photo IKLAN_zps0bd7cdbd.png

Rabu, 19 Juni 2013

Studi Kasus Komunikasi Antar Budaya (KAB) dalam Agribisnis

Perbedaan Budaya dan Adaptasi Antarbudaya dalam Relasi Kemitraan Inti-Plasma
(Studi Kasus Proyek PIR Lokal Teh Tapanuli Utara)
Proses penyuluhan pembangunan, acapkali mengalami kekurang­berhasilan hanya disebabkan oleh adanya hambatan perbedaan budaya di antara kelompok sosiologis. Salah satu contoh ketidakberhasilan itu adalah yang terjadi di dalam hubungan kemitraan antara perkebunan besar dan petani kecil. Perkebunan besar dan petani kecil merupakan dua kelompok sosiologis yang memiliki karakterististik sangat berbeda. Perbedaan ini merupakan realitas dari kehidupan ekonomi dualistik dalam sistem perke­bunan di Indonesia. Kelompok yang satu berorientasi pada kapitalisme modern, sementara kelompok lainnya berciri pra kapitalisme tradisional.
Munculnya sistem pembangunan perkebunan dengan pola Perkebunan Inti-Rakyat (PIR) pada tahun 1978/1979, merupakan upaya memadukan perkebunan besar dengan petani kecil dalam suatu proses produksi dengan analogi hubungan inti-plasma. Dalam perkembangannya, bentuk relasi kedua pihak tersebut adalah berupa relasi kemitraan antara perusahaan inti dan petani plasma. Kemitraan dirumuskan sebagai relasi kolaborasi antara dua pihak atau lebih yang dilakukan dalam sistem yang utuh untuk mencapai keuntungan bersama. Menurut Martodireso & Widodo (2002:11), relasi kemitraan dalam usaha pertanian harus didasari oleh sikap saling percaya, saling membutuhkan, saling menguntungkan, dan saling memperkuat. Dalam relasi kemitraan, harus ada proses pembinaan dan pengembangan yang berkelanjutan dari pengusaha besar terhadap mitranya yang tergolong pengusaha kecil (Sumardjo, 2004:16)
Martodireso & Widodo (2002:17), mengungkapkan perlunya para pelaku kemitraan membangun relasi sosial yang baik, seperti komunikasi interaktif, saling memberdayakan, dan tidak saling memaksa. Menurut Suroso (1994:14), dalam perkembangannya, ada masalah yang menghambat harmoni relasi tersebut. Relasi antara perusahaan inti dan petani plasma kurang harmonis karena perbedaan pola pikir, sikap, dan perilaku yang memunculkan masalah operasional. Ini menunjukkan bahwa komunikasi sebagai aktivitas simbolik tidak diikuti oleh keakuratan persepsi atas pesan kedua belah pihak. Ketidakakuratan persepsi ini disebabkan karena perusahaan inti dan petani plasma adalah dua komunitas yang memiliki perbedaan budaya.
Dalam pelaksanaan Proyek PIR Lokal Teh Tapanuli Utara terdapat masalah yang terkait dengan aspek pemeliharaan tanaman teh. Pemeliharaan tanaman teh tidak intensif karena kendala budaya penduduk setempat. Menurut Wibowo dan Dharmadi (1999:48), dalam memelihara tanaman teh secara intensif dibutuhkan tenaga kerja yang setiap hari dapat melakukan pekerjaan tersebut, tetapi kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi karena penduduk setempat terikat dengan tradisi berkumpul untuk menjalankan ritual-ritual adat. Demikian pula di Jawa Tengah, pelaksanaan Proyek PIR Lokal Teh menemui masalah yang terkait dengan tradisi penduduk setempat. Pada saat syawalan, pasokan pucuk the berkurang karena petani tidak memetik, namun setelah syawalan usai pasokan berlimpah. Akibatnya terjadi ketidaksesuaian antara kapasitas produksi pabrik dan pasokan. Keadaan ini menunjukkan bahwa aspek kegiatan industri tidak diperhatikan oleh petani.
Dalam pada itu, permasalahan yang ada pada pelaksanaan PIR Lokal Teh di Jawa Barat adalah masalah yang terkait dengan proses pembelian pucuk teh, yaitu masalah penimbangan dan pengukuran analisis pucuk teh, serta masalah penjualan pucuk teh oleh petani plasma ke luar perusahaan inti. Dalam masalah penimbangan, perusahaan sering meragukan bobot timbangan petani yang tidak akurat dalam menimbang pucuk teh. Sementara dalam pengukuran analisis pucuk teh banyak ditemukan pucuk-pucuk kasar yang dijual oleh petani, padahal perusahaan inti menghendaki pucuk teh yang halus untuk menghasilkan teh yang berkualitas bagus. Hal ini berbeda ketika petani menjual pucuk teh ke luar perusahaan inti, pihak luar tidak terlalu menekankan kualitas pucuk teh yang dijual kepadanya. Penjualan pucuk teh ke luar perusahaan dipandang tidak memenuhi kesepakatan penjualan produk yang mengharuskan petani hanya menjual produknya ke perusahaan inti (Bachriadi, 1995:137).
Dari hasil penelitian Hamidah dan Widodo (2003:88) ditemukan bahwa penjualan pucuk teh ke luar perusahaan inti disebabkan petani ingin secepatnya mendapatkan uang. Bahkan hal ini sering dipenuhi dengan sistem ijon, yakni dengan mendapat pinjaman uang di muka sebelum pucuk teh dapat dipetik. Namun disebabkan pihak luar tersebut membeli pucuk teh dengan cara insidental, yakni hanya membeli ketika membutuhkan pasokan untuk produksi teh pabriknya, maka pihak inipun tak dapat diandalkan petani untuk keamanan hidupnya. Oleh karena itu tidak ada jaminan kepastian dari pihak luar bagi keajegan pemasaran produk pucuk teh petani. Dari tulisan Wibowo dan Dharmadi (1999:42) dapat dikemukakan bahwa karena penjualan pucuk the ke luar perusahaan inti tanpa disertai pengendalian kualitas produk, maka kualitas pucuk the yang dihasilkan petani semakin rendah. Petani hanya mengejar kuantitas pucuk teh tanpa memperhatikan kualitasnya. Rendahnya kualitas pucuk teh juga disebabkan oleh makin merosotnya harga pucuk teh yang diberikan oleh perusahaan inti. Hal ini seperti yang terjadi di PIR-Lokal Teh Jawa Tengah. Pada mulanya harga the adalah RP. 650,- per kilogram untuk kategori kualitas pucuk teh rata-rata atau klas B.
Harga ini merupakan harga standar yang ditentukan oleh tiga komponen kemitraan, yakni perusahaan inti, petani plasma, dan pemerintah melalui Forum Musyawarah Produksi Pemasaran Teh (FMPPT). Namun karena jatuhnya harga teh di pasar internasional, maka terjadi perubahan harga pucuk teh menjadi Rp 500,- per kilogram. Harga ini ditentukan tanpa melalui FMPPT. Dalam pandangan petani, harga sebesar itu tidak cukup untuk membeli pupuk dan merawat tanaman teh. Padahal tanpa perawatan yang memadai, kualitas pucuk akan kian menurun. Demikian pula dengan produktivitas lahan. Keadaan ini diperparah dengan ciri upland plantation yang menghadapkan petani pada keterbatasan waktu dan tenaga kerja. Selain masalah tersebut, terungkap permasalahan yang ada pada pelaksanaan pola PIR Teh di Jawa Tengah, yaitu berupa masalah tidak dipisahkannya usaha tanaman teh petani dengan usaha tani lainnya. Selain mengusahakan tanaman teh, petani juga mengusahakan tanaman pangan. Permasalahan ini terkait dengan budaya ekonomi petani upland yang mengharuskannya melakukan kombinasi usahatani agar bisa survive dalam kehidupannya (Soedjono dan Hardiman, 1999:65).
Perbedaan pola pikir, sikap, dan perilaku tersebut menjadi suatu pertanda bahwa sebagai aktivitas simbolik, komunikasi antara perusahaan inti dan petani ditandai oleh ketidakakuratan persepsi atas pesan-pesan yang disampaikan. Masing-masing pihak dalam perspektifnya. Hal ini karena mereka dikondisikan untuk berkomunikasi sesuai cara pandang kelompoknya. Selain itu perbedaan yang tajam dalam kerangka pengalaman dan bahasa dari masing-masing pihak menyebabkan komunikasi tidak efektif. Selain itu, komunikasi yang tidak efektif juga karena adanya perbedaan dalam gaya berkomunikasi.
Dengan menggunakan cara pandang moral ekonomi dari James C. Scott (1981), petani plasma berbudaya peasant, sedangkan perusahaan inti dapat digolongkan ke dalam budaya farmer. Budaya peasant ditunjukkan oleh pertama, perilaku petani menjual pucuk teh ke luar perusahaan inti. Kedua, perilaku petani tidak mengadopsi secara serta merta teknologi yang dialihkan dari pihak perusahaan inti, dan ketiga, sikap petani yang mendahulukan kegiatan tradisi sosial budaya komunitasnya. Perilaku tersebut merefleksikan budaya petani yang disebut safety first (dahulukan selamat) dan pola piker subsisten yang berlandas pada etika subsistensi. Untuk keselamatan diri dan keluarganya, petani menjual pucuk teh ke luar inti. Sementara itu dengan pola pikir subsisten, petani mengusahakan tanaman, seperti padi dan jagung yang hasilnya untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Petani tidak memiliki orientasi pada surplus produksi untuk dijual secara komersial. Etika subsistensi juga membawa petani untuk mementingkan komunitasnya.
Hal ini dilandasi pemikiran bahwa komunitas adalah pihak awal yang akan menyelamatkan kehidupan petani dan keluarganya dari setiap risiko yang mengancam subsistensi mereka. Dengan orientasi safety first dan etika subsistensi, petani dapat mengabaikan komitmen kerjasama atau kemitraannya dengan perusahaan inti. Dalam pada itu farmer adalah petani komersial dengan budaya industri. Petani ini diperlukan dalam agroindustri atau agribisnis pada umumnya. Dengan mengambil ciri-ciri masyarakat berbudaya industrial, maka ciri-ciri farmer adalah pertama, rasional dan kreatif dalam memandang berbagai fenomena yang ada di alam sekitarnya. Kedua, memiliki komitmen yang tinggi dalam menyelesaikan masalah dengan tuntas. Ketiga, memiliki ketaatan yang tinggi pada hukum (Soetrisno, 1995:160). Peasant dapat digolongkan pula sebagai petani pra-industri. Dalam meningkatkan peran pertanian di Indonesia, petani pra-industri perlu ditransformasikan menjadi farmer. Petani farmer dalam kerangka ini memiliki peran penting dalam membawa petani praindustri menjadi petani yang berbudaya industri.
Perbedaan budaya antara perusahaan inti dan petani plasma menyebabkan studi atas jalinan komunikasi di antara dua pihak tersebut menarik dilakukan. Dalam konteks kemitraan inti-plasma, studi ini dapat memperkaya berbagai penelitian tentang relasi intiplasma.

Analisis :
Berdasarkan pada kasus diatas terdapat relasi kemitraan antara perusahaan inti dan petani plasma.  Dalam kasus tersebut relasi antara perusahaan inti dan petani plasma kurang harmonis karena perbedaan pola pikir, sikap, dan perilaku yang memunculkan masalah operasional. Ini menunjukkan bahwa komunikasi sebagai aktivitas simbolik tidak diikuti oleh keakuratan persepsi atas pesan kedua belah pihak. Ketidakakuratan persepsi ini disebabkan karena perusahaan inti dan petani plasma adalah dua komunitas yang memiliki perbedaan budaya.
Perbedaan budaya di antara komunitas perusahaan inti dan komunitas petani plasma dijelaskan dengan bertolak dari adanya pergulatan di antara dua prinsip yang disebut sebagai perekonomian dualistik. Pergulatan ini berakar dari pertentangan antara kapitalisme barat yang modern dan tradisi pra-kapitalis. Kapitalisme barat yang modern, muda, dan agresif yang dibangun di kota besar berhadapan dengan tradisi pra-kapitalis yang tua yang berada di pedesaan (Boeke, 1983:11).
Menurut Boeke (1983:11), dalam situasi dualistik terdapat dua karakteristik yang berbeda dalam konteks sosial ekonomi. Satu sisi merupakan golongan masyarakat yang memiliki ikatan sosial asli dan organis, sistem kesukuan tradisional, kebutuhan yang sifatnya terbatas dan bersahaja, serta prinsip produksi pertanian yang sifatnya subsisten. Sisi lainnya adalah masyarakat yang berorientasi keuntungan, bersaing usaha yang terorganisasikan, profesional, bertumpu pada kapitalisasi dan industri mekanis, serta memandang rendah dorongan atau motif ekonomi yang dikaitkan dengan motif sosial, etika, adat, tradisi, suku, agama, dan sebagainya. Dalam kehidupan pertanian, kapitalisme diasosiasikan dengan farmer yang berciri kota, sementara prakapitalisme diasosiasikan dengan peasant yang berciri desa.


Komunikasi Antar Budaya (KAB)

 Defenisi Komunikasi Antar Budaya (KAB)
Hamid Mowlana menyebutkan komunikasi antar budaya sebagai human flow across national boundaries. Misalnya dalam keterlibatan suatu konfrensi internasional dimana bangsa-bangsa dari berbagai negara berkumpul dan berkomunikasi satu sama lain. Sedangkan Fred E. Jandt mengartikan komunikasi antarbudaya sebagai interaksi tatap muka di antara orang-orang yang berbeda budayanya.
Guo-Ming Chen dan William J. Sartosa mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok. Selanjutnya komunikasi antarbudaya itu dilakukan dengan negosiasi untuk melibatkan manusia di dalam pertemuan antarbudaya yang membahas satu tema (penyampaian tema melalui simbol) yang sedang dipertentangkan. Simbol tidak sendirinya mempunyai makna tetapi dia dapat berarti ke dalam satu konteks dan makna-makna itu dinegosiasikan atau diperjuangkan; melalui pertukaran sistem simbol yang tergantung daripersetujuan antarsubjek yang terlibat dalam komunikasi, sebuah keputusan dibuat untuk berpartisipasi dalam proses pemberian makna yang sama; sebagai pembimbing perilaku budaya yang tidak terprogram namun bermanfaat karena mempunyai pengaruh terhadap perilaku kita; menunjukkan fungsi sebuah kelompok sehingga kita dapat membedakan diri dari kelompok lain dan mengidentifikasinya dengan pelbagai cara.

 Konsep Kunci dalam Komunikasi Antar Budaya (KAB)
è    Lambang Verbal
Komunikasi antarbudaya, sebuah studi dari komunikasi antara individu dan kelompok dengan budaya yang berbeda, melibatkan beberapa area penting dari eksplorasi. Sebagai anggota sebuah budaya tertentu, seseorang mempelajari pola tertentu dari memahami dunia melalui sistem lambang seperti bahasa dan perilaku nonverbal. Sementara seluruh anggota dari sebuah budaya dapat berbicara bahasa yang sama, anggota dari budaya yang tidak dominan dapat mengembangkan lambang mereka sendiri. Lambang-lambang ini mempersatukan mereka terhadap budaya dominan dan memperkuat identitas mereka sebagai anggota dari subbudaya tersebut. Saat budaya dominan mengadopsi lambang-lambang tersebut, mereka tidak lagi melayani maksud awal, jadi mereka mengubahnya. Sebagai contoh dari fenomena ini dapat dilihat dalam perubahan seorang remaja gaul saat mereka diadopsi oleh orang dewasa.
è    Hipotesis Whorfrian
Yang terpenting dari bahasa dalam mempengaruhi sebuah budaya adalah poin penting dari teori relativitas linguistik dari Edward Sapir (1958, 1964) dan muridnya Benjamin Lee Whoff (1956). Hipotesis Whorfian menunjukkan bahwa bahasa membentuk kebudayaan dan pola pikir individu. Sebagai contoh, di Inggris kita dapat mengatakan “brother” atau “sister” ketika berbicara dengan saudara kandung. Kita tidak perlu menspesifikasikan umur kecuali kalau kita ingin membedakan antara dua saudara perempuan atau untuk menekankan umur hubungan, seperti “older sister”. Akan tetapi, di Mandarin, Cina, tidak ada istilah umum untuk “brother,” “sister,” “uncle” atau “aunt.” Mungkin disebabkan oleh yang lebih penting dari hubungan keluarga tertentu dalam budaya cina.  Satu-satunya kata yang belaku untuk kerabat yang menentukan hubungan yang tepat seperti “big (kakak tertua) /older sister”, “small (lahir setelah kakak pertama tetapi masih lebih tua dari yang mengatakan) older sister,” “younger brother” dan “uncle on my mother’s side.”
Hipotesis Worfian mengindikasikan bahwa bahasa mempengaruhi cara komunikator melihat dunia. Karena orang Cina harus membuat perbedaan hubungan mental untuk berbicara bahasa Mandarin, mereka cenderung lebih peka terhadap perbedaan-perbedaan dalam hubungan keluarga tertentu daripada komunikator yang berbehasa Inggris. Namun, karena orang Inggris memiliki banyak kata untuk warna daripada Cina, Cina jadi lebih cenderung melihat nuansa warna dari komunikator Inggris.sebagai contoh, pikirkan seluruh kata yang merupakan sinonim dari merah atau merupakan jenis-jenis dari merah: pink, pale pink, salmon pink, dan lain-lain. Mandarin hanya memiliki satu kata untuk merah, dengan tambahan sebutan untuk nuansa terang atau gelap.
è    Lambang Nonverbal
Ada banyak cara yang dapat digunakan untuk memulai interaksi nonverbal, memperjelas hubungan, percakapan langsung, ekspresi untuk menunjukan emosi, mengakhiri percakapan secara substansial dari budaya ke budaya. Contoh di bawah ini akan menjelaskan secara singkat beberapa area penting dari perbedaan komunikasi nonverbal yang bervariasi dengan budaya yang berbeda.
Ekman dan Friesen (1969) mengatakan lima tipe gerakan tubuh adalah emblem, ilustrator, mempengaruhi tampilan, adaptor, dan regulaor. Emblem adalah gerakan yang memiliki tujuan atau arti yang sama dengan kata, dan dengan mudah terjadi kesalahpahaman (Ekman & Friesen, 1969). Sebagai contoh, saat orang Amerika ingin memanggil teman mereka, mereka melambaikan tangan (membuka dan menutup telapak tangannya). Sebagai tambahan orang Amerika selalu menggenggam tangan mereka diantara bahu dan pinggang ketika teman-teman memanggil, sementara orang Cina memegang tangan mereka dengan lurus sehingga tangan mereka berada dibawah pinggang.
Ilustrator – isyarat yang menyertai kata-kata untuk penekanan – juga bervariasi dari busaya ke budaya. Jakobson (1972) mendiskusikan kesulitan tentara Rusia dan Bulgaria selama perang di Turkey pada 1877-78 dalam menyampaikan gerakan yang menandakan “iya”. Saat ilustrator digunakan sebagai emblem untuk menggantikan kata-kata, tentara Bulgaria tidak akan pernah yakin apakah saat tentara Rusia menggelengkan kepala berarti “iya” atau “tidak.”
Perubah penampilan – gerakan tubuh yang mengekspresikan emosi - mungkin lebih mirip antara budaya dari jenis-jenis gerakan (Condon & Yosef, 1975), tetapi bahkan perubahan penampilan bisa mengindikasikan arti yang berbeda. Tersenyum dapat mengindikasikan bahwa orang Cina sedang mencoba menutupi malu. Morsbach (1982) mencatat bahwa orang Jepang juga menggunakan senyum dan tertawa untuk menutupi kemarahan, kesedihan, atau kekecewaan.
Kategori lain dari perilaku nonverbal yang juga sering dikategorikan adalah kontak mata. Di Amerika, orang yang menghindari kontak mata bisa diperkirakan malu atau bahkan menghindar dan tidak dapat dipercaya. Orang Jepang, mengajarkan anak-anak mereka untuk melihat atasan tidak pada mata karena memandang orang Jepang langsung di mata kemungkinan menghasilkan efek membuat mereka sangat tegang, karena kebudayaan tabu telah dilanggar (Morsbach, 1982).
Elemen nonverbal dari bahasa termasuk nada, stres, dan kualitas suara yang menyediakan sumber tambahan dari perbedaan antar budaya. Sebuah bahasa adalah salah satu yang bergantung pada kombinasi nada, stres, dan pola suara untuk mengindikasikan antar suara. Sebagai contoh, di Mandarin Cina, mai dengan nada tinggi berarti “membeli” sedangkan mai dengan nada rendah berarti “menjual.” Bahasa nada seperti Mandarin, Taiwan, dan Kanton berbicara dengan variasi vokal dibandingkan dengan bukan bahasa nada seperti Inggris.

Aturan dan Peranan
Disamping  lambang lisan dan tak lisan, kelompok anggota mempelajari  kelakuan  yang dianggap tugas dan peraturan  untuk menggunakan simbol-simbol tersebut. Tugas seorang isteri atau suami di Amerika pastilah sekarang sangat-sangat berbeda sekarang jika dibandingkan dengan tiga puluh tahun yang lalu ketika sebagian besar  wanita mengasuh anak di rumah dan sebagian besar pria menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga dalam sisi ekonomi. Budaya yang berbeda tentang bagaimana para anggota diharapkan dapat memnuhi perannya untuk mencapai  harapan yang diinginkan.Beberapa kebudayaan dan tugas memperbolehkan kelonggaran dari pada yang lainnya. Walaupun peran isteri telah berubah di Amerika Serikat, peran ibu harus tetap sama dengan tiga puluh tahun yang lalu, menciptakan fenomena "Superwoman" atau ”Supermom," wanita  berusaha untuk memenuhi kedua tersebut yaitu peran tradisional ibu dan peran perempuan baru dalam bisnis maupun eksekutif.  Ketik peran berganti atau tidak jelas, hal ini menimblukan atau menciptakan stres bagi orang yang mencoba mengadopsi peran ini. Di dalam situasi komunikasi antar budaya, pribadi dari kebudayaan lain mungkin akan berpikiran jelek karena mereka tidak tahu perilaku yang ada dan berbeda dengan perilaku mereka.

 Fungsi-Fungsi Komunikasi Antarbudaya
1.                  Fungsi Pribadi, adalah fungsi-fungsi komunikasi yang ditunjukkan melalui perilaku komunikasi yang bersumber dari seorang individu.
a.                   Menyatakan Identitas Sosial
b.                  Menyatakan Integrasi Sosial
c.                   Menambah Pengetahuan
d.                  Melepaskan Diri atau Jalan Keluar
2.                  Fungsi Sosial
a.                   Pengawasan
b.                  Menjembatani
c.                   Sosialisasi Nilai
d.                  Menghibur
 Prinsip-Prinsip Komunikasi Antarbudaya (KAB)
1.                  Relativitas Bahasa
Gagasan umum bahwa  bahasa  memengaruhi pemikiran  dan perilaku paling banyak disuarakan oleh para antropologis linguistik. Pada akhir tahun 1920-an dan disepanjang tahun 1930-an, dirumuskan bahwa karakteristik bahasa memengaruhi proses kognitif kita. Dan karena bahasa-bahasa di dunia sangat berbeda-beda dalam hal karakteristik semantik dan strukturnya, tampaknya masuk akal untuk mengatakan bahwa orang yang menggunakan bahasa yang berbeda juga akan berbeda dalam cara mereka memandang dan berpikir tentang dunia.
2.                  Bahasa Sebagai Cermin Budaya
Bahasa mencerminkan budaya. Makin besar perbedaan budaya, makin perbedaan komunikasi baik dalam bahasa maupun dalam isyarat-isyarat nonverbal. Makin besar perbedaan antara budaya (dan, karenanya, makin besar perbedaan komunikasi), makin sulit komunikasi dilakukan.Kesulitan ini dapat mengakibatkan, misalnya, lebih banyak kesalahan komunikasi, lebih banyak kesalahan kalimat, lebih besar kemungkinan salah paham, makin banyak salah persepsi, dan makin banyak potong kompas (bypassing).
3.                  Mengurangi Ketidak-pastian
Makin besar perbedaan antarbudaya, makin besarlah ketidak-pastian dam ambiguitas dalam komunikasi. Banyak dari komunikasi kita berusaha mengurangi ketidak-pastian ini sehingga kita dapat lebih baik menguraikan, memprediksi, dan menjelaskan perilaku orang lain. Karena letidak-pasrtian dan ambiguitas yang lebih besar ini, diperlukan lebih banyak waktu dan upaya untuk mengurangi ketidak-pastian dan untuk berkomunikasi secara lebih bermakna.
4.                  Kesadaran Diri dan Perbedaan Antarbudaya
Makin besar perbedaan antarbudaya, makin besar kesadaran diri (mindfulness) para partisipan selama komunikasi. Ini mempunyai konsekuensi positif dan negatif. Positifnya, kesadaran diri ini barangkali membuat kita lebih waspada. ini mencegah kita mengatakan hal-hal yang mungkin terasa tidak peka atau tidak patut. Negatifnya, ini membuat kita terlalu berhati-hati, tidak spontan, dan kurang percaya diri.
5.                  Interaksi Awal dan Perbedaan Antarbudaya
Perbedaan antarbudaya terutama penting dalam interaksi awal dan secara berangsur berkurang tingkat kepentingannya ketika hubungan menjadi lebih akrab. Walaupun kita selalu menghadapi kemungkinan salah persepsi dan salah menilai orang lain, kemungkinan ini khususnya besar dalam situasi komunikasi antarbudaya.
6.                  Memaksimalkan Hasil Interaksi
Dalam komunikasi antarbudaya - seperti dalam semua komunikasi - kita berusaha memaksimalkan hasil interaksi. Tiga konsekuensi yang dibahas oleh Sunnafrank (1989) mengisyaratkan implikasi yang penting bagi komunikasi antarbudaya. Sebagai contoh, orang akan berintraksi dengan orang lain yang mereka perkirakan akan memberikan hasil positif. Karena komunikasi antarbudaya itu sulit, anda mungkin menghindarinya. Dengan demikian, misalnya anda akan memilih berbicara dengan rekan sekelas yang banyak kemiripannya dengan anda ketimbang orang yang sangat berbeda.
Kedua, bila kita mendapatkan hasil yang positif, kita terus melibatkan diri dan meningkatkan komunikasi kita. Bila kita memperoleh hasil negatif, kita mulai menarik diri dan mengurangi komunikasi.
Ketiga, kita mebuat prediksi tentang mana perilaku kita yang akan menghasilkan hasil positif. dalam komunikasi, anda mencoba memprediksi hasil dari, misalnya, pilihan topik, posisisi yang anda ambil, perilaku nonverbal yang anda tunjukkan, dan sebagainya. Anda kemudian melakukan apa yang menurut anda akan memberikan hasil positif dan berusaha tidak melakkan apa yang menurut anda akan memberikan hasil negatif.

Strategi Komunikasi Antarbudaya
Komunikasi yang melibatkan multietnik tentu saja memerlukan strategi yang khusus agar komunikasi yang dijalankan benar-benar memberikan pemahaman bagi pihak yang terlibat dalam komunikasi. Berikut ini disampaikan beberapa strategi untuk menghasilkan komunikasi antarbudaya yang efektif.

Teknik komunikasi inklusif di atas dapat mendukung terjadinya komunikasi antarbudaya yang efektif agar pesan komunikasi yang disampaikan benar memberikan makna yang positif bagi masyarakat multietnik. Perbandingan teknik komunikasi diskriminatif dan teknik komunikasi inklusif menunjukkan bahwa komunikasi diskriminatif cenderung menghasilkan kondisi permusuhan dan konflik sebab tidak mempertimbangkan perasaan dan sensitifitas kelompok lain. Sedangkan teknik komunikasi inklusif cenderung mendorong tercipta kondisi damai sebab pihak yang terlibat dalam komunikasi saling memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap kelompok lain yang berbeda dengannya.Untuk membangun komunikasi antarbudaya yang efektif perlu pula dipahami beberapa konsep dasar yang berkaitan dengan hubungan antara kelompok yang berbeda:
1.                  Enkulturasi (enkulturation): proses mempelajari dan menyerap kebudayaan yang berasal dari satu masyarakat.
2.                  Akulturasi (acculturation): proses penyesuaian kebudayaan dengan kebudayaan tempatan dengan mengadopsi nilai, simbol dan/atau perilaku.
3.                  Etnosentris (ethnocentrism): suatu pandangan yang menganggap bahwa suatu kebudayaan lebih unggul dari pada kebudayaan lainnya.
4.                  Relativisme kebudayaan (cultural relativism): pengakuan terhadap perbedaan budaya dan menerima bahwa setiap kelompok masyarakat mempunyai norma-norma sendiri.
Keempat konsep di atas berkaitan dengan pandangan seseorang terhadap kebudayaannya sendiri, kebudayaan orang lain, dan bagaimana menjalin hubungan dengan orang yang berbeda kebudayaan dengannya.Konsep enkulturasi dan akulturasi menujukkan pandangan kebudayaan yang bersifat dinamik dan adaptif karena terjadinya proses penyerapan dan penyesuaian antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya. Konsep etnosentris adalah satu cara pandang yang bersifat sempit dan kaku karenahanya menganggap kebudayaan mereka yang paling tinggi dibandingkan kebudayaan lain. Pandangan seperti ini tentu saja akan menghambat terjadi komunikasi antarbudaya yang efektif. Sebaliknya, konsep relativisme kebudayaan memberikan pandangan bersifat mengakui dan menghargai perbedaan kebudayaan sebab setiap kebudayaan mempunyai keunggulan sendiri sehingga tidak perlu dipertentangkan keunggulan suatu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya. Ini bermakna kearifan lokal yang dimiliki setiap ini itu perlu diangkat dan penganggatan kearifan lokal itu tidak akan menghasilkan pertentangan atau permusuhan sebab relativisme kebudayaan telah mengajarkan kepada kita bahwa setiap kebudayaan memiliki keunggulan masing-masing.

Etika Dan Norma Komunikasi Antar Budaya
Prinsip-prinsip etika dan norma-norma yang relevan dalam bidang lain juga berlaku bagi komunikasi antar budaya. Prinsip-prinsip etika social seperti misalnya solidaritas, sub sidiaritas, keadilan dan kesamaan, serta pertanggung jawaban dalam menggunakan sumber-sumber umum dan pelaksanaan peranan usaha-usaha umum selalu bisa diterapkan. Komunikasi harus selalu penuh kebenaran, karena kebenaran adalah hakiki bagi kebebasan individu dan demi komunitas yang otentik antara pribadi-pribadi.
Etika dalam komunikasi antar budaya menyangkut bukan hanya apa yang adil, dengan apa yang nampak dalam media, tapi sebagian besar juga diluar itu semua. Dimensi etika tidak hanya menyangkut isi komunikasi (pesan) dan proses komunikasi (bagaimana komunikasi dilakukan) tapi juga struktur fundamental dan persoalan-persoalan yang menyangkut sistem, yang kerap kali menyangkut persoalan-persoalan besar mengenai kebijakan yang berkaitan dengan pembagian tehnologi yang canggih serta produknya, siapayang akan kaya informasi dan yang akan miskin informasi. Persoalan-persoalan ini menunjuk ke persoalan lain yang mempunyai implikasi ekonomi dan politik untuk kepemilikan dan kontrol.
Dalam komunikasi antar budaya, bagi orang yang mempunyai kehendak baik sekalipun tidak selalu segera menjadi jelas bagaimanakah menerapkan prinsip-prinsip etika serta norma-norma. Misalnya saja dalam kasus-kasus khusus seperti refleksi, diskusi dan dialog diperlukan penerapan etika dan norma tersebut lebih mendalam. Hal tersebut dikarenakan dialog semacam itu merupakan dialog yang menyangkut antara komponen komunikasi atau para pembuat kebijakan mengenai komunikasi, para komunikator profesional, para ahli etika dan moral, para penerima komunikasi, dan orang-orang lain yang terkait.

Kelebihan dan Kekurangan Komunikasi Antar Budaya
Kekurangan:
1.                  Perbedaan latar belakang kultural dalam menafsirkan pesan, karena tidak ada bahasa universal baik verbal maupun nonverbal, serta kesalahan dalam persepsi sosial yang disebabkan oleh perbedaan-perbedaan budaya yang mempengaruhi proses persepsi.
2.                  Nilam W. Juga menyatakan bahwa dalam komunikasi antardua pihak yang berbeda budaya terdapat etnosentrisme, yaitu kecenderungan menganggap salah satu budaya lebih baik atau lebih unggul dari budaya lain.
Kelebihan:
1.                  Membuka diri memperluas pergaulan;
2.                  Menghadapi teknologi komunikasi
3.                  Menghadapi era globalisasi.
4.                  Memperoleh kapasitas untuk benar-benar terlibat dengan anggota dari budaya lain untuk menciptakan hubungan yang langgeng dan memuaskan orang tersebut.
5.                  Membantu memahami budaya sebagai hal yang menghasilkan dan memelihara semesta wacana dan makna bagi para anggotanya
6.                  Membantu memahami kontak antar budaya sebagai suatu cara memperoleh pandangan ke dalam budaya sendiri: asumsi-asumsi, nilai-nilai, kebebasan-kebebasan dan keterbatasan-keterbatasannya.
7.                  Budaya merupakan landasan komunikasi sehingga bila budaya beraneka ragam maka beraneka ragam pula praktik-praktik komunikasi yang berkembang

8.                  Dengan pemahaman mengenai komunikasi antar budaya dan bagaimana komunikasi dapat dilakukan, maka kita dapat melihat bagaimana komunikasi dapat mewujudkan perdamaian dan meredam konflik di tengah-tengah masyarakat. Dengan komunikasi yang intens kita dapat memahami akar permasalahan sebuah konflik, membatasi dan mengurangi kesalahpahaman, komunikasi dapat mengurangi eskalasi konflik sosial. 

Studi Kasus

Peranan Sumber Daya Manusia dan Kelembagaan Penyuluhan dalam Peningkatan Produksi Tanaman Pangan untuk Keberlanjutan Ketahanan Pangan Daerah di Merauke
Kabupaten Merauke telah dicanangkan sebagai salah satu daerah sentra pengembangan tanaman pangan khususnya padi untuk wilayah Timur Indonesisa. Hal ini tersirat dan tersurat dalam komitmen pemerintah daerah Kabupaten Merauke dan Pemerintah Pusat untuk menjadikan Kabupaten Merauke sebagai lumbung pangan Nasional pada masa yang akan datang dimana pada Bulan Agustus 2010 telah ditanda tangani nota kesepahaman antara beberapa Investor bidang pertanian dengan Menteri Pertanian, Pemerintah Daerah Kabupaten Merauke dan Tokoh Adat di Merauke.
Salah satu modal yang dimiliki Kabupaten Merauke dalam menyongsong realisasi rencana pemerintah tersebut adalah potensi lahan yang luas, datar, cukup subur dan tidak ada faktor penghambat pengolahan tanah yang berat (seperti batu di permukaan tanah dan lereng) untuk pengembangan mekanisasi pertanian. Meskipun memiliki potensi lahan yang besar, apabila tidak dibarengi dengan kemauan masyarakat mengelola lahan pertanian, ketersediaan teknologi yang cukup, penguasaan teknologi yang memadai oleh pelaku pembangunan pertanian maka potensi tersebut akan tetap tinggal sebagai potensi yang tak berdaya.
Beberapa masalah yang dihadapi dilapangan dalam upaya mempercepat pengembangan pembangunan pertanian adalah kondisi penyebar-luasan inovasi teknologi melalui penyuluhan. Hal ini terkait dengan terbatasnya sumberdaya penyuluh, terbatasnya sarana pendukung sistem penyuluhan, serta keterbatasan pengetahuan dan penguasaan teknologi oleh petani di Merauke secara umum. Dari segi kelembagaan, Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Merauke telah membangun delapan Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) tersebar pada delapan distrik, namun dilaporkan bahwa pada saat ini yang masih aktif berjalan untuk melakukan pertemuan rutin sisa tiga BPP. Hal ini terjadi sehubungan dengan jumlah penyuluh pada setiap jenjang fungsional masih sangat kurang. Seperti dilaporkan Dinas Tanaman Pangan Kabupaten Merauke bahwa idealnya dibutuhkan 168 personil fungsional penyuluh, sementara yang ada hanya 67 orang yang harus melayani 168 kampung, akibatnya banyak kampung yang tidak terlayani dengan baik.
Kendala datangnya bukan hanya dari jumlah SDM penyuluh yang masih minim, tetapi organisasi petani sasaran juga belum dapat menjalankan fungsinya secara maksimal, petani sangat sulit untuk dikumpulkan Sehingga menyulitkan petugas untuk memberikan penyuluhan. sehingga upaya peningkatan peran/kinerja penyuluh untuk melayani dan membantu petani meningkatkan produktifitas usahataninya belum menunjukkan hasil yang nyata.
Untuk mengatasi masalah tersebut maka disusunlah model penyuluhan pertanian dalam rangka meningkatkan kapasitas kelembagaan penyuluh untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan penduduk Kabupaten.
Strategi pemilihan model tersebut diantaranya ditempuh dengan cara :
1.                  Penyuluhan pertanian diselenggarakan menurut keadaan atau situasi yang nyata,.
2.                  Penyuluhan pertanian seharusnya ditujukan kepada kepentingan dan kebutuhan sasaran.

3.                  Rencana-rencana kerja sebaiknya disusun bersama-sama oleh penduduk setempat dalam penyuluhan pertanian, karena dengan melibatkan mereka berarti mereka mengetahui tujuan yang akan dicapai dan sekaligus mendidik mereka untuk dapat bekerja bersama-sama. Dengan demikian suatu model penyuluhan yang baik disusun berdasarkan pendekatan manajemen strategis untuk menghasilkan model penyuluhan dengan pertimbangan : (a) Karakteristik Sasaran, (b) Karakteristik Penyuluh, (c) Kondisi Wilayah, (d) Materi Penyuluhan, (e) Cara Penyuluhan, (f) Sarana dan Biaya dan (g) Kebijakan Pemerintah.

Pengambilan Keputusan Adopsi dan Proses Adopsi Inovasi

Pengertian Pengambilan Keputusan Adopsi
Proses adopsi dan difusi mempunyai hubungan yang sangat erat.  Proses adopsi terjadi pada orang-orang secara individual, sedangkan proses difusi terjadinya perembesan inovasi di masyarakat. Penyebarluasan suatu inovasi selalu memerlukan waktu. Sampai waktu sasaran melaksanakan anjuran penyuluh (inovasi baru) itu, telah berlangsung suatu proses mental pada diri sasaran.  Jangka waktu yang diperlukan itu bervariasi dan prosesnya terjadi dalam beberapa tahap.  Proses mental yang terjadi pada sasaran sampai melaksanakan anjuran tadi disebut Proses Adopsi.  Menurut Rogers (1960) proses adopsi itu terjadi mulai seseorang mendengar suatu ide baru sampai akhirnya ia melaksanakannya (mengadopsinya). Salah satu faktor yang mempengaruhi percepatan adopsi adalah sifat  dari inovasi  itu  sendiri.  Inovasi yang akan diintroduksi harus mempunyai banyak kesesuaian (daya adaptif) terhadap  kondisi  biofisik,  sosial, ekonomi,  dan  budaya  yang ada  di  petani.  Untuk  itu,  inovasi  yang  ditawarkan  ke petani harus inovasi yang tepat guna.
Proses Adopsi Inovasi
Pada dasarnya, proses adopsi pasti melalui tahapan-tahapan sebelum masyarakat mau menerima/menerapkan dengan keyakinannya sendiri, meskipun selang waktu antar tahapan satu dengan yang lainnya itu tidak selalu sama (tergantung sifat inovasi, karakteristik sasaran, keadaan lingkungan (fisik maupun sosial), dan aktivitas/kegiatan yang dilakukan oleh penyuluh). Dalam proses adopsi atau penerimaan, kita dapat melihat adanya lima tahap, yaitu :
1.                  Tahap kesadaran atau penghayatan (awareness stage)
Pada tahap ini sasaran mulai sadar tentang adanya inovasi yang ditawarkan oleh penyuluh. Pada tahap ini sasaran sudah maklum atau menghayati sesuatu hal yang baru yang aneh tidak biasa (kebiasaan atau cara yang mereka lakukan kurang baik atau mengandung kekeliruan, cara baru dapat meningkatkan hasil usaha dan pendapatannya, cara baru dapat mengatasi kesulitan yang sering dihadapi).  Hal ini diketahuinya karena hasil berkomunikasi dengan penyuluh.  Tahapan mengetahui adanya inovasi dapat diperoleh seseorang dari mendengar, membaca atau melihat, tetapi pengertian seseorang tersebut belum mendalam.
2.                  Tahap Minat atau tertarik (interest stage)
Pada tahap ini  sasaran mulai ingin mengetahui lebih banyak perihal yang baru tersebut.  Ia menginginkan keterangan-keterangan yang lebih terinci lagi.  Sasaran mulai bertanya-tanya.  Hanya keberhasilan dan penjelasan petani golongan early adopterlah yang dapat menghilangkan kebimbangan petani yang telah menaruh minat.
3.                  Tahap Penilaian (Evaluation stage)
Pada tahap ini sasaran mulai berpikir-pikir dan menilai keterangan-keterangan perihal yang baru itu.  Juga ia menghubungkan hal baru itu dengan keadaan sendiri (kesanggupan, resiko, modal, dll.).  Pertimbangan- pertimbangan atau penilaian terhadap inovasi dapat dilakukan dari tiga segi, yaitu  teknis, ekonomis dan sosiologis.  Misalkan inovasi yang diperkenalkan adalah jenis padi baru, segi-segi teknis yang dinilai adalah tingkat produktivitasnya, pemeliharaannya mudah atau tidak, umurnya lebig pendek daripada lokal atau tidak, mudah terserang hama dan penyakit atau tidak dsb.  Penilaian berikutnya dilakukan terhadap segi ekonominya; penilaian segi ini dilakukan terhadap semua biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan produksi untuk satuan luas tertentu pada suatu periode kegiatan berproduksi dan nilai yang diperoleh dari hasil penjualan hasil produksinya.
Selisih antara nilai penjualan dari nilai pengorbanan yang diperlukan dihitung dalam nilai uang, merupakan keuntungan yang dapat diperoleh dari usaha tani tersebut.  Keuntungan inilah yang akan diperbandingkan dengan keuntungan yang diperoleh jika seseorang menanam padi jenis unggul lokal.  Pertimbangan dari segi sosial ini antara lain manfaat penerapan inovasi tersebut bagi masyarakat di sekitar usaha taninya, apakah penerapan inovasi ini dapat memberikan lapangan kerja baru bagi keluarganya atau masyarakat disekitarnya.  Jika penilaian telah dilakukan dan kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa penerapan inovasi tersebut menguntungkan, maka seseorang akan melangkah ke tahap berikutnya.
4.                  Tahap Percobaan ( Trial stage)
Pada tahap ini sasaran sudah mulai mencoba-coba dalam luas dan jumlah yang sedikit saja.  Sering juga terjadi bahwa usaha mencoba ini tidak dilakukan sendiri, tetapi sasaran mengikuti (dalam pikiran dan percakapan-percakapan), sepak terjang tetangga atau instansi mencoba hal baru itu (dalam pertanaman percobaan atau demosntrasi).  Kalau ia sudah yakin tentang apa yang dianjurkan, maka ia kan mengetrapkannya secara lebih luas.  Bila gagal dalam percobaan ini, maka petani yang biasa akan berhenti dan tidak akan percaya lagi.  Tapi petani naju yang ulet akan mengulangi percoabaannya lagi, sampai ia mendapat keyakinannya.
5.                  Tahap Penerimaan (Adoption).
Pada tahap ini sasaran sudah yakin akan kebenaran atau keunggulan hal baru itu, maka ia mengetrapkan anjuran secara luas dan kontinu.  Ia juga akan mengajurkannya kepada tetangga atau teman-temannya. Dalam prakteknya pentahapan tadi tidak perlu secara berurutan dilaluinya.  Dapat saja sesuatu tahap dilampaui, karena tahap tersebut dilaluinya secara mental.  Tidak semua orang mempunyai waktu, kesempatan, ketekunan, kesanggupan dan keuletan yang sama untuk menjalani, kadang-kadang mengulangi proses adopsi sampai sakhir dan mendapat sukses.
Kegunaan praktis bagi para penyuluh pertanian perihal proses adopsi adalah untuk mengetahui sampai tahap mana sasaran yang dihadapinya itu.  Jadi harus tahu ciri-ciri dari tiap tahap, dan pengetahuan ini digunakan untuk dapat memberikan bahan-bahan penyuluhan yang tepat dan sesuai kepada orang-orang tertentu pada masing-masing tahap dan pada waktu-waktu tertentu pula.  Juga untuk dapat memilih metoda penyuluhan yang tepat pada kesempatan (tahap) tertentu.
Bagi para penyuluh pertanian tiap tahap dari proses adopsi itu akan memberikan indikasi golongan usaha penyuluhan yang harus digunakan, umpamanya :
a)                  Pada tahap kesadaran yang dilakukan adalah usaha untuk menimbulkan perhatian atau kesadaran.  Cara-caranya lebih banyak di lapangan komunikasi massal, seperti  siaran melalui radio (siaran pedesaan), surat kabar, majalah, film, televisi, poster, dan lain-lain.
b)                  Pada tahap minat maka usaha yang dilakukan adalah  upaya-upaya hubungan secara perorangan, baik lisan maupun tertulis.  Orang-orang yang sudah sadar dan memperlihatkan sedikit minat terhadap perubahan, supaya lebih banyak diberi penjelasan agar minatnya dapat tumbuh dan berkembang.
c)                  Pada tahap penilaian maka usaha para penyuluh adalah memberikan bahan-bahan pertimbangan kepada sasaran.  Dapat berbentuk kunjungan rumah yang lebih sering, pameran, darmawisata, demonstrasi, latihan, surat-surat selebaran dll.
d)                 Pada tahap percobaan penyuluh akan memberikan data teknis yang dapat meyakinkan sasaran.  Juga sasaran akan dapat kesempatan untuk mencoba atau melakukan demonstrasi di tanahnya sendiri, di bawah bimbingan penyuluh.  Darmawisata kepada orang-orang yang telah berhasil akan menambah keyakinan tadi.
e)                  Pada tahap penerimaan atau pengetrapan maka penyuluh akan terus mendampingi atau membimbing sasaran, yang sudah melaksanakan anjuran secara lebih luas dan kontinu itu.  Biasanya pada tahap ini sasaran sudah diakui sebagai petani maju.  Mungkin selanjutnya juga dijadikan petani teladan, terus kontak tani pada akhirnya.
  Klasifikasi Sasaran Dalam Proses Adopsi
Berdasarkan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan proses adopsi, dari tahap kesadaran sampai tahap penerimaan atau pengetrapan, maka kita dapat membagi sasaran itu dalam lima golongan, yaitu :
1.                  Golongan Pelopor atau Inovator  [ 2,5% ]
Golongan ini merupakan golongan yang paling cepat melewati proses adopsi.  Orang yang termasuk golongan ini jumlahnya tidak banyak dalam suatu daerah, satu atau dua orang saja, mungkin juga tidak ada.  Mereka merupakan orang yang maju sekali, pandai, pengetahuannya luas, usahanya maju, penghasilannya tinggi, kaya dan pengalamannya luas.  Tanah usahanya luas, mempunyai kegemaran dan kesempatan untuk mencoba hal-hal baru.  Sifat istimewanya adalah selalu ingin tahu dan aktif mencari keterangan kemana-mana.  Petugas penyuluhan sering dibuat kewalahan.  Biasanya mereka kurang memperdulikan orang-orang sekitarnya, tidak aktif menyebar-luaskan innovasi atau pengetahuan dan pengalamannya.  Umumnya berumur setengah baya (40) dan mempunyai hubungan yang erat dengan pihak luar (PT, Balai penelitian dan instansi tingkat pusat).  Dengan demikian golongan ini lebih bersifat “cosmopolite” apabila dibandingkan dengan golongan-golongan pengadopsi lainnya, maka dalam proses penyebaran inovasi golongan ini tidak banyak membantu.
2.                  Golongan Early Adopter (Pengadopsi)  [13,5%]
Golongan ini merupakan  masyarakat yang berumur  25 - 40 tahun. Golongan ini merupakan sasaran yang cepat ikuti inovator, pendidikan diatas masyarakat sekitar, dan mempunyai faktor produksi sehingga mudah untuk praktekkan hal-hal baru, aktif dalam masyarakat dan supel dalam pergaulan, sumber advis dan informasi bagi petani lain, mau berbagi pengetahuan sehingga cocok untuk dijadikan petani teladan yang selanjutnya menjadi kontak tani, bersifat “localite” dalam proses penyebaran inovasi, golongan ini paling membantu penyuluh pertanian.

3.                  Golongan Majority (Mayoritas Awal)  [ 34%]
Pada golongan ini proses adopsi lebih lambat dibandingkan golongan penerap dini, biasanya merupakan para tokoh masyarakat setempat, dimana biasanya tidak mau usahanya gagal untuk menjaga agar citranya tidak buruk,tingkat pendidikan, pengalaman, dan kondisi sosio ekonominya sedang.
4.                  Golongan  Late  Majority (Pengetrap Akhir/Mayoritas Lamabt) [ 34%]
Pada golongan ini  petani yang kurang mampu, pendidikan rendah bahka masih buta huruf, sifatnya kurang giat dalam mengetrapkan inovasi baru, harus melihat contoh dari golongan terdahulu, kurang menggunakan media massa sehingga lambat mengetahui informasi terbaru, hubungan dengan penyuluh relatif kecil.
5.                  Golongan Laggard (Penolak/Lamban) [16%]
Golongan ini disebut juga non adopter,  tuan-tuan tanah, petani yang berpandangan kolot (tradisional), tidak senang terhadap perubahan, kalau-pun menerima akan terjadi paling akhir. Berdasarkan aliran informasi atau sebagai sumber informasi maka :
Lembaga penelitian (PT, BPTP, dll) merupakan sumber informasi bagi golongan inovator, early adopter, dan penyuluh pertanian.  Golongan inovator biasanya sudah maju, mampu, penemuan-penemuan baru selalu didengar dengan cepat dan kurang perhatian thd masyarakat sekitar maka tidak perlu menjadi perhatian (pembinaan) penyuluh pertanian.
Sumber informasi golongan early majority adalah golongan Early adopter dan penyuluh pertanian.  Golongan inilah yang harus memperoleh perhatian utama para penyuluh.  Pada umumnya golongan ini menjadi tokok masyarakat, sehingga tindakannya banyak diikuti oleh golongan late majority.  Golongan ini biasanya dekat dengan golongan late majority dan laggard.
Sumber informasi golongan late majority adalah early majority, golongan late majority baru mau mengadopsi inovasi baru setelah golongan early majority mengadopsinya, sehingga golongan inipun tidak usah menjadi perhatian yang utama dari penyuluh.
Yang paling mudah mempengaruhi golongan laggard adalah golongan late majority, itupun sangat sulit terjadi.  Dari uraian di atas dapat disumpulkan bahwa yang harus menjadi perhatian utama para penyuluh adalah golongan early adopter.

