padanannya dari luar negeri. Dasar hukum penerapan GAP di
Indonesia adalah Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 61/Permentan/OT.160/11/2006,
tanggal 28 November 2006 untuk komoditi buah, sedangkan untuk komoditas sayuran
masih dalam proses penerbitan menjadi Permentan. Dengan demikian penerapan GAP
oleh pelaku usaha mendapat dukungan legal dari pemerintah pusat maupun daerah.
Tahapan kegiatan pelaksanaan
penerapan GAP/SOP adalah sebagai berikut : (1) sosialisasi GAP, (2) penyusunan
dan perbanyakan SOP budidaya, (3) penerapan GAP/SOP budidaya, (4) identifikasi
kebun/lahan usaha, (5) penilaian kebun/lahan usaha, (6) kebun/lahan usaha tercatat/teregister,
(7) penghargaan kebun/lahan usaha GAP kategori Prima-3, Prima-2 dan Prima-1,
dan (8) labelisasi produk prima.
Untuk mempercepat penerapan GAP/SOP
dilakukan hal-hal sebagai berikut : (1) Mendorong terwujudnya Supply Chain
Management (SCM), (2) Merubah paradigma pola produksi menjadi market
driven, (3) Mendorong peran supermarket, retailer, supplier, dan eksportir
untuk mempersyaratkan mutu dan jaminan keamanan pangan pada produk, (4)
Penyediaan tenaga pendamping penerapan GAP, (5) Melakukan sinkronisasi dengan
program instansi terkait lainnya, (6) Perumusan program bersama instansi
terkait lainnya dan melakukan promosi, (7) Target kuantitatif pencapaian kebun
GAP tercantum dalam Renstra Departemen Pertanian, (8) Membentuk dan memberdayakan
lembaga sertifikasi untuk melakukan sertifikasi kebun dan produk Prima dan (9)
Mendorong sosialisasi mekanisme sistem sertifikasi dan perangkatnya.
Penyebab belum diterapkannya GAP
berbagai negara adalah mahalnya biaya yang harus dikeluarkan untuk menerapkannya..
Menurut Woods dan Suzanne (2005) saat melakukan penelitian dalam menghitung
biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan Good Agricultural Practices dalam
budidaya tanaman strawberry di sembilan negara bagian di Amerika, ternyata
penerapan GAP untuk tanaman strawberry dibutuhkan biaya berkisar pada US$ 288
/ha/musim tanam. Biaya tersebut antara lain untuk penyediaan toilet dan tempat
cuci tangan di sekitar lahan bagi pemetik strawberry baik untuk pekerja maupun
pengunjung, pelatihan hygiene, pengepakan dan sanitasi pendingin,
pennggunaan baki sekali pakai apabila diperlukan, monitoring penggunaan air
untuk irigasi dan pengembangan rencana penanganan manajemen krisis bagi
usaha apabila terjadi keracunan yang ditemukan dalam makanan.
Mahalnya biaya yang harus
dikeluarkan tentu menjadi kendala besar untuk dapat diterapkan oleh para petani
di Indonesia yang mayoritas masih berkutat dengan masalah kemiskinan dan lemah
dalam SDM terutama dilihat dari tingkat pendidikan para petani di Indonesia.
Untuk menerapkan GAP di Indonesia saat ini dioptimalkan untuk dilaksanakan oleh
perusahaan agribisnis yang berskala besar dan berorientasi ekspor.
- GHP
(Good Handling Practice)
GHP merupakan prosedur sanitasi
untuk distribusi buah dan sayuran dari ladang hingga ke meja makan. Penerapan
GHP dapat membantu mengurangi resiko kontaminasi terhadap produk segar selama
penanganan, pengemasan, penyimpanan dan transportasi. Sehubungan dengan hal
tersebut, untuk meningkatkan penerapan penanganan pascapanen di tingkat
petani/gapoktan, asosiasi dan pengusaha, telah dikeluarkan Peraturan Menteri
Pertanian No. 44/Permentan/OT.140/10/2009 tentang Pedoman Penanganan Pascapanen
yang Baik (Good Handling Practices/GHP) Hasil Pertanian Asal Tanaman.
Program jaminan keamanan pangan meliputi program persyaratan (GAP, GMP,
GHP, SOP) dan penerapan sistem HACCP serta ISO.
Permentan No. 44 tahun 2009 tentang Good Handling Practices
diterbitkan dengan tujuan menekan kehilangan/kerusakan hasil, memperpanjang
daya simpan, mempertahankan kesegaran, meningkatkan daya guna, meningkatkan
nilai tambah dan daya saing, meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya dan
sarana dan memberikan keuntungan yang optimun dan/atau mengembangkan usaha
pascapanen yang berkelanjutan.
