PEMBANGUNAN PERTANIAN SEBAGAI BASIS PERTUMBUHAN EKONOMI
BAB
I
PENDAHULUAN
Menurunnya kontribusi sektor pertanian terhadap struktur
perekonomian nasional tidak terlepas dari adanya beberapa titik lemah dalam
kebijakan dan implementasi yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi (termasuk
pertanian). Pemerintah telah melakukan berbagai pendekatan pembangunan sektor
pertanian seperti pembangunan pertanian terpadu, pembangunan pertanian
berwawasan lingkungan, dan pembangunan pertanian berwawasan agroindustri, namun
upaya tersebut sampai saat ini belum menghasilkan pencapaian yang menggembirakan.
Menempatkan pembangunan pertanian sebagai penggerak utama pembangunan ekonomi
nasional (agricultural-led development) dengan segala tantangan yang harus
dihadap,i baik yang sifatnya internal maupun eksterna,l diharapkan mampu memecahkan
persoalan ekonomi melalui pertumbuhan ekonomi dengan perluasan kesempatan kerja
dan berusaha, peningkatan devisa, pemerataan, percepatan pembangunan ekonomi
daerah, membangun ketahanan pangan dan pelestarian lingkungan hidup. Sejalan dengan
kemajuan ilmu dan teknologi yang mempengaruhi corak berpikir petani, konsumen
dan pelaku pembangunan pertanian yang lain, maka konsep klasik Mosher perlu
disesuaikan, termasuk didalamnya reorientasi peran pemerintah.
Peranan Pertanian Dalam
pembangunan Perekonomian Indonesia
Pembangunan Pertanian di Indonesia tetap
dianggap terpenting dari keseluruhan pembangunan ekonomi, apalagi semenjak
sektor pertanian ini menjadi penyelamat perekonomian nasional karena justru pertumbuhannya
meningkat, sementara sektor lain pertumbuhannya negatif. Beberapa alas an yang
mendasari pentingnya pertanian di Indonesia:
(1) potensi sumberdayanya yang besar dan beragam,
(1) potensi sumberdayanya yang besar dan beragam,
(2) pangsa terhadap pendapatan nasional cukup
besar,
(3) besarnya penduduk yang menggantungkan
hidupnya pada sektor ini dan
(4) menjadi basis pertumbuhan di pedesaan
Potensi pertanian yang besar namun sebagian
besar dari petani banyak yang termasuk golongan miskin adalah sangat ironis
terjadi di Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah bukan saja
kurang memberdayakan petani tetapi sektor pertanian keseluruhan. Disisi lain
adanya peningkatan investasi dalam pertanian yang dilakukan oleh investor PMA
dan PMDN yang berorientasi pada pasar ekspor umumnya padat modal dan perananya
kecil dalam penyerapan tenaga kerja atau lebih banyak menciptakan buruh tani.
Berdasarkan latar belakang tersebut ditambah dengan kenyataan justru kuatnya aksesibilitas pada investor asing /swasta besar dibandingkan dengan petani kecil dalam pemanfaatan sumberdaya pertanian di Indonesia, maka dipandang perlu adanya grand strategy pembangunan pertanian melalui pemberdayaan petani kecil. Melalui konsepsi tersebut, maka diharapkan mampu menumbuhkan sektor pertanian, sehingga pada gilirannya mampu menjadi sumber pertumbuhan baru bagi perekonomian Indonesia, khususnya dalam hal pencapaian sasaran :
Berdasarkan latar belakang tersebut ditambah dengan kenyataan justru kuatnya aksesibilitas pada investor asing /swasta besar dibandingkan dengan petani kecil dalam pemanfaatan sumberdaya pertanian di Indonesia, maka dipandang perlu adanya grand strategy pembangunan pertanian melalui pemberdayaan petani kecil. Melalui konsepsi tersebut, maka diharapkan mampu menumbuhkan sektor pertanian, sehingga pada gilirannya mampu menjadi sumber pertumbuhan baru bagi perekonomian Indonesia, khususnya dalam hal pencapaian sasaran :
(1) mensejahterkan petani,
(2) menyediakan pangan,
(3) sebagai wahana pemerataan pembangunan
untuk mengatasi kesenjangan pendapatan antar masyarakat maupun kesenjangan
antar wilayah,
(4) merupakan pasar input bagi pengembangan
agroindustri,
(5) menghasilkan devisa,
(6) menyediakan lapangan pekerjaan,
(7) peningkatan pendapatan nasional, dan
(8) tetap mempertahankan kelestarian
sumberdaya.
POTENSI AGRIBISNIS INDONESIA
Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar
dalam pengembangan agribisnis bahkan dimungkinkan akan menjadi leading sector
dalam pembangunan nasional. Potensi agribisnis tersebut diuraikan sebagai
berikut :
1. Dalam Pembentukan Produk Domestik bruto ,
sektor agribisnis merupakan penyumbang nilai tambah (value added) terbesar
dalam perekonomian nasional, diperkirakan sebesar 45 persen total nilai tambah.
2. Sektor agrbisnis merupakan sektor yang
menyerap tenaga kerja terbesar diperkirakan sebesar 74 persen total penyerapan
tenaga kerja nasional.
3. Sektor agribisnis juga berperan dalam
penyediaan pangan masyarakat. Keberhasilan dalam pemenuhan kebutuhan pangan
pokok beras telah berperan secara strategis dalam penciptaan ketahanan pangan
nasional (food security) yang sangat erat kaitannya dengan ketahanan social
(socio security), stabilitas ekonomi, stabilitas politik, dan keamanan atau
ketahanan nasional (national security).
ketahanan nasional (national security).
4. Kegiatan agribisnis umumnya bersifat
resource based industry. Tidak ada satupun negara di dunia seperti Indonesia
yang kaya dan beraneka sumberdaya pertanian secara alami (endowment factor).
Kenyataan telah menunjukkan bahwa di pasar internasional hanya industri yang
berbasiskan sumberdaya yang mempunyai keunggulan komparatif dan mempunyai
konstribusi terhadap ekspor terbesar, maka dengan demikian pengembangan
agribisnis di Indonesia lebih menjamin perdagangan yang lebih kompetitif.
5. Kegiatan agribisnis mempunyai keterkaitan
ke depan dan kebelakang yang sangat besar (backward dan forward linkages) yang
sangat besar. Kegiatan agribisnis (dengan besarnya keterkaitan ke depan dan ke
belakang) jika dampaknya dihitung berdasarkan impact multilier secara langsung
dan tidak langsung terhadap perekonomian diramalkan akan sangat besar.
6. Dalam era globalisasi perubahan selera
konsumen terhadap barangbarang konsumsi pangan diramalkan akan berubah menjadi
cepat saji dan pasar untuk produksi hasil pertanian diramalkan pula terjadi
pergeseran dari pasar tradisional menjadi model Kentucky. Dengan demikian
agroindustri akan menjadi kegiatan bisnis yang paling attraktif.
7. Produk agroindustri umumnya mempunyai
elastisitas yang tinggi, sehingga makin tinggi pendapatan seseorang makin
terbuka pasar bagi produk agroindustri.
8. Kegiatan agribisnis umumnya menggunakan
input yang bersifat renewable, sehingga pengembangannya melalui agroindustri
tidak hanya memberikan nilai tambah namun juga dapat menghindari pengurasan
sumberdaya sehingga lebih menjamin sustainability.
9. Teknologi agribisnis sangat fleksibel yang
dapat dikembangkan dalam padat modal ataupun padat tenaga kerja, dari
manejement sederhana sampai canggih, dari skala kecil sampai besar. Sehingga
Indonesia yang penduduknya sangat banyak dan padat, maka dalam pengembangannya
dimungkinkan oleh berbagai segmen usaha.
10. Indonesia punya sumberdaya pertanian yang
sangat besar, namun produk pertanian umumnya mudah busuk, banyak makan tempat,
dan musiman. Sehingga dalam era globalisasi dimana konsumen umumnya cenderung
mengkonsumsi nabati alami setiap saat, dengan kualitas tinggi dan tidak busuk
dan makan tempat, maka peranan agroindustri akan dominant.
Mengapa
Pertanian ?
Studi
komprehensif dari berbagai disiplin keilmuan membuktikan betapa proses perkembangan
ekonomi-baik dalam arti sempit industrialisasi maupun arti luas modernisasi yang
terjadi sejak Revolusi Industri di Inggris telah menimbulkan kemerosotan
peranan masyarakat tradisional (golongan petani di perdesaan) yang makin
bertambah cepat. Sebagai akibatnya, ketika terjadi pertumbuhan ekonomi, peranan
golongan petani semakin menciut, dan sebagai gantinya, peranan masyarakat
modern semakin meningkat. Sejajar dengan itu maka peranan golongan buruh
industri, pedagang, pengusaha-pokoknya semua golongan masyarakat kota-juga
semakin meningkat.
Ditinjau
dari struktur perekonomian nasional, sektor pertanian menempati posisi yang penting
dalam kontribusinya terhadap PDB. Pada saat krisis, sumbangan sektor pertanian terhadap
PDB mengalami peningkatan paling besar dibanding sektor lainnya. Dari segi penyerapan
tenaga kerja, pada tahun 2003 sektor pertanian mampu menyerap sekitar 46 persen,
paling tinggi di antara sektor-sektor lain (Yudhoyono, 2004). Disisi lain kita perlu
mencermati menurunnya kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian
nasional dimana mulai tahun 1969-1973 atau Pelita I kontribusi sektor pertanian
sebesar 33,69 %) sedangkan pada akhir tahun 2004 tercatat kontribusi sektor
pertanian terhadap struktur perekonomian nasional sebesar 15,39% (Berita Resmi Statistik-BPS,
2004). Menurunya kontribusi sektor pertanian terhadap struktur perekonomian
nasional tidak terlepas dari adanya beberapa titik lemah dalam kebijakan dan implementasi
yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi (termasuk pertanian) antara lain:
1.
Ketimpangan kebijakan makro dan mikro ekonomi. Perhatian pada kepentingan non pertanian
khususnya industri (pertanian menjadi residual) jauh lebih besar dan melecehkan
pemenuhan kebutuhan penduduk serta kesejahteraan petani sering kali terabaikan,
sehingga potensi sektor pertanian secara luas belum dikelola secara optimal.
2.
Pembangunan pertanian bias perkotaan. Selama ini pembangunan pertanian cenderung
lebih bias perkotaan (menguntungkan penduduk kota dan nilai tambahnya lebih
banyak dinikmati penduduk kota) dan nyaris mengabaikan tujuan kesejahteraan
masyarakat pertanian yang sebagian besar tinggal di perdesaan (pertanian dan
perdesaan termajinalkan).
3.
Bias pembangunan pertanian pada beras. Pembangunan pertanian masa lalu amat
bias pada padi dan beras. Sebagian besar upaya inovasi dan pembangunan
teknologi program pertanian masa lalu difokuskan pada padi dan beras, sehingga
inovasi dan pengembangan teknologi bagi produk pertanian lainnya berjalan
sangat lamban bahkan tertinggal. Akibatnya ketika kebijakan diversifikasi
konsumsi pangan digalakkan untuk mengurangi ketergantungan pada beras,
kemampuan untuk menyediakan produk pangan non-beras Indonesia tidak memadai
sehingga kesempatan ini diisi oleh aneka pangan impor.
4.
Lemahnya kelompok pendukung kebijakan. Kebijakan lahir antara lain karena
desakan masyarakat kepada policy makers. Kebijakan akan berjalan dengan
baik bila didukung oleh pemerintah yang memahami tentang makna dan tujuan
kebijakan tersebut disertai kelompok pendukung kebijakan tersebut baik kelompok
formal (Partai dan Ormas) maupun non-formal di masyarakat. Lemahnya peran
kelompok pendukung kebijakan pertanian untuk mengingatkan ‘penguasa’
menyebabkan kebijakan diresidualkan bahkan disimpangkan implementasinya. Paper
ini dimulai dengan pertanyaan mengapa pertanian dikarenakan selain
alasan di atas, juga mengingat bahwa lokasi geografis Indonesia yang terletak
secara strategis di garis ekuator seharusnya menjadikan Indonesia sebagai
negara agraris yang ijo royo-royo gemah ripah loh jinawi, sektor
pertanian juga mendorong kesempatan berusaha untuk sektor yang lain (penyedia
material untuk industri non pertanian) dan juga penghasil devisa dari hasil
eksport.
Pembangunan
Pertanian
Pembangunan
adalah kelanjutan dan peningkatan. Jika terdapat pandangan bahwa pembangunan
ekonomi itu suatu proses untuk merubah suatu perekonomian dari yang menghasilkan
barang-barang pertanian menjadi menghasilkan barang-barang industri dan jasa,
maka akan terjadi banyak penafsiran yang salah terhadap teori tahapan
pertumbuhan yang dikemukakan Rostow (1960). Memahami kritik-kritik yang
dikemukakan sehubungan dengan teori
pertumbuhan Rostow maka negara Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 220
jutaan paling tidak, harus tetap dapat berswasembada pangan untuk memenuhi
konsumsi penduduknya. Sekarang tinggal bagaimana merencanakan dan
melaksanakan pembangunan pertanian yang berkualitas. Di masa lalu, dengan
orientasi pada peningkatan produksi, maka yang menjadi motor penggerak sektor
pertanian adalah usahatani dimana hasil usahatani menentukan perkembangan
agribisnis hilir dan hulu. Hal ini memang sesuai pada masa itu, karena target
pembangunan sektor pertanian masih diorientasikan untuk mencapai tingkat
produksi semaksimal mungkin. Selain itu, konsumen juga belum demanding
demand pada atribut-atribut produk yang lebih rinci dan lengkap. Dewasa
ini, dan terlebih lagi di masa yang akan datang, orientasi sektor pertanian
telah berubah kepada orientasi pasar. Dengan berlangsungnya perubahan
preferensi konsumen yang makin menuntut atribut produk yang lebih rinci dan
lengkap serta adanya preferensi konsumen akan produk olahan, maka motor
penggerak sektor pertanian harus berubah dari usahatani tradisional menuju
pertanian yang modern. Dalam hal ini, untuk mengembangkan sektor pertanian yang
moderen dan berdaya saing, agroindustri harus menjadi lokomotif dan sekaligus
penentu kegiatan sub-sektor usahatani dan selanjutnya akan menentukan
sub-sektor agribisnis hulu. Memang diakui bahwa tidak mudah membangun sektor pertanian
di Indonesia, mengingat petani yang jumlahnya jutaan dengan luas lahan yang
relatif sempit. Bahkan ada lokasi lahan pertanian yang terpencar-pencar sehingga
menyulitkan konsolidasi dan pembinaan, sarana dan prasarana yang tersedia tidak
dimanfaatkan secara baik, sarana transportasi, terutama di luar Jawa, yang
kurang mendukung menyebabkan biaya produksi menjadi mahal, dan masih banyak
contoh yang lain. Disamping itu pertanian juga tidak terlepas dari decreasing
returns in production karena dibatasi oleh ketersediaan lahan. Pemerintah
memang telah bekerja keras untuk membangun sektor pertanian. Berbagai pendekatan
pembangunan sektor pertanian telah dicoba seperti pembangunan pertanian terpadu,
pembangunan pertanian berwawasan lingkungan, dan pembangunan pertanian berwawasan
agroindustri. Kalau diperhatikan secara baik maka upaya pendekatan pembangunan
pertanian pada dasarnya berupaya untuk:
1.
tetap menjaga dan memperhatikan prinsip keunggulan komparatif sehingga
produk
pertanian mampu berkompetisi;
2.
terus meningkatkan keterampilan petani (masyarakat tani) sehingga mampu
meningkatkan
produktivitas pertanian;
3.
terus mengupayakan sarana produksi yang mencukupi setiap saat diperlukan
dengan
tingkat harga yang terjangkau;
4.
menyediakan dan meningkatkan fasilitas kredit bagi petani guna proses
produksinya;
5.
Penyediaan infrastruktur dan institusi/kelembagaan yang dapat meningkatkan
nilai
tambah hasil produksi pertanian.
Penampilan
sektor pertanian memang bukan saja dipengaruhi oleh faktor internal
tetapi
faktor eksternal juga tidak kalah penting pengaruhnya pada penampilan sektor
pertanian.
Faktor eksternal ini, antara lain:
1.
kebijakan makro ekonomi yang kadang-kadang kurang mendukung pembangunan
pertanian;
2.
krisis ekonomi yang berkepanjangan di Asia ini termasuk di Indonesia;
3.
proteksi di sektor pertanian di negara maju;
4.
adanya peraturan internasional yang dikemas dalam berbagai organisasi, di mana
Indonesia menjadi anggotanya seperti Asian Free Trade Area (AFTA) dan World
Trade Organization (WTO). Bahkan kesepatan bilateral atau multilateral
seperti perjanjian dengan International Monetary Fund (IMF) terkadang
juga kurang mendukung sektor pertanian. Namun untuk mendukung pertanian,
pemerintah dapat melakukan subsidi tidak langsung berupa pembangunan
infrastruktur yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha tani, institusi/kelembagaan
yang menunjang sistem usahatani dari proses penyediaan input, pasca panen dan pengolahan
hasil, dan akses terhadap informasi pasar. Meskipun Indonesia berhasil menjadi
salah satu produsen terbesar pada beberapa komoditas pertanian dunia tetapi Indonesia
belum memiliki kemampuan bersaing di pasar internasional. Selain itu, nilai
tambah yang kita raih dari pemanfaatan keunggulankomparatif tersebut masih
relatif kecil, sehingga tingkat pendapatan masyarakat tetap rendah. Belajar
dari pengalaman masa lalu, pendekatan pembangunan pertanian dalam rangka mendorong
pertumbuhan ekonomi dapat ditempuh melalui pendayagunaan keunggulan komparatif
menjadi keunggulan bersaing dengan merancang pembangunan pertanian
yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri dan sistem
agribisnis di mana pertanian, industri hulu pertanian, industri hilir pertanian
serta sektor yang menyediakan jasa yang diperlukan, dikembangkan secara
simultan dan harmonis. Dengan perkataan lain, dengan menempatkan
pembangunan pertanian sebagai penggerak utama pembangunan ekonomi nasional (agricultural-led
development) maka persoalan ekonomi Indonesia saat ini seperti pertumbuhan
ekonomi, perluasan kesempatan kerja dan berusaha, peningkatan devisa, pemerataan,
percepatan pembangunan ekonomi daerah, membangun ketahanan pangan dan pelestarian
lingkungan hidup, akan dapat dipecahkan sekaligus dan berkelanjutan. Kedepan pembangunan
pertanian tidak cukup hanya melalui dorongan pemerintah dalam upaya peningkatan
produksi, pembukaan lahan pertanian, tetapi lebih kearah pembangunan yang hasilnya
tidak dapat dirasakan pada waktu singkat yaitu perubahan perilaku (baca: sikap mental
dan budaya masyarakat pertanian) dalam berusahatani. Dan sependapat dengan paparan
Pakpahan dalam Rekonstruksi dan Restrukturiasasi Pertanian (2004) bahwa dalam rangka
membangun pertanian dalam arti seluas-luasnya sebagai alternatif solusi masa
depan Indonesia maka perlu dicermati, dipahami dan ditindaklanjuti terhadap
beberapa hal berikut:
1.
Kekuatan itu terletak dalam diri kita. Dalam era global, saling ketergantungan hanyadapatterwujud
apabila didahului oleh kemandirian, tanpa kemandirian yang terjadi adalah
ketergantungan.
2.
Potensi besar hasil investasi petani. Dari karya nyata yang sudah ada tidak
dapat dipungkiri bahwa petani dengan berbagai jenis tanaman dengan luasan
jutaan hektar berada pada barisan terdepan sebagai investor utama negeri Indonesia.
Kalau
pertanian tidak berkembang, penyebabnya bukan
kesalahan petani, tetapi kekeliruan dari pengambil kebijakan dan pelaku ekonomi
lainnya yang tak dapat mensyukuri, memberdayakan dan melanjutkan hasil petani
tersebut. Kekuatan besar pertanian dewasa ini tersumbat atau mencari jalan
sendiri-sendiri dalam kosmologinya.
3.
Membalik arus dan gelombang sejarah. Jeff Sachd dalam Pakpahan (2004) mengemukakan
bahwa terjadi kesenjangan yang makin lebar antara pendapatan per kapita
negara-negara berkembang yang pada umumnya berada pada daerah tropika dengan
negara maju yang pada umumnya berada di daerah dengan iklim temperate. Barang
yang kita hasilkan langsung masuk ke “lautan pasar” tanpa kita olah dulu. Yang mengolah
adalah pihak lain yang menguasai “bendungan-bendungan” berupa storage dan
industri pengolahannya. Akibatnya flow yang lebih besar dan bernilai tinggi
ada disana, di negara yang sudah maju. Arus ini harus dibalik, sehingga kita tidak
hanya menghasilkan barang mentah berdasarkan comparative advantage tapi kita
juga mampu meningkatkan keunggulan daya saing berdasarkan keunikan tanaman yang
hanya dapat tumbuh di daerah tropis. Pada akhirnya sejarah nantinya yang
menjawab apakah negara agraris mampu membalik sejarah.
4.
Menggeser trend harga riil menurun menjadi sejajar. Dalam perjalanannya makin
tampak bahwa organisasi perdagangan internasional seperti WTO tidak sepenuhnya
dapat menjadi harapan bagi negara-negara berkembang untuk dapat menyelesaikan
dan hidup dalam perdangangan global. Perdanganan kedepan harus mampu menggeser
kurva harga-harga komoditas primer pertanian yang terus menurun, menjadi
sejajar dengan produk olahannya.
5.
Kekuatan bargaining petani sebagi instrumen menggeser kurva; Tidak ada
cara lain untuk mengatasi over supply dan struktur pasar monopoli saat
petani menjual produknya kecuali dengan membangun kelembagaan (a set of
working rules of going concern) yang dapat meningkatkan bargaining
bagi petani. Institusi petani yang kuat, besarnya perhatian serta dukungan
pemerintah terhadap petani dan pertanian akan memberikan kekuatan bargaining
petani.
6.
Reinvestasi, Rekapitalisasi Social Capital dan Sumber Pertumbuhan
Mendatang.
Diperlukan
reinvestasi baru terhadap investasi yang telah ditanamkan oleh pertanian, sekaligus
melakukan rekapitalisasi Social Capital, mengingat kedua hal dimaksud
merupakan
syarat untuk membangun sumber-sumber pertumbuhan dan kesejahteraan
di
masa mendatang. Kiranya masih relevan apa yang disarankan oleh A.T. Mosher pada
tahun 1960-an yang mengingatkan tentang perlunya penguasaan teknologi baru
(Mosher, 1974). Pembangunan pertanian tidak bisa lepas dari penggunaan
teknologi baru mengingat dinamika perubahan preferensi konsumen akan produk
pertanian yang cepat berubah. Bahkan saat itu A.T. Mosher mengingatkan untuk
memperhatikan lima faktor pokok yang senantiasa perlu dipenuhi, yaitu:
•
Adanya pasar produk pertanian
•
Adanya teknologi yang selalu berubah yang dikuasai petani
•
Adanya atau tersedia sarana produksi secara lokal
•
Adanya insentif produksi bagi petani
•
Adanya transpor yang memadai.
Hanya
saja sejalan dengan kemajuan ilmu dan teknologi yang mempengaruhi corak berpikir
petani, konsumen dan pelaku pembangunan pertanian yang lain, maka konsep klasik
Mosher tersebut perlu disesuaikan dengan memperhatikan empat faktor di bawah ini,
yaitu:
•
Pemanfaatan sumberdaya dengan tanpa harus merusak lingkungannya (resource
endowment)
•
Pemanfaatan teknologi yang senantiasa berubah (technological endowment)
•
Pemanfaatan institusi atau kelembagaan yang saling menguntungkan
pembangunan
pertanian (institutional endowment)
•
Pemanfaatan budaya untuk keberhasilan pembangunan pertanian (cultural
endowment)
Semenjak
krisis, sektor pertanian menjadi tempat pelarian tenaga kerja dari sektorsektor
lainnya yang ambruk diterpa krisis. Sementara pertanian yang dihadapkan pada decreasing
returns in production karena dibatasi oleh ketersediaan lahan selama ini kurang
mendapat perhatian yang serius dari pemerintah, maka dapat dibayangkan semakin
rendahnya produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian pada masa-masa krisis tersebut.
Keadaan ini makin diperburuk dengan adanya kecenderungan penurunan ketersediaan
lahan sebagai akibat terjadinya alih fungsi (konversi) lahan pertanian menjadi
lahan non-pertanian (untuk keperluan manufaktur dan perumahan). Untuk itu diperlukan
peran pemerintah yang berpihak pada pertanian dengan tetap menopang tumbuhnya
gairah investasi swasta untuk dapat mulai menampung tenaga kerja yang berlebihan
dari sektor pertanian.
Kaitan
Pembangunan Pertanian dan Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan
ekonomi ada dua bentuk: extensively yaitu dengan penggunaan banyak sumberdaya
(seperti fisik, manusia atau natural capital) atau intensively yaitu
dengan penggunaan sejumlah sumberdaya yang lebih efisien (lebih produktif).
Ketika pertumbuhan ekonomi dicapai dengan menggunakan banyak tenaga kerja, hal
tersebut tidak menghasilkan pertumbuhan pendapatan per kapita. Namun ketika
pertumbuhan ekonomi dicapai melalui penggunaan sumberdaya yang lebih produktif,
termasuk tenaga kerja, hal tersebut menghasilkan pendapatan per kapita yang
lebih tinggi dan meningkatkan standar hidup rata-rata masyarakat. Indonesia
memasuki tahun 1998 dalam kondisi ekonomi yang sulit dan inflasi yang melambung
menjadi 11,05. Pergantian kepala pemerintahan dari Suharto ke B.J.
Habibie,
pada tanggal 21 Mei 1998 tidak cukup kuat menahan jatuhnya rupiah. Di tahun tersebut
rupiah mengalami depresiasi hampir 80 % dan inflasi melonjak menjadi 77.63%.
Kondisi ini mengakibatkan hampir seluruh kegiatan ekonomi terhenti dan laju pertumbuhan
ekonomi berada pada –13,13%. Salah satu sektor produksi yang mengalami
kemerosotan paling dalam adalah industri pengolahan, yang sebelumnya dijadikan
andalan ekspor nonmigas yang memiliki laju pertumbuhan per tahun sedikitnya
10%. Penyebab merosotnya industri pengolahan adalah rendahnya kemampuan belanja
masyarakat dan kegiatan ekonomi yang lesu yang akhirnya mengakibatkan
permintaan terhadap hasil produk ini berkurang. Disamping itu tingginya suku
bunga pinjaman, dana kredit dari perbankan nasional yang terbatas dan harga
bahan baku impor yang melonjak tinggi akibat dari rendahnya nilai rupiah serta penolakan
bank-bank luar negeri terhadap surat pemberitahuan kredit dari bank nasional
menghambat
kegiatan industri. Pada akhirnya banyak perusahan yang harus tutup usaha dan
mengakibatkan tingginya angka pemutusan hubungan kerja. Kondisi ini
mengakibatkan
sebagian besar masyarakat kehilangan pekerjaan dan pendapatan serta secara
langsung meningkatkan jumlah penduduk miskin yang tidak mampu menjangkau kebutuhan
pokoknya. Pada saat krisis, sumbangan sektor pertanian terhadap PDB mengalami
peningkatan paling besar dibanding sektor lainnya. Dari segi penyerapan tenaga
kerja, pada tahun 2003 sektor pertanian mampu menyerap sekitar 46 persen, paling
tinggi di antara sektor-sektor lain. Kesemua upaya dalam membangun pertanian
dalam menggerakkan sektor lainnya dan peran pemerintah yang pada akhirnya
secara bersama-sama mampu menjadi penggerak dalam pertumbuhan ekonomi,
digambarkan secara baik oleh Yudhoyono (2004) dalam disertasinya dengan
menggunakan Model Ekonomi-Politik Perekonomian Indonesia. Dari hasil simulasi
terhadap kebijakan yang dilakukan (melalui kebijakan fiskal) terkait dengan
masalah pertanian, diperoleh hasil bahwa peningkatan pengeluaran pemerintah
untuk pertanian sebesar 15% akan meningkatkan PDB, kemudian direspon dengan
peningkatan permintaan tenaga kerja sehingga proporsibpengangguran dapat
ditekan sebesar 4,9%. Pada giliriannya peningkatan PDB dan pengurangan pengangguran
ini akan menurunkan angka kemiskinan baik di perkotaan maupun di perdesaan. Kedepan
diperlukan investasi yang serentak di sektor pertanian dan sektor industri dalam
perekonomian. Untuk pertumbuhan berimbang dapat digambarkan dengan model
perekonomian dual (The dual economy model) yang dikemukakan Fei dan
Ranis (Hayami, 2001).
Suatu
strategi pertumbuhan ekonomi yang dimotori oleh sektor pertanian dan lapangan
kerja menurut Mellor (1987) mempunyai tiga unsur. Pertama, laju
pertumbuhan pertanian harus dipercepat meskipun luas tanah yang tersedia tetap.
Dengan perubahan teknologi dalam pertanian maka masalah tersebut akan dapat
diatasi. Kedua, permintaan domestik akan hasil pertanian harus tumbuh
cepat meskipun permintaan itu tidak elastis. Ketiga, permintaan akan
barang dan jasa yang ditimbulkan oleh proses-proses padat modal yang masih
rendah harus dinaikkan. Ketiga unsur dimaksud secara terus menerus akan saling
berinteraksi dan bersinergi sehingga strategi pertumbuhan ekonomi yang didasarkan
pada pertanian akan mencapai tujuan dan sasarannya. Kombinasi skenario
kebijakan yang dikemukakan Yudhoyono (2004) dalam disertasinya selalu
menunjukkan angka penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian yang relatif
kecil dibandingkan sektor lainnya, hal ini diberikan alasan karena sektor pertanian
saat ini telah menyerap tenaga kerja melebihi kapasitasnya (relatif sudah
tinggi, yaitu sekitar 46% dari total tenaga kerja) sehingga peningkatan tenaga
kerja yang besar ke sektor pertanian akan semakin menurunkan produktivitas
tenaga kerja di sektor
pertanian.
Berdasarkan analisis yang ada ditunjukkan bahwa peningkatan PDB sektor pertanian,
tentunya melalui pembangunan pertanian, sebesar 7% akan mendorong peningkatan
PDB sektor lainnya sebesar 7,6% dan mendorong peningkatan total PDB sebesar
7,4%. Dari hasil tersebut dapat dinyatakan bawa sektor pertanian mampu mendorong
pertumbuhan sektor-sektor lainnya secara significant. Oleh karena itu tidak berlebihan
bila saat ini kita menjadikan Sektor Pertanian sebagai Basis Pertumbuhan
Ekonomi. Dan untuk itu semua diperlukan kemauan politik, khususnya peran
pemerintah, yang memposisikan sektor pertanian menjasi sektor andalan. Petani
dan Pertanian dalam menghadapai Globalisasi Dengan diratifikasinya beberapa
kesepakatan internasional (GATT/WTO) dan regional (APEC, AFTA, MEE, NAFTA)
serta blok-blok lainnya, maka pasar di dalam negeri terintegrasi kuat dengan
pasar regional/internasional. Setiap negara mempunyai kesempatan untuk
perluasan akses pasar (market access), pengurangan dukungan
domestik
(domestic support) yang dapat mendistorsi pasar dan pengurangan subsidi ekspor
(export subsidy). Beberapa implikasi dari dinamika lingkungan internasional
tersebut, adalah: (i) Setiap negara harus meningkatkan dayasaing produknya agar
dapat berperan dalam perdagangan dunia,
(ii)
Dengan terbukanya informasi yang didorong oleh revolusi transportasi dan telekomunikasi
menyebabkan kebijakan yang bersifat distorsi seperti kebijakan stabilisasi
harga semakin sulit dilaksanakan pemerintah, karena dinamika harga internasional
akan secara cepat langsung mempengaruhi kebijakan dalam negeri, (iii) Globalisasi
akan mempengaruhi pola konsumsi masyarakat dalam hal keragaman, mutu dan
keamanan produk pangan. Permintaan akan berubah dari komoditas ke produk
dengan memperhatikan aspek keamanan dan kesehatan produk, (iv) Meningkatnya kepedulian
terhadap kelestarian lingkungan telah mempengaruhi pasar produk pertanian, sehingga
proses produksi pertanian harus didasarkan pada kaidah-kaidah konservasi sumberdaya
alam, dan (v) Peningkatan kepedulian juga terjadi pada aspek hak asasi manusia
(HAM) dan gender serta perlindungan hak atas kekayaan intelektual (HAKI) dan
merek dagang. Tantangan pembangunan pertanian dilingkungan domestik berkaitan
dengan pendayagunaan sumberdaya pertanian secara berkelanjutan, peningkatan
effisiensi dan dayasaing produk pertanian; pelaksanaan good governance
dan penerapan otonomi daerah.
Permintaan
terhadap produk pertanian terus meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk
dan peningkatan kesejahteraannya, sementara dari sisi penyediaannya (supply)
dihadapkan kelangkaan sumberdaya lahan dan air. Meningkatnya penduduk dan
sektor di luar pertanian telah meningkatkan permintaan akan lahan dan air yang
berakibat terjadinya konversi lahan pertanian produktif dan degradasi
sumberdaya lahan dan air. Pada bagian usaha pertanian sebagian besar dilakukan
oleh petani gurem yang mempunyai skala pengusahaan yang sangat kecil. Kondisi
ini menyulitkan upaya peningkatan efisiensi usaha agribisnis. Keberhasilan pembangunan
pertanian juga dihadapkan kepada kendala masih besarnya ketergantungan terhadap
iklim. Soekartawi (2004) mengemukakan delapan aspek yang perlu diantisipasi
pada era global sekarang ini dan masa mendatang khususnya dalam bidang pertanian,
yaitu:
1.
Pentingnya penguasaan teknologi dan informasi.
Aspek
ini berjalan begitu cepat dan pengaruhnya dapat dilihat di berbagai segi kehidupan.
Oleh karena itu, sektor pertanian perlu dibangun dengan memanfaatkan teknologi
(dan informasi) guna menuju pertanian modern. Berhubung pertanian Indonesia
sifatnya adalah dual yang diciptakan oleh Belanda di jaman kolonialisme dahulu
maka pertanian di Indonesia bisa dicirikan menjadi pertanian skala besar (modern)
seperti perkebunan dan pertanian skala kecil yang dicirikan oleh pertanian konvensional
atau pertanian rakyat. Perbedaan pertanian skala sempit (konvensional) dan
skala besar (modern) disajikan di Tabel 2.
2.
Meningkatnya jumlah key players di sektor pertanian.
Hal
ini mengakibatkan sektor pertanian bukan menjadi sektor yang ditangani oleh Departemen
Pertanian tetapi oleh banyak Departemen, seperti Departemen Perdagangan, Pekerjaan
Umum, Perhubungan, dan Keuangan. Disini diperlukan koordinasi yang baik di
antara lembaga tersebut. Di tingkat bawah juga demikian. Urusan pertanian bukan
hanya menjadi urusan petani saja tetapi juga memerlukan partisipasi pedagang,
Pemerintah Daerah, instansi yang menyalurkan sarana produksi, yang mengatur
irigasi, yang membeli produk pertanian. Dengan makin majunya teknologi dan
informasi dan makin modernnya sektor pertanian maka dinamika koordinasi/kerjasama
antar lembaga dan produsen menjadi faktor kritis.
3.
Meningkatnya perubahan preferensi konsumen pada produk-produk pertanian.
Perubahaan
preferensi konsumen perlu diantisipasi secara cepat. Dahulu, Konsumen dahulu
menyenangi buah-buahan yang manis, kini mereka menyukai buah-buahan yang kurang
manis. Contoh lain, konsumen di dalam negeri yang berpendapatan relatif tinggi
cenderung mengkonsumsi buah-buahan impor.
4.
Perubahan harga yang cepat karena munculnya key players baru di perdagangan
produk-produk
pertanian.
Kini
banyak negara yang dahulu kurang tertarik mengembangkan sektor pertanian mulai
melirik sektor pertanian untuk meningkatkan product domestic bruto (PDB)
nya. Misalnya, Vietnam dan China kini, menjadi menjadi aktor perdagangan produk
pertanian yang berkembang pesat di Asia. Vietnam menjadi negara pengekspor
beras dan ikan, China negara pengekspor the, Australia memproduksi dan
mengekspor produk merupakan pertanian tropis seperti mangga, dan nanas.
5.
Meningkatnya kesadaran kesehatan menyebabkan perubahan kualitas produk pertanian.
Dengan
semakin sadarnya konsumen akan aspek kesehatan maka produk pertanian harus bisa
mengantisipasi dan menyesuaikan dengan perubahan preferensi konsumen ini.
Karena faktor kesehatan ini maka produk pertanian yang bebas pestisida kini
banyak diminati konsumen walaupun harganya relatif mahal.
6.
Perubahan iklim yang kini mulai sulit diprediksi.
7.
Pembiayaan usahatani yang sudah terlanjur mahal karena ekonomi biaya tinggi.
8.
Menyempitnya lahan pertanian.
Di
Indonesia, lahan pertanian semakin lama semakin sempit. Oleh karena itu
pemerintah membuat program pencetakan sawah dan membuka lahan pertanian baru.
Walaupun demikian, karena jumlah penduduk yang berjalan melebihi kecepatan
pembukaan lahan pertanian baru maka tetap saja luas lahan pertanian menjadi
sempit. Di sisi lain, pulau Jawa yang luas daratannya yang hanya sekitar 7%
dari total luas Indonesia, dapat menghasilkan 60% lebih kebutuhan pangan,
khususnya beras. Jumlah petani kecil (petani yang menguasai kurang dari 0,5 ha)
menjadi semakin bertambah. Selama dekade 1990-an jumlah petani gurem yang
mengusahakan lahan <0,5 ha meningkat dengan laju 1,5 % dan jumlah buruh tani
meningkat dengan laju hampir 5,0 % per tahun. Di lain pihak, 5 perusahaan
perkebunan swasta besar menguasai lebih dari satu juta ha lahan perkebunan.
Semua nilai tambah jatuh pada perusahaan besar di Jakarta, sedangkan masyarakat
lainnya di daerah hanya menerima UMR dan pemerintah daerah menerima PBB yang
sangat rendah. Kebijakan ini merupakan kesalahan strategi pembangunan, yang
harus diubah dengan memberikan penguasaan dan pengelolaan sumberdaya domestik
pada petani dan masyarakat pedesaan secara berkeadilan. Pertumbuhan pertanian
mulai menurun yang mencapai puncaknya ketika impor beras menjadi 6 juta ton
tahun 1998 (25 % beras yang ada di pasar dunia) terbesar dalam sejarah.
Dari
kenyataan ini dan bila dihubungkan dengan dengan tiga variabel untuk mampu berkompetisi
di pasar global (kualitas sumberdaya, penguasaan teknologi, dan penguasaan
manajemen) maka kesiapan petani kita di era global memang relatif berat. Oleh
karena itu diperlukan kebijakan atau upaya yang memihak kepada petani agar
mampu meningkatkan daya kompetisi untuk meningkatkan produktivitas pertanian.
Implikasi
Kebijakan
Mengingat
peran sektor pertanian masih menjadi andalan sebagain besar penduduk Indonesia
dan terbukti tidak hanya mampu menahan badai krisis ekonomi tetapai juga dapat
menyerap limpahan tenaga kerja yang tidak tertampung diluar sektor
pertanian,
mendorong munculnya kesempatan berusaha untuk sektor yang lain (penyedia material
untuk industri non-pertanian), dan juga penghasil devisa dari hasil ekspor. Seiring
dengan terjadinya transformasi struktural maka sektor pertanian perlu dibangun
dengan menyesuaikan perubahan struktural tersebut. Perubahan struktural ini, antara
lain perubahan pembuat kebijakan sektor pertanian sehubungan dengan otonomi daerah,
pangsa sektor pertanian terhadap PDB yang terus menurun, penyerapan tenaga kerja
di sektor pertanian yang selalu lebih rendah dari kenaikan produksi rata-rata (marginal
produktivitas tenaga kerja yang semakin mendekati angka 0), keterkaitan sektor
pertanian dan sektor ekonomi lain yang semakin tinggi, ketergantungan pangan yang
sebagian besar (60%) ada di Jawa dengan luas tanah hanya 7% dari luas Indonesia
sementara lahan di Jawa tidak mungkin bertambah luas lahan pertaniannya,
penghasil devisa di sektor pertanian untuk beberapa produk perkebunan dan
perubahan preferensi konsumsi masyarakat yang begitu cepat. Selanjutnya,
kemampuan menguasai teknologi dan informasi diperlukan untuk mengantisipasi
pertanian masa depan khususnya setelah diberlakukannya AFTA dan WTO. Tujuannya
agar produk pertanian kita mampu berkompetisi di pasar global. Untuk itu
pertanian yang masih dicirikan dengan lahan yang sempit pengelolaannya harus diarahkan
dengan mengikuti cara modern. Jenis tanamannya dipilih tanaman yang produksinya
mempunyai nilai tambah yang tinggi dan mempunyai prospek pasar. Ketergantungan
struktural perlu dikurangi, antara lain dengan mengarahkan pembangunan
pertanian ke luar Jawa, oriensi ekspor tidak pada negara tertentu saja, dan melebarkan
atau meningkatkan produk yang mempunyai elastisitas permintaan tinggi. Upaya
membangun pertanian berdasarkan produk unggulan terpadu yang pernah dicoba perlu
digali dan diteruskan untuk mencari produk yang mempunyai elastisitas
permintaan tinggi. Sementara itu, aspek manajerial diperlukan bukan saja untuk
membina petani tetapi juga para pelaku pembangunan pertanian yang lain. Aspek
koordinasi, pembinaan kelembagaan di pedesaan seperti kelembagaan keuangan Bank
atau Non-Bank, penyuluh pertanian, penyalur sarana produksi, dan koperasi perlu
ditingkatkan. Menciptakan petani yang mempunyai kemampuan manajerial yang
tinggi atau petani yang mempunyai enterpreneurship (jiwa wiraswasta)
perlu terus dikembangkan agar mereka mampu menggerakkan pembangunan pertanian
di berbagai tempat. Sayangnya, produsen atau utamanya petani kita sebagian
besar (79,7%) adalah tamat atau tidak tamat Sekolah Dasar. Dengan demikian
diperlukan kebijakan yang selalu memihak pada kepentingan petani tetapi tidak
melanggar ketentuan-ketentuan yang telah disepakati dalam perjanjian WTO.
Dalam
mengatasi masalah lahan pertanian, kedepan semakin diperlukan langkah komprehensif
untuk menjamin ketersediaan lahan pertanian dalam upaya mewujudkan ketahanan
pangan nasional. Hal ini mengingat, saat ini yang terjadi bukan perluasan areal
tetapi justru pengurangan (konversi lahan pertanian produktif untuk
nonpertanian sekitar 187.720 hektar per tahun, sekitar 30%-nya berada di pulau
Jawa). Dari seluruh areal sawah yang ada saat ini yaitu sekitar 8,9 juta hektar
dimana 42,9 persen diantaranya berada di pulau Jawa, pulau Bali 2,1 persen, di
pulau Sumatera 22,4 persen, pulau Sulawesi 11,1 persen, Nusa Tenggara dan
Maluku 6,4 persen, pulau Kalimantan 14,0 persen dan Papua 0,32 persen. Dengan
memperhatikan daya dukung lahan dan produktivitas lahan di Jawa yang semakin
menurun, maka perluasan areal pertanian di luar Jawa, khusunya wilayah Sumatera
dan Kawasan Timur Indonesia merupakan suat upaya yang bijak untuk segera
dilaksanakan dengan didukung oleh insentif yang menarik, baik berupa jaringan
infrastruktur yang memadai maupun insentif bagi para pelaku usaha tani di areal
pertanian yang baru dibuka. Pada akhirnya keberhasilan pembangunan pertanian
akan sangat tergantung dari komitmen seluruh stakeholders dan
pihak-pihak yang terkait dalam pembangunan pertanian.
KESIMPULAN
Pembangunan pertanian dapat
didefinisikan sebagai suatu proses perubahan sosial. Implementasinya tidak
hanya ditujukan untuk meningkatkan status dan kesejahteraan petani semata,
tetapi sekaligus juga dimaksudkan untuk mengembangkan potensi sumberdaya
manusia baik secara ekonomi, sosial, politik, budaya, lingkungan, maupun
melalui perbaikan (improvement), pertumbuhan (growth) dan
perubahan (change) (Iqbal dan Sudaryanto, 2008).
Pentingnya peran sektor pertanian dalam
pembangunan ekonomi suatu negara juga dikemukakan oleh Meier (1995) sebagai
berikut: (1) dengan mensuplai makanan pokok dan bahan baku bagi sektor lain
dalam ekonomi yang berkembang, (2) dengan menyediakan surplus yang dapat
diinvestasikan dari tabungan dan pajak untuk mendukung investasi pada sektor
lain yang berkembang, (3) dengan membeli barang konsumsi dari sektor lain,
sehingga akan meningkatkan permintaan dari penduduk perdesaan untuk produk dari
sektor yang berkembang, dan (4) dengan menghapuskan kendala devisa melalui
penerimaan devisa dengan ekspor atau dengan menabung devisa melalui substitusi
impor
Peran
penting sektor pertanian telah terbukti dari keberhasilan sektor pertanian pada
saat krisis ekonomi dalam menyediakan kebutuhan pangan pokok dalam jumlah yang
memadai dan tingkat pertumbuhannya yang positif dalam menjaga laju pertumbuhan
ekonomi nasional. Keadaan ini menjadi pertimbangan utama dirumuskannya
kebijakan yang memiliki keberpihakan terhadap sektor pertanian dalam memperluas
lapangan kerja, menghapus kemiskinan dan mendorong pembangunan ekonomi yang
lebih luas (Sudaryanto dan Munif, 2005). Secara lebih rinci, beberapa
pertimbangan tentang pentingnya mengakselerasi sektor pertanian di Indonesia
dikemukakan oleh Simatupang (1997) sebagai berikut:
1.
Sektor pertanian masih tetap sebagai penyerap tenaga kerja, sehingga akselerasi
pembangunan sektor pertanian akan membantu mengatasi masalah pengangguran.
2.
Sektor pertanian merupakan penopang utama perekonomian desa dimana sebagian
besar penduduk berada. Oleh karena itu, akselerasi pembangunan pertanian paling
tepat untuk mendorong perekonomian desa dalam rangka meningkatkan pendapatan
sebagian besar penduduk Indonesia dan sekaligus pengentasan kemiskinan.
3.
Sektor pertanian sebagai penghasil makanan pokok penduduk, sehingga dengan
akselerasi pembangunan pertanian maka penyediaan pangan dapat terjamin. Langkah
ini penting untuk mengurangi ketergantungan pangan pada pasar dunia.
4.
Harga produk pertanian memiliki bobot yang besar dalam indeks harga konsumen, sehingga
dinamikanya amat berpengaruh terhadap laju inflasi. Oleh karena itu, akselerasi
pembangunan pertanian akan membantu menjaga stabilitas perekonomian Indonesia.
5.
Akselerasi pembangunan pertanian sangatlah penting dalam rangka mendorong ekspor
dan mengurangi impor produk pertanian, sehingga dalam hal ini dapat membantu
menjaga keseimbangan neraca pembayaran.
6.
Akselerasi pembangunan pertanian mampu meningkatkan kinerja sektor industri.
Hal ini karena terdapat keterkaitan yang erat antara sektor pertanian dengan
sektor industri yang meliputi keterkaitan produk, konsumsi dan investasi.
Terdapat beberapa alasan mengapa sektor
pertanian yang kuat sangat esensial dalam suatu proses industrialisasi
pertanian. Beberapa alasan tersebut antara lain sebagai berikut (Tambunan,
2001):
1.
Sektor pertanian yang kuat berarti ketahanan pangan terjamin dan ini merupakan salah
satu prasyarat penting agar proses industrialisasi pertanian pada khususnya dan
pembangunan ekonomi pada umumnya bisa berlangsung dengan baik. Ketahanan pangan
berarti tidak ada kelaparan dan ini menjamin kestabilan sosial dan politik.
2.
Dari sisi permintaan agregat, pembangunan sektor pertanian yang kuat membuat tingkat
pendapatan riil per kapita di sektor tersebut tinggi yang merupakan salah satu
sumber permintaan terhadap barang-barang nonfood, khususnya manufaktur
(keterkaitan konsumsi atau pendapatan). Khususnya di Indonesia, dimana sebagian
besar penduduk berada di perdesaan dan mempunyai sumber pendapatan langsung
maupun tidak langsung dari kegiatan
pertanian,
jelas sektor ini merupakan motor utama penggerak industrialisasi.Selain melalui
keterkaitan pendapatan, sektor pertanian juga berfungsi sebagai sumber
pertumbuhan di sektor industri manufaktur melalui intermediate demand
effect atau keterkaitan produksi: output dari industri menjadi input bagi
pertanian.
3.
Dari sisi penawaran, sektor pertanian merupakan salah satu sumber input bagi sektor
industri pertanian yang mana Indonesia memiliki keunggulan komparatif, misalnya
industri makanan dan minuman, industri tekstil dan pakaian jadi, industri
kulit, dan sebagainya.
4.
Masih dari sisi penawaran, pembangunan yang baik di sektor pertanian bisa
menghasilkan surplus di sektor tersebut dan ini bisa menjadi sumber investasi di
sektor industri, khususnya industri skala kecil di perdesaan (keterkaitan investasi).
Thank's gan infonya !!!
BalasHapuswww.bisnistiket.co.id
sama-sama :)
BalasHapus