Faktor – Faktor Yang meperngaruhi Kecepatan Adopsi
Dari khasanah kepustakaan diperoleh informasi bahwa kecepatan adopsi, ternyata dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu:
a)                  Sifat-sifat atau karakteristik inovasi
b)                  Sifat-sifat atau karakteristik calon pengguna
c)                  Pengambilan keputusan adopsi
d)                 Saluran atau media yang digunakan
e)                  Kualifikasi penyuluh.
Meskipun demikian, Mardikanto (1995) mensinyalir bahwa, identifikasi beragam faktor penentu kecepatan adopsi inovasi itu masih terbatas pada pendekatan proses komunikasi. Karena itu, dia mencoba menggali lebih jauh dengan melaku-kan pendekatan kebudayaan (Soewardi, 1976), dan pendekatan sistem agribisnis. Lebih lanjut, karena kegiatan penyuluhan pertanian dapat dili-hat sebagai sub-sistem pengembangan masyarakat, maka kece patan adopsi inovasi dapat pula dipengaruhi oleh perilaku aparat dan hal-hal lain yang terkait dalam kegiatan pengem-bangan masyarakat.
Studi tentang adopsi inovasi, telah banyak dilakukan oleh berbagai pihak. Herman Soewardi (1976), misalnya, telah melakukan studi untuk melihat proses adopsi sebagai proses perkembangan kebudayaan, berdasarkan teori Erasmus:
                        A = f (M, C, L)
di mana:          A = adoption,
                        M = motivation,
                        C = cognition, dan

                        L = limitation.

Pengambilan Keputusan Difusi dan Proses Difusi Inovasi

Pengertian Difusi Inovasi
Difusi inovasi didefinisikan sebagai suatu proses dikomunikasikannya inovasi kepada petani dalam suatu sistem sosial tertentu, melalui saluran tertentu, dalam suatu dimensi waktu tertentu pula. Difusi inovasi merupakan salah satu bentuk proses komunikasi antara pihak pengirim dan penerima informasi, sehingga dicapai pengertian yang sama mengenai informasi yang dikomunikasikan. Dalam hal difusi inovasi informasi yang dikomunikasikan mengacu kepada adanya pemikiran baru yaitu inovasi sendiri.
Proses difusi dapat digolongkan sebagai salah satu bentuk perubahan sosial, apabila suatu ide baru ditemukan , didifusikan, diterima/ditolak oleh petani, mengakibatkan munculnya akibat-akibat tertentu, maka dapat dikatakan bahwa telah terjadi perubahan sosial pada sistem sosial ditempat tinggal petani.
Perubahan sosial yang direncanakan pada proses penyuluhan sangat rumit yang pada dasar dapat dikelompokkan menjadi tiga tahap yaitu : Invensi, difusi, dan konsekuensi-konsekuensi
Wayne Romable (1984) menyatakan bahwa difusi inovasi dapat dipandang sebagai proses komunikasi khusus.  Pada difusi inovasi, sumber pesan dapat berupa penemu penyuluh pertanian dan pemimpin.
Perubahan secara praktis yang diharapkan adalah pengetahuan, sikap dan prilaku, faktor yang mendorong dan menghambat perubahan. Perolehan sesuai pendapat Leagans (1971) tertera pada Gambar 4 berikut :

 Pengambilan Keputusan Difusi
Dari segi pengambil keputusan proses difusi, dikenal dua sistem difusi :
1.                  Sistem difusi tersentralisasi.
Keputusan mengenai dilakukannya proses difusi, siapa yg harus melalukan evaluasi proses difusi, serta saluran apa yg digunakan, dilakukan sekelompok org t3 yg merupakan bagian dari pihak atau instansi yg menghendaki adanya perubahan.
2.Sistem difusi desentralisasi
   Keputusan-keputsan tersebut diambil oleh para petani. Pilihan sistem mana yg akan diambil tergantung pada tujuan difusi, ciri inovasi yg akan didifusikan, serta tingkat kemampuan petani dalam mengambil keputusan

Faktor – Faktor Yang meperngaruhi Kecepatan Inovasi
Kecepatan proses penerimaan suatu inovasi disebarkan pada masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya :
1.                  Sifat inovasi
2.                  Saluran komunikasi yang digunakan
Ada beberapa saluran komunikasi yang dapat dipilih yaitu :
a.                   Media massa (TV, Koran, majalah dll)
b.                  Saluran tatap muka (inter personal)
3.                  Keadaan masyarakat
Secara teoritis masyarakat yang mempunyai ciri modern akan lebih cepat menerima inovasi dibandingkan masyarakat yang berciri tradisional.
4.                  Peranan penyuluh
Dalam proses penyebaran inovasi pada masyarakat, penyuluh berfungsi sebagai pemrakarsa yang tugas utamanya membawa gagasan-gagasan baru.
Beberapa peranan yang harus dilakukan penyuluh agar proses penyebaran inovasi dapat berjalan efektif adalah :
a.                   Menumbuhkan kebutuhan untuk berubah
b.                  Membangun hubungan untuk perubahan
c.                   Diagnosa dan penjelasan masalah yang dihadapi oleh klien
d.                  Mencari alternatif pemecahan masalah
5.      Jenis pengambilan keputusan
Perubahan dapat terjadi apabila terdapat keputusan untuk melakukan perubahan. Berbagai macam keputusan yang diambil dalam proses pembaharuan, pada hakikatnya dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu :
a.                   Keputusan perorangan (individual decision)
b.                  Keputusan bersama (collective decision)
c.                   Keputusan penguasa (authority decision)
 Proses Difusi Inovasi
Menurut Rogers, proses keputusan inovasi terdiri dari 5 tahap, yaitu:
1. Tahap Pengetahuan (Knowledge), tahap ini berlangsung, bila seseorang atau unit pengambil keputusan yang lain, membuka diri terhadap adanya suatu inovasi serta ingin mengetahui bagaimana fungsi inovasi tersebut.
2.  Tahap Bujukan (Persuasion), tahap ini berlangsung ketika seseorang atau unit pengambil keputusan yang lain, mulai membentuk sikap menyenangi atau tidak menyenangi terhadap inovasi.
3. Tahap Keputusan (Decision), tahap ini berlangsung ketika seseorang atau unit pengambil keputusan yang lain, melakukan aktivitas yang mengarah kepenetapan untuk memutuskan menerima atau menolak inovasi.
4. Tahap Implementasi (Implementation), tahap ini berlangsung ketika seseorang atau unit pengambil keputusan yang lain, menerapkan atau menggunakan inovasi.
5.  Tahap Konfirmasi (Confirmation), tahap ini berlangsung ketika seseorang atau unit pengambil keputusan yang lain, mencari penguatan terhadap keputusan inovasi yang telah dibuatnya. Pengambil keputusan dapat menarik kembali keputusannya jika ternyata diperoleh informasi tentang inovasi yang bertentangan dengan informasi yang diterima terdahulu.
Setelah kita ketahui model proses keputusan inovasi yang menunjukkan urutan kelima tahap proses keputusan inovasi, maka berikut ini akan dijelaskan setiap tahap secara terinci