- GMP atau Good Manufacturing Practices
GMP atau Good
Manufacturing Practices Adalah
Cara / teknik berproduksi yang baik dan benar untuk menghasilkan produk yang
benar memenuhi persyaratan mutu dan keamanan. GMP merupakan sistem
pengendalian kualitas produk makanan, kosmetik dan obat-obatan yang pertama
kali dikembangkan oleh FDA, sama seperti HACCP. GMP berisi kebijakan, prosedur
dan metode yang digunakan sebagai pedoman untuk menghasilkan produk yang
memenuhi standar kualitas dan higiene yang ditetapkan. Good
Manufacturing Practices lebih
berperan dalam proses produksi karena elemen-elemen dalam GMP merupakan
elemen-elemen dalam sistem produksi
- GDP atau Good Distribution Practices
Good Distribution Practice (GDP)
adalah bagian dari fungsi pemastian kualitas (quality assurance), untuk
memastikan produk, agar secara konsisten disimpan, dikirim, dan ditangani
sesuai kondisi yang dipersyaratkan oleh spesifikasi produk. Distributor pangan
umumnya juga belum memahami Good Distribution Practice (GDP). Pemeriksaan
terhadap sarana distribusi produk pangan dalam hal sanitasi, bangunan dan
fasilitas yang digunakan, serta produk yang dijual menemukan sekitar 41,60% –
44,29% sarana yang tidak memenuhi syarat sebagai distributor makanan.
Secara khusus GDP diterapkan
didalam industri farmasi/obat-obatan dengan nama lokal yaitu CDOB (Cara
Distribusi Obat yang Baik) dan dikontrol secara langsung oleh BPOM (Badan
Pengawas Obat dan Makanan). Namun ternyata tidak ada yang salah saat
prinsip-prinsip GDP ini diterapkan disemua jenis industri selain industri
farmasi. Good Distribution Practice atau GDP adalah sistem jaminan kualitas
yang berhubungan dengan persyaratan : pengadaan, penerimaan, penyimpanan da
pengiriman obat-obatan.
- GRP (Good
Retailing Practices)
Sebagai rantai pangan terakhir yang
langsung berhubungan dengan konsumen yang akan mengkonsumsi produk pangan,
ritel memainkan peranan penting sebagai katup pengaman terakhir yang harus
dapat memastikan bahwa produk yang nantinya akan dikonsumsi masyarakat adalah
benar-benar aman. Untuk memberikan jaminan keamanan terhadap produk pangan yang
dijualnya supermarket perlu menerapkan cara-cara yang baik dan benar (best
practices) dalam sistem usahanya. Hal ini telah diamanatkan dalam Peraturan
Pemerintah no 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, secara
tegas menyebutkan bahwa setiap orang yang bertanggung jawab dalam
penyelenggaraan kegiatan pada rantai pangan yang meliputi proses produksi,
penyimpanan, pengangkutan, dan peredaran pangan wajib memenuhi persyaratan
sanitasi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemenuhan persyaratan sanitasi
tersebut dilakukan dengan cara menerapkan pedoman cara yang baik dan untuk
bisnis ritel adalah dengan menerapkan Cara Ritel Pangan yang Baik atau Good
Retailing Practices (GRP). Agar pangan yang dijual benar-benar terjamin aman,
selain dengan menerapkan GRP, pengusaha ritel harus dapat mensyaratkan kepada
pemasoknya untuk menerapkan cara –cara yang baik dalam produksi, maupun
distribusinya termasuk dapat meminta kepada pemasok untuk menunjukkan
sertifikat yang membuktikan bahwa pemasok atau petani telah menerapkan pedoman
cara-cara yang baik tersebut.
Peraturan Pemerintah no 28 tahun
2004 pasal 8 menyebutkan bahwa pedoman cara ritel pangan yang baik atau Good
Retailing Practices adalah cara ritel yang memperhatikan aspek keamanan pangan.
Secara lebih jelas GRP dalam bidang pangan dapat didefinisikan sebagai
praktek-praktek yang dianjurkan dalam usaha ritel untuk menjamin bahwa produk
pangan yang dijual di ritel tersebut adalah aman, bebas dari risiko yang dapat
mengganggu kesehatan manusia sambil juga memperhatikan kesehatan dan
keselamatan pekerja dan meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan.
Secara umum penerapan GRP dalam Penanganan Pangan
mempunyai tujuan dan manfaat yang lebih luas dari sekedar keamanan pangan, diantaranya:
-
Menjaga dan meningkatkan kepercayaan
konsumen terhadap usaha ritel.
-
Meningkatkan daya saing usaha ritel.
-
Memenuhi persyaratan undang-undang dan
peraturan.
-
Mengurangi klaim kasus
keracunan/kerugian yang diajukan konsumen.
- GCP (Good
Cathering Practices) atau cara mengkonsumsi yang baik
-
Berhubungan dengan keamanan produk pangan sampai pada konsumen
akhir
Info layanan konsumen à kepuasan
konsumen/pelanggan sebagai acuan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar